Kamis, 26 Januari 2017

Penguasaan Lahan Menurut Hukum Adat vs Islam vs Barat

Dari hasil penelitian saya bersama kawan-kawan di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan DI Yogyakarta awal tahun 2000-an, saya menemukan satu pola yang sangat mencengangkan. Ada kesamaan konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dengan ketentuan Islam. Meskipun adat Dayak dan Minang Kabau berbeda, dan menggunakan bahasa berbeda, namun prinsip dan pengaturan penguasaan tanah antara keduanya banyak kesamaan. Dari sumber-sumber lain, saya juga menemukan bahwa penguasaan terhadap tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam. Namun, penguasaan menurut hukum adat dan Islam ini, sangat-sangat berbeda dengan konsep penguasaan menurut hukum Barat.

Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya.

Beberapa ciri penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam yang utama adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk memperjualbelikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah. Keempat sifat ini saling mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas tidak sebagaimana sumberdaya ekonomi lain.

Memiliki tanah tidak seperti memiliki mobil. Mobil mau dicat ulang, mau diganti bentuknya, atau bahkan ditabrakin dan atau dibiarkan saja tergelatak tak dipakai; terserah yang punya. Untuk tanah ga bisa begitu. Mobil yang kita beli bebas mau kita apakan. Tanah tidak bisa diperlakukan seperti itu. Tanah sejatinya adalah milik Allah. Walau kita telah memegang sertifikat hak milik, tanah tidak pernah milik kita sepenuh-penuhnya. Karena jumlah tanah di bumi ini terbatas, maka tanah harus bisa digunakan secara adil. Tanah yang segitu-gitunya harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh makhluk di muka bumi. Untuk itu, tanah jangan dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas.

Perbedaan hukum adat, Islam dan Barat terhadap penguasaan tanah
Hukum adat
Hukum Islam
Hukum Barat (kapitalis)
Bentuk penguasaan tidak mutlak, ada hak sosial di dalamnya. Tanah harus mampu memberi manfaat kepada orang yang bukan pemilik sekalipun.
Tidak mutlak, ada hak umat di dalamnya. Jika tanah 3 tahun tidak digarap harus dikembalikan ke negara.
Mutlak. Tanah bebas mau diapakan oleh individu yang menguasainya. Mau didiamkan juga boleh.
Sifat penguasaan tanah inklusif, ada hak sosial komunitas di dalam sebidang tanah.
Inklusif, ada hak umat yang lain.
Ekslusif, adalah milik si pemilik sepenuhnya.
Penjualan tanah dilarang
Dibolehkan, namun terbatas
Dibolehkan, bahkan tanah menjadi komoditas pasar yang sangat potensial.
Nilai kerja manusia lebih tinggi dibanding tanah
Manusia dan kerjanya lebih tinggi dan bernilai dibanding tanah
Tanah dan tenaga kerja semata sebagai faktor produksi, nilainya sejajar saja.

Penguasaan menurut hukum Barat yang dimaksud disini adalah corak penguasaan kapitalis. Karena sebelum dikenal corak kapitalis ini, penguasaan secara tradisional sebelumnya juga sedikit banyak ada kesamaan dengan hukum adat. Penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam tampaknya memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan; dibandingkan konsep “penguasaan mutlak” menurut hukum kapitalis Barat.

Dalam konsep ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa. Tidak seorang pun boleh lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya makhluk sosial namun sekaligus juga makhluk religius.

Dalam sistem hukum Minangkabau sebagai contoh, dipisahkan antara ”tanah” dan ”ulayat” dengan azas terpisah horizontal. Artinya, tanah secara fisik adalah tetap milik komunal dan tidak boleh berpindah tangan kepemilikannya; sedangkat pengaturan ulayat (atau pemanfaatannya) berada di bawah kewenangan penghulu (Nurullah, 1999).

Dalam banyak suku di Indoensia, diatur sampai dimana hak perseorangan dibatasi. Setiap anggota suku (persekutuan) diberi hak untuk mengerjakan tanah adat (atau tanah ulayat) di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak ”wenang pilih”. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus, maka hubungannya dengan tanah itu semakin kuat. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya, maka hubungannya semakin renggang dengan tanah tersebut, dan lalu bisa putus.

Dalam dasar-dasar Ekonomi Islam, sumberdaya alam sebagai sumber kesejahteraan dan perannya merupakan aspek penting yang sangat ditekankan. Semua yang ada di alam, baik matahari, bulan, udara dan lain-lain; diciptakan untuk menuju kesejahteraan manusia. Semua diciptakan oleh Allah, dan tak ada seseorang yang dapat memonopolinya. Salah satu alam tersebut adalah permukaan bumi (surface of the earth), dimana tanah merupakan komponen yang paling bernilai (Afzalurrahman, 2000). Pada prinispnya, konsep penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi (earth), dimana bumi dipandang sebagai satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju kesejahteraan hidup.

Secara teoritis, kita mengenal setidaknya tiga bentuk kepemilikan, yaitu: (1) kepemilikan mutlak (absolute ownership), (2) kepemilikan secara bersama (public ownership), dan (3) kepemilikan individual (private ownership). Dalam kepemilikan mutlak, si pemilik dapat melakukan apapun yang dia mau tanpa batasan (restriction) atau pengekangan (restraint). Dalam konsep Islam, kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah. Hanya Allah yang dapat melakukan apapun terhadap apapun yang ada di bumi. Hanya dia, bukan manusia, yang dapat mengadakan atau meniadakan, mengambil atau membuang, dan seterusnya. Dalam Alquran disebutkan: "Apapun yang berada di surga dan di bumi adalah milik Allah " (Surah al-Najm: 31).


Selama ini, karena menjadikan tanah sebagai komoditas sesuai hukum kapitalis,  maka dunia telah mengalami beberapa kali krisis. Sesungguhnya penguasaan menurut hukum adat dan Islam akan lebih tepat, lebih mensejahterakan, dan adil. Sudah masanya kita beralih ke “kearifan Timur”. ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar