Kamis, 26 Januari 2017

Tanah Negara vs Tanah Ulayat

Selama ini, di ruang-ruang seminar orang-orang selalu mempertentangkan antara tanah negara dengan tanah adat, hukum negara dan hukum adat, serta penguasaan tanah menurut hukum negara dengan hukum adat. Maka terjadilah berbagai keanehan. Sebagai contoh, di Sumatera Barat jika mengacu kepada Hukum Adat, maka seluruh tanah mulai dari pantai sampai puncak gunung adalah tanah ulayat. Ulayatnya suku Minang Kabau. Namun, sekaligus, seluruh jengkal tanah di propinsi ini sesungguhnya adalah juga Tanah Negara. Semua tanah ada di bawah kuasa negara. Bahkan tanah pribadi pun pengaturannya ada pada negara, siapa yang boleh dan tidak menguasainya. Baru sebagian tanah di wilayah ini yang sudah disertifikatkan secara pribadi. Sehingga dapat disebut, tanah ini menjadi tanah negara. 

Namun, jika didalam-dalami ada banyak kesamaan spirit antara menguasai tanah menurut hukum negara dengan menguasai menurut hukum adat. Satu yang terpenting adalah, pada hakekatnya, baik negara maupun adat “hanya menguasai tanah-tanah ini sementara, sampai ada penduduk dan warga membutuhkannya”. Jadi, negara dan kesatuan adat hanya menjaga saja, memelihara, menatanya, dan harus siap membagi-bagikan jika tanah sudah dibutuhkan oleh petani atau lainnya. Tentu saja dengan mempertimbangkan hal-hal lain, misalnya aspek topografi, keberlanjutan eksosistem, dan  lain-lain.

Jadi, sesungguhnya menurut saya tidak perlu diributkan apakah tanah ini “tanah negara” atau “tanah ulayat”. Pemilik sesungguhnya tanah nantinya adalah mereka yang mau, siap dan mampu mengolahnya. Mereka yang membuat lahan ini produktif. Begitulah agama (Islam) juga mengaturnya.

Negara tidak berhak mengangkangi tanah, menahan-nahanya sedemikian rupa, padahal ada jutaan orang mau bertani tapi tak punya lahan. Ketua adat juga sama belaka. Maka di ulayat suku Minang Kabau, setiap tanah dapat diberikan hak menguasainya kepada siapapun jika mereka memang membutuhkan tanah untuk hidup. Meskipun ia bukan berasal dari suku Minang sekalipun. Karena hakekat dasarnya, semua tanah adalah milik Allah semata, bukan milik suku ini atau itu. Semua hukum ulayat pada suku manapun di Nusantara pada intinya sejalan dengan ini. Saya sudah menemukan pada suku Dayak dan Papua. 
 
Kesamaan antara hukum negara dan adat misalnya terlihat dalam hal pembebasan tanah, dalam arti pemutusan hak kepada pemilik sebelumnya. Ini sesungguhnya tidaklah perlu karena masih ada solusi yang lebih berkeadilan. Dalam PP No. 10 tahun 1961 pasal 19 yang kemudian dipertegas lagi dengan PP No. 24 tahun 1997 dicantumkan, bahwa hak penguasaan yang terjauh yang dapat diberikan ke individu dan swasta hanyalah Hak Guna Usaha atau Hak Pakai. Hak milik tetap pada pemilik sebelumnya (status quo), baik itu milik negara, tanah ulayat, maupun milik pribadi (privat).

Satu event penting di tahun 2014 adalah Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 Mei 2013. Putusan ini meralat Pasal 6 Ayat 1 dan beberapa pasal lainnya yang terkait UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam putusan itu, ”hutan adat” dipindahkan posisinya dari ”hutan negara” ke ”hutan hak”. Artinya MK melegitimasi klaim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahwa negara keliru memasukkan wilayah adat sebagai bagian hutan (milik) negara. Putusan MK ini dapat dipandang sebagai langkah awal pemulihan status masyarakat hukum adat sebagai ”penyandang hak”, subyek hukum tersendiri, dan pemilik wilayah adatnya. (Fauzi, 2014).


Presiden SBY pun menaggapi positif hal ini dengan menyampaikan dalam suatu lokakarya internasional tentang hutan tropis dunia. Ia berucap: ”...menandai langkah penting ke depan menuju pengakuan sepenuhnya hak-hak atas tanah dan sumber alam masyarakat adat dan komunitas-komunitas yang bergantung pada hutan”. Ia juga menyampaikan komitmen ”untuk menginisiasi satu proses untuk mendaftar dan mengakui kepemilikan kolektif wilayah-wilayah adat di Indonesia”. Artinya, status masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adatnya telah dipulihkan kembali.
 *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar