Dari hasil penelitian saya bersama kawan-kawan di
Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan DI Yogyakarta awal tahun 2000-an, saya
menemukan satu pola yang sangat mencengangkan. Ada kesamaan konsep penguasaan
tanah menurut hukum adat dengan ketentuan Islam. Meskipun adat Dayak dan Minang
Kabau berbeda, dan menggunakan bahasa berbeda, namun prinsip dan pengaturan
penguasaan tanah antara keduanya banyak kesamaan. Dari sumber-sumber lain, saya
juga menemukan bahwa penguasaan terhadap tanah menurut hukum adat pada beberapa
suku bangsa di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan
tanah menurut hukum Islam. Namun, penguasaan menurut hukum adat dan Islam ini,
sangat-sangat berbeda dengan konsep penguasaan menurut hukum Barat.
Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya.
Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya.
Beberapa ciri penguasaan tanah menurut hukum adat
dan Islam yang utama adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik,
dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas,
larangan untuk memperjualbelikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar,
serta lebih diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah. Keempat sifat
ini saling mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya
tanah adalah sumberdaya yang khas tidak sebagaimana sumberdaya ekonomi lain.
Memiliki tanah tidak seperti memiliki mobil. Mobil
mau dicat ulang, mau diganti bentuknya, atau bahkan ditabrakin dan atau
dibiarkan saja tergelatak tak dipakai; terserah yang punya. Untuk tanah ga bisa begitu. Mobil yang kita beli
bebas mau kita apakan. Tanah tidak bisa diperlakukan seperti itu. Tanah
sejatinya adalah milik Allah. Walau kita telah memegang sertifikat hak milik,
tanah tidak pernah milik kita sepenuh-penuhnya. Karena jumlah tanah di bumi ini
terbatas, maka tanah harus bisa digunakan secara adil. Tanah yang
segitu-gitunya harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh makhluk di muka
bumi. Untuk itu, tanah jangan dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas.
Perbedaan
hukum adat, Islam dan Barat terhadap penguasaan tanah
Hukum adat
|
Hukum Islam
|
Hukum Barat (kapitalis)
|
Bentuk penguasaan tidak mutlak, ada hak sosial di dalamnya. Tanah harus
mampu memberi manfaat kepada orang yang bukan pemilik sekalipun.
|
Tidak mutlak, ada hak umat di dalamnya. Jika tanah 3 tahun tidak digarap harus
dikembalikan ke negara.
|
Mutlak. Tanah bebas mau
diapakan oleh individu yang menguasainya. Mau didiamkan juga boleh.
|
Sifat penguasaan tanah inklusif, ada hak sosial komunitas di dalam sebidang tanah.
|
Inklusif, ada hak umat yang
lain.
|
Ekslusif, adalah milik si
pemilik sepenuhnya.
|
Penjualan tanah dilarang
|
Dibolehkan, namun terbatas
|
Dibolehkan, bahkan tanah menjadi komoditas pasar yang sangat potensial.
|
Nilai kerja manusia lebih tinggi dibanding tanah
|
Manusia dan kerjanya lebih
tinggi dan bernilai dibanding tanah
|
Tanah dan tenaga kerja semata sebagai faktor
produksi, nilainya sejajar saja.
|
Penguasaan menurut hukum Barat yang dimaksud disini
adalah corak penguasaan kapitalis. Karena sebelum dikenal corak kapitalis ini,
penguasaan secara tradisional sebelumnya juga sedikit banyak ada kesamaan
dengan hukum adat. Penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam tampaknya
memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan lebih mampu
mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan; dibandingkan konsep
“penguasaan mutlak” menurut hukum kapitalis Barat.
Dalam konsep ekonomi Islam, manusia tidaklah berada
dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada
pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi
juga dialokasikan sedemikian rupa. Tidak seorang pun boleh lebih baik dengan
menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya
makhluk sosial namun sekaligus juga makhluk religius.
Dalam
sistem hukum Minangkabau sebagai contoh, dipisahkan antara ”tanah” dan ”ulayat”
dengan azas terpisah horizontal. Artinya, tanah secara fisik adalah tetap milik
komunal dan tidak boleh berpindah tangan kepemilikannya; sedangkat pengaturan
ulayat (atau pemanfaatannya) berada di bawah kewenangan penghulu (Nurullah,
1999).
Dalam
banyak suku di Indoensia, diatur sampai dimana hak perseorangan dibatasi.
Setiap anggota suku (persekutuan) diberi hak untuk mengerjakan tanah adat (atau
tanah ulayat) di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak ”wenang pilih”. Jika sebidang tanah di
wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus
menerus, maka hubungannya dengan tanah itu semakin kuat. Namun apabila suatu
waktu tanah itu ditinggalkannya, maka hubungannya semakin renggang dengan tanah
tersebut, dan lalu bisa putus.
Dalam
dasar-dasar Ekonomi Islam, sumberdaya alam sebagai sumber kesejahteraan dan
perannya merupakan aspek penting yang sangat ditekankan. Semua yang ada di
alam, baik matahari, bulan, udara dan lain-lain; diciptakan untuk menuju
kesejahteraan manusia. Semua diciptakan oleh Allah, dan tak ada seseorang yang
dapat memonopolinya. Salah satu alam tersebut adalah permukaan bumi (surface
of the earth), dimana tanah merupakan komponen yang paling bernilai
(Afzalurrahman, 2000). Pada prinispnya, konsep penguasaan tanah dalam Islam
berakar dari konsep bumi (earth), dimana bumi dipandang sebagai
satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju kesejahteraan hidup.
Secara
teoritis, kita mengenal setidaknya tiga bentuk kepemilikan, yaitu: (1)
kepemilikan mutlak (absolute ownership), (2) kepemilikan secara bersama (public
ownership), dan (3) kepemilikan individual (private ownership).
Dalam kepemilikan mutlak, si pemilik dapat melakukan apapun yang dia mau tanpa
batasan (restriction) atau pengekangan (restraint). Dalam konsep
Islam, kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah. Hanya Allah yang dapat
melakukan apapun terhadap apapun yang ada di bumi. Hanya dia, bukan manusia,
yang dapat mengadakan atau meniadakan, mengambil atau membuang, dan seterusnya.
Dalam Alquran disebutkan: "Apapun yang berada di surga dan di bumi
adalah milik Allah " (Surah al-Najm: 31).
Selama ini,
karena menjadikan tanah sebagai komoditas sesuai hukum kapitalis, maka dunia telah mengalami beberapa kali
krisis. Sesungguhnya penguasaan menurut hukum adat dan Islam akan lebih tepat,
lebih mensejahterakan, dan adil. Sudah masanya kita beralih ke “kearifan
Timur”. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar