Kebanyakan orang mengatakan paket teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan System of Rice Intensification
(SRI) adalah sama belaka. Ada yang berpendapat PTT adalah nama Indonesia dari
SRI, karena ogah pakai istilah Inggris. Memang banyak kesamaan di antara
kedua ini, namun perbedaannya juga ada. Kesamaannya adalah berupaya
meningkatkan produktivitas padi per luasan lahan, dengan teknologi unggul, produksi
beras yang sehat, dan ramah lingkungan. Juga sama-sama
menerapkan metode sekolah lapang dalam pelaksanaannya, mulai dari awal tanam
sampai panen (lebih kurang 15 kali pertemuan).
Perbandingan prinsip, pendekatan dan praktek PTT
dengan SRI
PTT
|
SRI
|
PTT
adalah “Suatu pendekatan inovatif
dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui
perbaikan sistem/pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis
antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta
bersifat spesifik lokasi (fleksibel)” (Keputusan Dirjen Tanaman
Pangan No. 6 tahun 2013 tentang Pedoman Teknis SL-PTT Padi Dan Jagung TA
2013).
|
Selengkapnya disebut dengan “Usahatani padi sawah
organik metode SRI” adalah: “usahatani padi sawah irigasi secara
intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui
pemberdayaan kelompok tani dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah
ramah lingkungan” (Pedoman Teknis
Pengembangan SRI tahun 2012 oleh Dijend Prasarana Dan Sarana
Pertanian Kementerian Pertanian).
|
Diterapkan
di sawah irigasi, sawah tadah hujan, padi gogo, sawah rawa lebak. Telah
berkembang pula untuk jagung dan kedelai.
|
Hanya
di lahan sawah irigasi, dan terbatas hanya untuk tanaman padi.
|
Teknologi
disesuaikan dengan kebutuhan lokasi, iklim, dan kesediaan petani (spesifik
lokasi) atau sesuai prinsip demand driven technology. Menghargai kebutuhan dan keinginan petani
dan kearifan lokal setempat.
|
Pilihan
teknologi lebih ketat, merupakan paket berupa usahatani padi organik. Paket
teknologi seragam dan tidak bergantung lokasi.
|
Teknologi
ramah lingkungan adalah pilihan, tidak harus. Kebutuhan teknologi didasarkan
atas need assessment.
|
Proses
produksi ramah lingkungan lebih diutamakan. Menghasilkan produk yang sehat
(organik), dengan target peningkatan 2 ton/ha dibandingkan produksi dengan
teknologi konvensional.
|
Pengawalan
dan pendampingan dilakukan banyak pihak termasuk PPL, POPT, PBT, Mantri
Tani, dan petugas lainnya sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
|
Pelatih adalah pemandu atau
petani maju yang telah mampu menerapkan metode SRI.
|
Luas per
unit kegiatan 25 ha, ada laboratorium lapang 1 ha, dilakukan pada lahan
sehamparan
|
Luas 10
ha ditambah 10 ha secara swadaya, juga sehamparan.
|
Bantuan
input penuh untuk laboratorium lapang 1 ha, selebihnya swadaya petani.
|
Bantuan
hanya untuk yang 10 ha, berupa benih 5 kg/ha dan pupuk organik, serta
ditambah bantuan APO (alat pengolah organik).
|
Sebagai
program di Kementan, mulai tahun 2008.
|
Ditemukan tahun 1983 oleh Father Henri de LaulaniƩ di Madagascar, dan baru tahun 1997 dikenal di wilayah Asia. Hanya
untuk usahatani padi.
|
Perbedaan pokoknya adalah, di SRI begitu mementingkan
teknologi organik. Karena itulah, petani juga
diberikan bantuan pengadaan alat pengolah organik (APPO) sebanyak 2 unit per kelompok
tani. Pada PTT, Komponen
teknologi PTT ditentukan bersama-sama petani melalui analisis kebutuhan
teknologi (need assessment). Komponen teknologi PTT terdiri atas dua
bagian, yaitu teknologi dasar (compulsory) yang dianjurkan untuk
diterapkan di semua lokasi. Sedangkan komponen teknologi pilihan disesuaikan
dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan. Komponen teknologi PTT pilihan dapat
menjadi compulsory apabila hasil KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang)
memprioritaskan komponen teknologi yang dimaksud menjadi keharusan untuk
pemecahan masalah utama suatu wilayah, demikian pula sebaliknya bagi komponen
teknologi dasar.
Komponen PTT Padi Dasar untuk sawah
irigasi misalnya adalah varietas moderen (VUB, PH, PTB), bibit bermutu dan sehat, cara
tanam jajar legowo, pemupukan berimbang dan efisien menggunakan BWD dan
PUTS/petak omisi/Permentan No. 40/2007, dan PHT sesuai OPT sasaran. Sementara
komponen pilihannya dapat berupa penggunaan bahan organik (pupuk kandang), umur
bibit, pengolahan tanah, pengelolaan air optimal (pengairan berselang), pupuk
cair (PPC, ppk organik, pupuk bio-hayati, ZPT, pupuk mikro), penanganan panen
dan pasca panen misalnya menggunakan alsin. Selain itu juga bisa menerapkan penggunaan
varietas unggul adaptif, pemupukan spesifik lokasi bahkan dapat menggunakan
amelioran (abu atau kapur untuk meningkatkan pH tanah), pengendalian hama dan
penyakit terpadu, serta menggunakan alsin untuk pra dan pasca panen.
Karena
menerapkan pendekatan “Sekolah Lapang” maka petani diajari dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani,
mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang
sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan
lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan
berkelanjutan. Indikator keberhasilan SL-PTT dapat dilihat dari peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap, penerapan budidaya yang baik dan
benar, peningkatan produktivitas dan keberlanjutan serta replikasinya. Jadi, pada
PTT lebih maju dibandingkan dengan SL-PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dulu, dimana
petani hanya terlibat intens dalam pengelolaan di lahan, belum terfikir melibatkan petani dalam perencanaan
tanam dan lain-lain.
Laboratorium
Lapangan dalam PTT adalah area yang terdapat dalam kawasan SL-PTT yang berfungsi
sebagai lokasi percontohan, temu lapang, tempat belajar dan tempat praktek
penerapan teknologi yang disusun dan diaplikasikan bersama oleh petani. Ada 4 prinsip pelaksanaan PTT, yaitu: (1) Terpadu,
dimana seluruh sumber daya tanaman, tanah dan air dapat dikelola sebaik-baiknya
secara terpadu, (2) Sinergis, dengan memperhatikan keterkaitan yang saling
mendukung antar komponen teknologi, (3) Spesifik lokasi, mempertimbangkan
kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi
petani setempat, dan (4) Partisipatif, dimana petani turut memilih dan menguji
teknologi.
Sebelum merakit teknologi, pemandu lapangan
bersama petani melakukan Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian
Kebutuhan dan Peluang (KKP) dengan mempertimbangkan cara pengelolaan tanaman,
analisis iklim, curah hujan, kesuburan tanah, luas pemilikan lahan, dan lingkungan
sosial ekonomi.
Perbedaan komponen teknologi pada
pendekatan PTT dan SRI
Perlakuan
|
PTT
|
SRI
|
Dosis pupuk anjuran
|
Sesuai Kepmen Pertanian N0.1 tahun 2006 pupuk anorganik
dan pupuk oeganik, BWD dan PUTS atau petak omisi
|
Bahan organik 10 ton/ha
|
Seleksi Benih
|
Pemilahan benih
bernas dengan air garam atau ZA 3 %
|
Pemilahan benih
bernas dengan telur dan air garam
|
Varietas
|
Varietas unggul baru, varietas unggul tipe baru dan
varietas unggul hibrida
|
Varietas lokal atau unggul baru
|
Persemaian
|
Persemaian basah dengan
mengaplikasikan kompos, sekam dan pupuk
|
Persemaian kering
|
Tanam bibit
|
10-21 HSS atau semuda mungkin, gunakan bibit umur agak
tua di daerah endemis keong mas
|
7-14 HSS
|
Jumlah bibit per lubang
|
1-3 bibit, bibit
sesedikit mungkin
|
1 bibit per lubang
|
Jarak tanam
|
Untuk VUB/VUTB adalah 20x20 cm
|
30 cm x 30 cm atau lebih lebar
|
Hama penyakit
|
Menerapkan prinsip
PHT, bila perlu berdasarkan hasil monitoring dapat digunakan pestisida kimia,
hayati dan nabati maupun kombinasinya.
|
Pengendalian hayati,
pestisida nabati dan pestisida hayati
|
Pengelolaan gulma
|
Menerapkan Prinsip Pengendalian Gulma Terpadu (PGT), menggunakan
herbisida kimia atau penyiangan
|
Penyiangan mekanis dengan landak sebanyak 4 kali.
|
Pengairan
|
Pengairan berselang
|
Tanah dipertahankan
lembab hingga retak-retak selama vegetatif
|
Penanganan pascapanen
|
Mesin perontok dan gebot
disesuaikan dengan kondisi petani
|
Menggunakan gebot
|
Metode pendekatan
|
PRA
|
Pembelajaran Ekologi
Tanah (PET)
|
Kelembagaan
|
SIPT, KUAT, dan KUM
|
Pemberdayaan kelompok
|
Pendekatan diseminasi
|
Kelompoktani,
hamparan, dan Demfarm
|
Kelompok studi
petani, individu, dan demplot
|
Saat
ditemukan di awalnya, prinsip pokok SRI adalah penerapan air sesedikit mungkin,
serta benih muda sebatang. Prinsip-prinsip pokok SRI mengacu kepada Cornell
University berupa pengairan minimal, kondisi anaerobik minimal, mendorong
pertumbuhan akar bersama-sama dengan mengembangkan sebanyak mungkin organisme
aerobik tanah. Penggunaan benih tunggal dan memberi ruang yang cukup untuk
pertumbuhan akar dan kanopi dan fotosisntesis, penggunaan benih muda di bawah
15 hari untuk mengurangi trauma akar dan mengurangi transplant shock.
Berkembangnya
SRI dari Madagascar ke berbagai belahan dunia adalah berkat jasa Norman Uphoff
direktur International Institute for
Food, Agriculture and Development di Cornell University dari tahun 1990 sampai 2005. Namun, SRI baru dikenal di
wilayah Asia mulai 1997. Para penemu dan
pendukung SRI melaporkan peningkatan hasil, penghematan air,
mengurangi biaya, serta meningkatkan pendapatan di 40 negara. Uphoff dalam
majalah International Journal of
Agricultural Sustainability melaporkan bahwa SRI "can raise irrigated rice yields to about double the present world
average without relying on external inputs, also offering environmental and
equity benefits." Bahkan dalam jurnal Paddy and Water Environment dilaporkan bahwa tahun 2011 petani Sumant Kumar mampu mencapai produksi
yang dicatat sebagai rekor dunia yakni 22,4 ton per ha karena menerapkan SRI.
Rekor ini lebih tinggi 3 ton dibanding yang dicapai seorang ilmuwan Cina Yuan
Longping. Sangat fantastis, entah benar entah tidak. *******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar