Kamis, 26 Januari 2017

Kebutuhan Lahan vs Ketersediaan Lahan untuk Pertanian

Kita sering teriak-teriak “Laksanakan Landreform!”, “Bagikan Lahan Ke Penduduk!”, “Buka Akses Lahan untuk Petani!”, dan seterusnya. Namun, tidak banyak yang paham sebenarnya berapa kebutuhan kita terhadap lahan, dan seberapa pula luas lahan yang ada. Saat ini siapa saja yang telah menguasai lahan yang ada, dan dipakai untuk apa saja? Artinya, kita harus paham dengan baik kedua sisinya: seberapa luas kebutuhan lahan dan seberapa luas lahan yang bisa dimanfaatkan.

Perbedaan konteks antara kebutuhan lahan dengan ketersediaan lahan
Kebutuhan lahan
Lahan yang tersedia

Dasarnya adalah untuk mencapai produksi yang cukup secara nasional (swasembada) dan kesejahteraan rumah tangga petani

Dasarnya adalah batasan sistem ekologis yang sehat dan berkelanjutan agar dunia ini tetap berjalan berkelanjutan dan lestari.
Sisi permintaan (demand) terhadap lahan, yang datang dari kebutuhan sektor ekonomi mulai dari pertanian, industri, perumahan, perkantoran, dan lain-lain.
Sisi ketersediaan (supply) lahan, yang batasannya adalah daya dukung alam terhadap manusia dan segala isinya, sehingga diperoleh formula berapa luas hutan semestinya, berapa kawasan budidaya, berapa luas bangunan, dst 
Menggunakan dimensi ekonomi, dimana faktor yang dipertimbangkan adalah jumlah penduduk, tingkat konsumsi, target produksi, dan produktivitas lahan.
Dimensi ekologis, dengan mempertimbangkan topografi, tegakan yang ada, tutupan lahan, penggunaan lahan, sistem tata air, sistem udara yang sehat, dll
Konsep keberlanjutannya adalah keberlanjutan produksi
Keberlanjutan kondisi alam dan lingkungan, dalam hal biofisik.
Lebih kurang, untuk swasembada empat komoditas utama setidaknya perlu 32,76 juta ha. Sementara, untuk konteks landreform, jika tiap rumah tangga petani dan petani gurem diberi masing-masing 2 ha, maka perlu 80 juta ha.
Luas Indonesia 800 juta ha, terdiri atas 609 juta ha laut dan 191 juta ha daratan. Sesuai dengan RTRW, dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya 123 juta ha dapat digunakan untuk budidaya. Riciannya adalah lahan basah 25,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha, dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta ha.


Dalam konteks kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5 komoditas sebagai komoditas pokok yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan sapi. Seluruh komoditas kecuali peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau disebut sebagai land based agricultural. Secara kasar untuk kondisi saat ini, keempat komoditas membutuhkan lahan setidaknya 32,76 juta ha. Kebutuhan lahan untuk beras 12 juta ha, jagung 6,21 juta ha, kedelai 2,27 juta ha, dan gula 12,28 juta ha. Selain keempat komoditas tersebut, Indonesia juga harus memberikan perhatian kepada komoditas perkebunan, setidaknya kelapa sawit dan karet.

Kebutuhan ini berubah-ubah tiap waktu, tergantung kepada berapa penduduk dan tingkat konsumsinya, berapa harus diproduksi, dan bagaimana produktivitas lahan per komoditas. Untuk saat ini, dalam hal kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha mungkin sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya setengahnya yakni 12 juta ha. Tentu jika lahan bisa dipakai optimal dan jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.

Dari sisi lain, sebutlah untuk kesejahteraan petani, dimana secara rerata rumah tangga akan sejahtera jika masing-masing menguasai 2 ha lahan. Dengan demikian, sesuai dengan hasil Sensus Pertanian 2013 oleh BPS, jika total rumah tangga usaha pertanian adalah 26,14 juta rumah tangga, maka 26,14 rumah tangga x 2 ha = 52,28 juta ha. Lalu, jika petani gurem dimasukkan sebanyak 14,25 juta, masing-masing juga diberi 2 ha, maka perlu seluas 28,5 juta ha lagi. Sehingga, total lahan yang dibutuhkan adalah 80,78 juta ha.

Rumah tangga petani menurut Sensus Pertanian BPS 2013 adalah “rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya memelihara tanaman/ternak/ikan baik untuk tujuan usaha maupun tidak”. Pengertian ini bermakna lebih sempit dibandingkan batasan pada SP 2003 dimana RTP adalah “rumah tangga yang mengusahakan lahan untuk berbagai kegiatan budidaya atau bukan pengguna lahan namun memanfaatkan produk pertanian dalam usahanya (penangkaran, memungut hasil hutan), serta berusaha di bidang jasa pertanian”.  Batasan yang “menyempit” ini mungkin yang menyebabkan mengapa data jumlah RTP menurun. Namun, BPS menyebutkan mungkin karena mereka menjual tanah-tanahnya yang sudah tidak ekonomis, lalu pindah ke kota mencari pekerjaan lain. Mungkin benar, mungkin salah.

Lalu, bagaimana tanah yang tersedia untuk pertanian? Data yang ada tentang ketersediaan tanah serta yang telah digunakan saat ini tidak akurat dan tidak konsisten. Demikian pula dengan data tentang potensi tanah yang dapat menjadi areal untuk pertanian. Menurut data di Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha. Dalam Kementan (3013) disebut 192 juta ha.

Dalam konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga daya dukung lahan dan prinsip sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya. Ini konsisten dengan data di Kementan (2013).

Menurut Kementan (2013), dari total luas kawasan budidaya (123 juta ha), yang berpotensi untuk areal pertanian seluas 101 juta ha, meliputi lahan basah 25,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta ha. Beda dengan ini, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,4 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokumen RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan.

Namun bagaimana kondisi saat ini? Hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa pada kawasan budidaya, hanya 71 juta ha (58%) yang masih dapat digarap petani. Lalu, menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha. Total areal pertanian di Indonesia saat ini lebih kurang 36,3 juta ha (sawah, tegalan, pekarangan, dan perkebunan). Jika disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan wilayah pertanian. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar. Potensi lahan untuk pengembangan pertanian secara biofisik masih cukup luas sekitar 30 juta ha, dimana 10 juta ha di antaranya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan 20 juta ha di kawasan kehutanan (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Sebenarnya Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Sampai saat ini, dari areal yang berpotensi untuk pertanian, yang sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta ha, sehingga masih tersisa 54 juta ha yang berpotensi untuk perluasan areal pertanian. Berdasarkan data BPS (2008), total luas lahan pertanian sekitar 70,2 juta ha, yang terdiri dari lahan pekarangan, tegalan/ladang, sawah, perkebunan, tanaman kayu-kayuan, kolam/tambak, padang rumput, dan lahan sementara tidak diusahakan (alang-alang dan semak belukar). Sebagian besar produk pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, kacang hijau, ubi jalar, dan tebu dihasilkan dari lahan sawah seluas 7,9 juta ha dan sebagian di lahan kering atau tegalan seluas 15,6 juta. Namun dari 15,6 juta ha tersebut, hanya sekitar 5,5 juta hektar yang dimanfaatkan untuk produksi bahan pangan.

Luas lahan sawah menurun dari 8,5 juta ha pada tahun 1993 menjadi 7,9 juta ha pada tahun 2006. Sebaliknya, areal perkebunan melesat pesat, yaitu dari 8,77 juta hektar pada tahun 1986 menjadi 19,3 juta hektar pada tahun
2006. Luas lahan kebun menjadi 2,5 kali nya sawah. Sebanyak 6,3 juta ha adalah kelapa sawit, yakni sepertiga dari total luas kebun, atau hampir sama dengan total sawah. Padahal, tahun 1986 luas sawit hanya 0,6 juta ha.

Kondisi yang ada sungguh menyedihkan. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (2010), 56 persen aset yang ada di Indonesia, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Selama tahun 1973 – 2010, telah terjadi peningkatan rasio rata-rata luas lahan yang dikuasai perusahaan perkebunan terhadap rata-rata lahan yang dikuasai petani dari 1.248 menjadi 5.416. Hal ini berarti ketimpangan penguasaan lahan antara kedua kelompok ini meningkat sebanyak 4,3 kali selama 37 tahun terakhir (Pakpahan, 2012).


Struktur yang terbentuk saat ini tentu karena tarikan dan tekanan ekonomi yang berbeda antar sektor.   Hasil analisis rente ekonomi lahan (land rent economics) menunjukkan bahwa rasio land rent pengusahaan lahan untuk usahatani padi dibandingkan dengan penggunaan untuk perumahan dan industri adalah satu berbanding 622 dan 500. Jadi, tanpa campur tangan pemerintah, lahan pertanian akan habis dengan sendirinya, karena nilai penggunaan untuk sektor lain sangat-sangat menggiurkan.******

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus