Kamis, 26 Januari 2017

Bagi Hasil: menurut Bank Syariah vs pada Pertanian Tradisional

Bagi hasil merupakan pola kerjasama ekonomi yang menjadi unggulan bank syariah. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”. Bagi hasil dianggap lebih mampu menjamin keadilan antar pelakunya. Keadilan merupakan hakekat perekonomian Islam.

Pada hakekatnya, penerapan bagi hasil dalam institusi ekonomi lahir secara alamiah, dan dapat ditemukan dalam berbagai corak ideologi ekonomi, baik feodalis, sosialis, bahkan kapitalis. Di Indonesia, bagi hasil sudah dikenal pada usaha-usaha pertanian semenjak dahulu, mulai dari Aceh, Bali, sampai Ternate, Toraja dan Gorontalo.

Meskipun demikian, bagi hasil yang berjalan pada masyarakat kita memiliki beberapa karakteristik yang perlu dicermati. Penerapan bagi hasil yang diusung oleh bank syariah belum tentu sejalan dengan kebiasaan yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Meskipun nilai-nilai dan motif yang menjadi landasannya sama, namun ada banyak variasi dalam prakteknya yang mungkin sangat berbeda. Perlu kreatifitas untuk menciptakan pola-pola baru dengan mengadaptasi bentuk-bentuk yang sudah ada selama ini.

Penerapan bagi hasil di masyarakat pedesaan khususnya ada pada strata bawah. Secara umum, penerapannya dilandasi semangat sosial, masih terbatas pada bentuk ekonomi subsistensi, mentolerir ketidakjujuran pada batas-batas tertentu, dan pengawasan berlangsung melalui relasi sosial yang bersifat intim. Di perbankan syariah sangat beda.

Perbedaan antara karakter bagi hasil tradisional di pertanian dengan ideal dalam perbankan syariah
Bagi hasil di pertanian
Bagi hasil di perbankan syariah

Merupakan hal yang sudah mentradisi, sudah berlangsung lama secara alamiah.

Merupakan introduksi. Di Indonesia merupakan hal baru, yang mulai dikenal ketika Bank Muamalah Indonesia (BMI) berdiri tahun 2000.
Berlangsung pada strata bawah, dijalankan oleh pemilik lahan, buruh tani, buruh ceblokan, tukang arit, buruh pacul, dan Mbok-Mbok buruh tandur. Golongan pekerja kasar yang bekeringat dan tidak wangi.
Pada skala atas, berada dalam manajemen perbankan modern. Sesuatu yang ”sangat elitis”, diciptakan dan dikawal oleh eksekutif cantik, tampan dan harum mewangi.
Sangat tidak formal, bahkan juga tidak legal, tidak tercatat.
Sangat formal, melibatkan dokumen dan tercatat, ada cap, setempel, dan tanda tangan.
Merupakan suatu relasi ekonomi dan sosial, namun sosial lebih kuat
Relasi ekonomi lebih menonjol
Motivasinya untuk berbagi, saling menghidupkan, saling tolong.
Pada bank, lebih untuk mencari pendapatan. Hakekat semestinya memang untuk saling berbagi, namun sebagai bank ia terperangkap spirit sebagai pencari untung.
Berbagi modal dan resiko, namun pemilik lahan biasanya lebih untung.
Berbagi modal dan resiko, bank berusaha tidak rugi.
Berbagi hasil kotor dan bersih
Bagi hasi kotor dan bersih. Namun karena keterbatasan staf, pihak bank lebih memilih berbagi hasil bersih.
Pengawasan secara halus dan tersembunyi. Pemilik lahan mengawasi usaha secara halus dalam hubungan yang intim berformat hubungan patron-klien.
Pengawasan dalam manajemen perekonomian modern, secara vulgar dan frontal. Ada surat peringatan, ada pengaduan ke polisi, ada ancaman jaksa, dst.
Kepercayaan (trust) merupakan modal unik yang dibangun melalui hubungan yang cukup lama. Biasanya tidak ada surat perjanjian. Sangat tidak anonim, namun personal.
Tidak mengandalkan kepercayaan, namun pada kontrak formal. Surat perjanjian dibuat untuk mencegah ketidakjujuran. Lebih anonim.

Bagi hasil ditawarkan bank baik pada produk-produk penyaluran dana maupun penghimpunan dana. Dalam penyaluran dana, selain bagi hasil juga  diterapkan prinsip jual beli dan sewa. Jika pada jual beli dan sewa perolehan bank ditetapkan di depan, maka pada bagi hasil tingkat pendapatan bank ditentukan besarnya keuntungan usaha dan nisbah bagi hasil. Kelompok produk yang menerapkan prinsip bagi hasil yang sudah dikenal luas adalah Musyarakah dan Mudharabah.

Keduanya dibedakan berdasarkan sumber dana dan keterlibatan pemilik dana dalam pengelolaan usaha. Dalam musyarakah kedua belah pihak memadukan seluruh sumberdaya, baik materil dan non materil, yaitu dana tunai, barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan.  Pemilik modal berhak ikut serta menentukan kebijakan pengelolaan usaha. Sementara dalam mudharabah, sumber modal hanya dari pemilik modal (shahibul maal). Ia tidak terlibat dalam manajemen, karena telah mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola (mudharib). Mudharabah juga dikenal dalam penghimpunan dana, dimana penabung berposisi sebagai pemilik modal dan bank sebagai pengelolanya.

Bagi hasil di masyarakat pertaniann kita ditemukan pada usahatani padi di sawah, usaha peternakan, dan terutama di perikanan tangkap laut. Bagi hasil umumnya lahir pada usaha yang hasilnya kurang dapat dipastikan dan memiliki resiko yang besar. Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 2 tahun 1960 dan UU No. 16 tahun 1964 tentang Perjanjian Bagi Hasil untuk usaha pertanian dan perikanan, namun implementasinya sangat lemah. Bagi hasil yang eksis sampai saat ini tidak berpedoman kepada aturan ini, meskipun adakalanya sejalan.

Bagi usaha juga ditemui pada usaha peternakan. Selain untuk dikembangbiakkan, adalah hal yang umum ternak hanya “dititipkan” sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sebagai imbalan dalam pemeliharaannya, maka induk dapat diperkerjakan oleh si pemelihara untuk membajak di sawah orang lain dengan mendapat upah.

Bagaimanapun ragamnya, namun kerjasama bagi hasil selalu didahului oleh perjanjian (akad) bagi hasil yang tegas dan jangka waktu tertentu. Inilah benang tipis yang “diperjuangkan” dalam perbankan Islam, yang membedakannya dengan ideologi ekonomi lain.

Satu pendekatan yang menarik ditemui dalam pengawasan usaha. Tidak sebagaimana pengawasan dalam perekonomian modern yang berlangsung secara vulgar dan frontal, petani pemilik tanah mengawasi usaha secara halus dalam hubungan yang intim berformat hubungan patron-klien yang tentu tidak anonim. Ada toleransi terhadap ketidakjujuran dalam batas-batas tertentu. Pemilik tanah tahu bahwa penyakap adakalanya tidak melaporkan hasil panen sesungguhnya, terutama bila panen kurang baik. Ini dianggap korbanan dari sistem pengawasan yang “murah” tersebut. Prinsipnya memang untuk ”saling menghidupi”.

Kenyataannya, bagi hasil juga membuka peluang terjadinya perilaku eksploitatif oleh pemilik modal. Hal ini lumrah ditemukan dalam usaha perikanan tangkap. Para buruh nelayan yang teralienasi terhadap “ekosistem daratan”, memudahkan pemilik (juragan darat) mengeruk bagian secara lebih besar dengan tidak menginformasikan secara benar tentang harga es, garam, dan  bahan bakar yang menjadi modal kerja, serta harga ikan perolehan.


Banyak tantangan untuk penerapan bagi hasil ke depan. Kerjasama ekonomi dengan menerapkan bagi hasil merupakan produk yang fitrah alamiah yang akan selalu eksis. Bagi hasil akan tetap eksis selama menumpuknya pemilikan modal pada sekelompok orang dihadapkan dengan barisan manusia yang hanya mengandalkan tenaga dan ketrampilannya. Bagi perbankan syariah, ada kendala antara kultur perbankan yang menuntut pengelolaan secara modern dan kepastian manajemen, dihadapkan kepada penerapan bagi hasil pada masyarakat kita yang cenderung mengandalkan hubungan-hubungan atas solidaritas tradisional dan terkesan fleksibel. ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar