Bagi hasil merupakan pola kerjasama ekonomi yang menjadi
unggulan bank syariah. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak masyarakat
yang mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”. Bagi hasil
dianggap lebih mampu menjamin keadilan antar pelakunya. Keadilan merupakan
hakekat perekonomian Islam.
Pada hakekatnya, penerapan bagi hasil dalam institusi
ekonomi lahir secara alamiah, dan dapat ditemukan dalam berbagai corak ideologi
ekonomi, baik feodalis, sosialis, bahkan kapitalis. Di Indonesia, bagi hasil
sudah dikenal pada usaha-usaha pertanian semenjak dahulu, mulai dari Aceh,
Bali, sampai Ternate, Toraja dan Gorontalo.
Meskipun demikian, bagi hasil yang berjalan pada
masyarakat kita memiliki beberapa karakteristik yang perlu dicermati. Penerapan
bagi hasil yang diusung oleh bank syariah belum tentu sejalan dengan kebiasaan
yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Meskipun nilai-nilai dan motif yang
menjadi landasannya sama, namun ada banyak variasi dalam prakteknya yang
mungkin sangat berbeda. Perlu kreatifitas untuk menciptakan pola-pola baru
dengan mengadaptasi bentuk-bentuk yang sudah ada selama ini.
Penerapan bagi hasil di
masyarakat pedesaan khususnya ada pada strata bawah. Secara umum, penerapannya
dilandasi semangat sosial, masih terbatas pada bentuk ekonomi subsistensi, mentolerir
ketidakjujuran pada batas-batas tertentu, dan pengawasan berlangsung melalui
relasi sosial yang bersifat intim. Di perbankan syariah sangat beda.
Perbedaan antara karakter
bagi hasil tradisional di pertanian dengan ideal dalam perbankan syariah
Bagi
hasil di pertanian
|
Bagi
hasil di perbankan syariah
|
Merupakan hal yang sudah mentradisi, sudah
berlangsung lama secara alamiah.
|
Merupakan
introduksi. Di Indonesia merupakan hal baru, yang mulai dikenal ketika Bank
Muamalah Indonesia (BMI) berdiri tahun 2000.
|
Berlangsung pada strata bawah, dijalankan oleh
pemilik lahan, buruh tani, buruh ceblokan,
tukang arit, buruh pacul, dan Mbok-Mbok buruh tandur. Golongan pekerja kasar
yang bekeringat dan tidak wangi.
|
Pada skala atas, berada dalam
manajemen perbankan modern. Sesuatu yang ”sangat elitis”, diciptakan dan
dikawal oleh eksekutif cantik, tampan dan harum mewangi.
|
Sangat tidak formal, bahkan juga tidak legal,
tidak tercatat.
|
Sangat
formal, melibatkan dokumen dan tercatat, ada cap, setempel, dan tanda tangan.
|
Merupakan suatu relasi ekonomi dan sosial, namun
sosial lebih kuat
|
Relasi ekonomi lebih menonjol
|
Motivasinya untuk berbagi, saling menghidupkan,
saling tolong.
|
Pada
bank, lebih untuk mencari pendapatan. Hakekat semestinya memang untuk saling
berbagi, namun sebagai bank ia terperangkap spirit sebagai pencari untung.
|
Berbagi modal dan resiko, namun pemilik lahan
biasanya lebih untung.
|
Berbagi modal dan resiko, bank
berusaha tidak rugi.
|
Berbagi hasil kotor dan bersih
|
Bagi
hasi kotor dan bersih. Namun karena keterbatasan staf, pihak bank lebih memilih
berbagi hasil bersih.
|
Pengawasan secara halus dan tersembunyi. Pemilik
lahan mengawasi usaha secara halus dalam hubungan yang intim berformat
hubungan patron-klien.
|
Pengawasan dalam manajemen
perekonomian modern, secara vulgar dan frontal. Ada surat peringatan, ada
pengaduan ke polisi, ada ancaman jaksa, dst.
|
Kepercayaan (trust) merupakan modal unik
yang dibangun melalui hubungan yang cukup lama. Biasanya tidak ada surat
perjanjian. Sangat tidak anonim, namun personal.
|
Tidak
mengandalkan kepercayaan, namun pada kontrak formal. Surat perjanjian dibuat
untuk mencegah ketidakjujuran. Lebih anonim.
|
Bagi hasil ditawarkan bank baik pada produk-produk
penyaluran dana maupun penghimpunan dana. Dalam penyaluran dana, selain bagi
hasil juga diterapkan prinsip jual beli
dan sewa. Jika pada jual beli dan sewa perolehan bank ditetapkan di depan, maka
pada bagi hasil tingkat pendapatan bank ditentukan besarnya keuntungan usaha
dan nisbah bagi hasil. Kelompok produk yang menerapkan prinsip bagi hasil yang
sudah dikenal luas adalah Musyarakah dan
Mudharabah.
Keduanya dibedakan
berdasarkan sumber dana dan keterlibatan pemilik dana dalam pengelolaan usaha.
Dalam musyarakah kedua belah pihak memadukan seluruh sumberdaya, baik
materil dan non materil, yaitu dana tunai, barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan. Pemilik modal berhak ikut serta menentukan
kebijakan pengelolaan usaha. Sementara dalam mudharabah, sumber modal
hanya dari pemilik modal (shahibul maal).
Ia tidak terlibat dalam manajemen, karena telah mempercayakan sepenuhnya kepada
pengelola (mudharib). Mudharabah juga
dikenal dalam penghimpunan dana, dimana penabung berposisi sebagai pemilik
modal dan bank sebagai pengelolanya.
Bagi hasil di masyarakat pertaniann kita ditemukan pada
usahatani padi di sawah, usaha peternakan, dan terutama di perikanan tangkap
laut. Bagi hasil umumnya lahir pada usaha yang hasilnya kurang dapat dipastikan
dan memiliki resiko yang besar. Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 2 tahun
1960 dan UU No. 16 tahun 1964 tentang Perjanjian Bagi Hasil untuk usaha
pertanian dan perikanan, namun implementasinya sangat lemah. Bagi hasil yang
eksis sampai saat ini tidak berpedoman kepada aturan ini, meskipun adakalanya
sejalan.
Bagi usaha juga ditemui pada usaha peternakan. Selain
untuk dikembangbiakkan, adalah hal yang umum ternak hanya “dititipkan” sebagai
tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sebagai imbalan dalam
pemeliharaannya, maka induk dapat diperkerjakan oleh si pemelihara untuk
membajak di sawah orang lain dengan mendapat upah.
Bagaimanapun ragamnya, namun kerjasama bagi hasil selalu
didahului oleh perjanjian (akad) bagi hasil yang tegas dan jangka waktu
tertentu. Inilah benang tipis yang “diperjuangkan” dalam perbankan Islam, yang
membedakannya dengan ideologi ekonomi lain.
Satu pendekatan yang menarik ditemui dalam pengawasan
usaha. Tidak sebagaimana pengawasan dalam perekonomian modern yang berlangsung
secara vulgar dan frontal, petani pemilik tanah mengawasi usaha secara halus
dalam hubungan yang intim berformat hubungan patron-klien yang tentu tidak
anonim. Ada toleransi terhadap ketidakjujuran dalam batas-batas tertentu.
Pemilik tanah tahu bahwa penyakap adakalanya tidak melaporkan hasil panen
sesungguhnya, terutama bila panen kurang baik. Ini dianggap korbanan dari
sistem pengawasan yang “murah” tersebut. Prinsipnya memang untuk ”saling
menghidupi”.
Kenyataannya, bagi hasil juga membuka peluang terjadinya
perilaku eksploitatif oleh pemilik modal. Hal ini lumrah ditemukan dalam usaha
perikanan tangkap. Para buruh nelayan yang teralienasi terhadap “ekosistem
daratan”, memudahkan pemilik (juragan darat) mengeruk bagian secara lebih besar
dengan tidak menginformasikan secara benar tentang harga es, garam, dan bahan bakar yang menjadi modal kerja, serta
harga ikan perolehan.
Banyak tantangan untuk penerapan bagi hasil ke depan.
Kerjasama ekonomi dengan menerapkan bagi hasil merupakan produk yang fitrah
alamiah yang akan selalu eksis. Bagi hasil akan tetap eksis selama menumpuknya
pemilikan modal pada sekelompok orang dihadapkan dengan barisan manusia yang
hanya mengandalkan tenaga dan ketrampilannya. Bagi perbankan syariah, ada
kendala antara kultur perbankan yang menuntut pengelolaan secara modern dan
kepastian manajemen, dihadapkan kepada penerapan bagi hasil pada masyarakat
kita yang cenderung mengandalkan hubungan-hubungan atas solidaritas tradisional
dan terkesan fleksibel. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar