Kamis, 26 Januari 2017

Paket Teknologi Usahatani: PTT vs SRI

Kebanyakan orang mengatakan paket teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan System of Rice Intensification (SRI) adalah sama belaka. Ada yang berpendapat PTT adalah nama Indonesia dari SRI, karena ogah pakai istilah Inggris. Memang banyak kesamaan di antara kedua ini, namun perbedaannya juga ada. Kesamaannya adalah berupaya meningkatkan produktivitas padi per luasan lahan, dengan teknologi unggul, produksi beras yang sehat, dan ramah lingkungan. Juga sama-sama menerapkan metode sekolah lapang dalam pelaksanaannya, mulai dari awal tanam sampai panen (lebih kurang 15 kali pertemuan).

Perbandingan prinsip, pendekatan dan praktek PTT dengan SRI

PTT
SRI

PTT adalah “Suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem/pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi (fleksibel)” (Keputusan Dirjen Tanaman Pangan  No. 6 tahun 2013 tentang  Pedoman Teknis SL-PTT Padi Dan Jagung TA 2013).

Selengkapnya disebut dengan “Usahatani padi sawah organik metode SRI adalah: “usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok tani dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan” (Pedoman Teknis Pengembangan SRI tahun 2012 oleh Dijend Prasarana Dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian).
Diterapkan di sawah irigasi, sawah tadah hujan, padi gogo, sawah rawa lebak. Telah berkembang pula untuk jagung dan kedelai.
Hanya di lahan sawah irigasi, dan terbatas hanya untuk tanaman padi.
Teknologi disesuaikan dengan kebutuhan lokasi, iklim, dan kesediaan petani (spesifik lokasi) atau sesuai prinsip demand driven technology. Menghargai kebutuhan dan keinginan petani dan kearifan lokal setempat.
Pilihan teknologi lebih ketat, merupakan paket berupa usahatani padi organik. Paket teknologi seragam dan tidak bergantung lokasi.
Teknologi ramah lingkungan adalah pilihan, tidak harus. Kebutuhan teknologi didasarkan atas need assessment.
Proses produksi ramah lingkungan lebih diutamakan. Menghasilkan produk yang sehat (organik), dengan target peningkatan 2 ton/ha dibandingkan produksi dengan teknologi konvensional.
Pengawalan dan pendampingan dilakukan banyak pihak termasuk PPL, POPT, PBT, Mantri Tani, dan petugas lainnya sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Pelatih adalah pemandu atau petani maju yang telah mampu menerapkan metode SRI.
Luas per unit kegiatan 25 ha, ada laboratorium lapang 1 ha, dilakukan pada lahan sehamparan
Luas 10 ha ditambah 10 ha secara swadaya, juga sehamparan.
Bantuan input penuh untuk laboratorium lapang 1 ha, selebihnya swadaya petani.
Bantuan hanya untuk yang 10 ha, berupa benih 5 kg/ha dan pupuk organik, serta ditambah bantuan APO (alat pengolah organik).
Sebagai program di Kementan, mulai tahun 2008.
Ditemukan tahun 1983 oleh Father Henri de LaulaniƩ di Madagascar, dan baru tahun 1997 dikenal di wilayah Asia. Hanya untuk usahatani padi.

Perbedaan pokoknya adalah, di SRI begitu mementingkan teknologi organik. Karena itulah, petani juga diberikan bantuan pengadaan alat pengolah organik (APPO) sebanyak 2 unit per kelompok tani. Pada PTT, Komponen teknologi PTT ditentukan bersama-sama petani melalui analisis kebutuhan teknologi (need assessment). Komponen teknologi PTT terdiri atas dua bagian, yaitu teknologi dasar (compulsory) yang dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi. Sedangkan komponen teknologi pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan. Komponen teknologi PTT pilihan dapat menjadi compulsory apabila hasil KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang) memprioritaskan komponen teknologi yang dimaksud menjadi keharusan untuk pemecahan masalah utama suatu wilayah, demikian pula sebaliknya bagi komponen teknologi dasar.

Komponen PTT Padi Dasar untuk sawah irigasi misalnya adalah varietas moderen (VUB, PH, PTB), bibit bermutu dan sehat, cara tanam jajar legowo, pemupukan berimbang dan efisien menggunakan BWD dan PUTS/petak omisi/Permentan No. 40/2007, dan PHT sesuai OPT sasaran. Sementara komponen pilihannya dapat berupa penggunaan bahan organik (pupuk kandang), umur bibit, pengolahan tanah, pengelolaan air optimal (pengairan berselang), pupuk cair (PPC, ppk organik, pupuk bio-hayati, ZPT, pupuk mikro), penanganan panen dan pasca panen misalnya menggunakan alsin. Selain itu juga bisa menerapkan penggunaan varietas unggul adaptif, pemupukan spesifik lokasi bahkan dapat menggunakan amelioran (abu atau kapur untuk meningkatkan pH tanah), pengendalian hama dan penyakit terpadu, serta menggunakan alsin untuk pra dan pasca panen.

Karena menerapkan pendekatan “Sekolah Lapang” maka petani diajari  dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Indikator keberhasilan SL-PTT dapat dilihat dari peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap, penerapan budidaya yang baik dan benar, peningkatan produktivitas dan keberlanjutan serta replikasinya. Jadi, pada PTT lebih maju dibandingkan dengan SL-PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dulu, dimana petani hanya terlibat intens dalam pengelolaan di lahan, belum terfikir melibatkan petani dalam perencanaan tanam dan lain-lain.

Laboratorium Lapangan dalam PTT adalah area yang terdapat dalam kawasan SL-PTT yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, temu lapang, tempat belajar dan tempat praktek penerapan teknologi yang disusun dan diaplikasikan bersama oleh petani. Ada 4 prinsip pelaksanaan PTT, yaitu: (1) Terpadu, dimana seluruh sumber daya tanaman, tanah dan air dapat dikelola sebaik-baiknya secara terpadu, (2) Sinergis, dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi, (3) Spesifik lokasi, mempertimbangkan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat, dan (4) Partisipatif, dimana petani turut memilih dan menguji teknologi.

Sebelum merakit teknologi, pemandu lapangan bersama petani melakukan Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) dengan mempertimbangkan cara pengelolaan tanaman, analisis iklim, curah hujan, kesuburan tanah, luas pemilikan lahan, dan lingkungan sosial ekonomi.

Perbedaan komponen teknologi pada pendekatan PTT dan SRI
Perlakuan
PTT
SRI
Dosis pupuk anjuran
Sesuai Kepmen Pertanian N0.1 tahun 2006 pupuk anorganik dan pupuk oeganik, BWD dan PUTS atau petak omisi
Bahan organik 10 ton/ha
Seleksi Benih
Pemilahan benih bernas dengan air garam atau ZA 3 %
Pemilahan benih bernas dengan telur dan air garam
Varietas
Varietas unggul baru, varietas unggul tipe baru dan varietas unggul hibrida
Varietas lokal atau unggul baru
Persemaian
Persemaian basah dengan mengaplikasikan kompos, sekam dan pupuk
Persemaian kering
Tanam bibit
10-21 HSS atau semuda mungkin, gunakan bibit umur agak tua di daerah endemis keong mas
7-14 HSS
Jumlah bibit per lubang
1-3 bibit, bibit sesedikit mungkin

1 bibit per lubang
Jarak tanam
Untuk VUB/VUTB adalah 20x20 cm
30 cm x 30 cm atau lebih lebar
Hama penyakit
Menerapkan prinsip PHT, bila perlu berdasarkan hasil monitoring dapat digunakan pestisida kimia, hayati dan nabati maupun kombinasinya.
Pengendalian hayati, pestisida nabati dan pestisida hayati
Pengelolaan gulma
Menerapkan Prinsip Pengendalian Gulma Terpadu (PGT), menggunakan herbisida kimia atau penyiangan
Penyiangan mekanis dengan landak sebanyak 4 kali.
Pengairan
Pengairan berselang
Tanah dipertahankan lembab hingga retak-retak selama vegetatif
Penanganan pascapanen
Mesin perontok dan gebot disesuaikan dengan kondisi petani
Menggunakan gebot
Metode pendekatan
PRA
Pembelajaran Ekologi Tanah (PET)
Kelembagaan
SIPT, KUAT, dan KUM
Pemberdayaan kelompok
Pendekatan diseminasi
Kelompoktani, hamparan, dan Demfarm
Kelompok studi petani, individu, dan demplot
  Sumber: “Perbedaan Teknologi Pendekatan SRI dan PTT” (http://kjf-distanhutbun.blogspot.com/...)

     Saat ditemukan di awalnya, prinsip pokok SRI adalah penerapan air sesedikit mungkin, serta benih muda sebatang. Prinsip-prinsip pokok SRI mengacu kepada Cornell University berupa pengairan minimal, kondisi anaerobik minimal, mendorong pertumbuhan akar bersama-sama dengan mengembangkan sebanyak mungkin organisme aerobik tanah. Penggunaan benih tunggal dan memberi ruang yang cukup untuk pertumbuhan akar dan kanopi dan fotosisntesis, penggunaan benih muda di bawah 15 hari untuk mengurangi trauma akar dan mengurangi transplant shock.


Berkembangnya SRI dari Madagascar ke berbagai belahan dunia adalah berkat jasa Norman Uphoff direktur International Institute for Food, Agriculture and Development di Cornell University dari tahun 1990 sampai 2005. Namun, SRI baru dikenal di wilayah Asia mulai 1997.  Para penemu dan pendukung SRI melaporkan peningkatan hasil, penghematan air, mengurangi biaya, serta meningkatkan pendapatan di 40 negara. Uphoff dalam majalah International Journal of Agricultural Sustainability melaporkan bahwa SRI "can raise irrigated rice yields to about double the present world average without relying on external inputs, also offering environmental and equity benefits." Bahkan dalam jurnal Paddy and Water Environment dilaporkan bahwa tahun 2011  petani Sumant Kumar mampu mencapai produksi yang dicatat sebagai rekor dunia yakni 22,4 ton per ha karena menerapkan SRI. Rekor ini lebih tinggi 3 ton dibanding yang dicapai seorang ilmuwan Cina Yuan Longping. Sangat fantastis, entah benar entah tidak. *******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar