Kita sering teriak-teriak “Laksanakan
Landreform!”, “Bagikan Lahan Ke Penduduk!”, “Buka Akses Lahan untuk Petani!”,
dan seterusnya. Namun, tidak banyak yang paham sebenarnya berapa kebutuhan kita
terhadap lahan, dan seberapa pula luas lahan yang ada. Saat ini siapa saja yang
telah menguasai lahan yang ada, dan dipakai untuk apa saja? Artinya, kita harus
paham dengan baik kedua sisinya: seberapa luas kebutuhan lahan dan seberapa
luas lahan yang bisa dimanfaatkan.
Perbedaan konteks
antara kebutuhan lahan dengan ketersediaan lahan
Kebutuhan lahan
|
Lahan yang tersedia
|
Dasarnya adalah untuk mencapai produksi yang cukup secara nasional
(swasembada) dan kesejahteraan rumah tangga petani
|
Dasarnya adalah
batasan sistem ekologis yang sehat dan berkelanjutan agar dunia ini tetap
berjalan berkelanjutan dan lestari.
|
Sisi permintaan (demand)
terhadap lahan, yang datang dari kebutuhan sektor ekonomi mulai dari
pertanian, industri, perumahan, perkantoran, dan lain-lain.
|
Sisi ketersediaan (supply) lahan, yang batasannya adalah
daya dukung alam terhadap manusia dan segala isinya, sehingga diperoleh
formula berapa luas hutan semestinya, berapa kawasan budidaya, berapa luas
bangunan, dst
|
Menggunakan dimensi ekonomi, dimana faktor yang dipertimbangkan adalah
jumlah penduduk, tingkat konsumsi, target produksi, dan produktivitas lahan.
|
Dimensi ekologis,
dengan mempertimbangkan topografi, tegakan yang ada, tutupan lahan,
penggunaan lahan, sistem tata air, sistem udara yang sehat, dll
|
Konsep keberlanjutannya adalah keberlanjutan produksi
|
Keberlanjutan kondisi alam dan
lingkungan, dalam hal biofisik.
|
Lebih kurang, untuk swasembada empat komoditas utama setidaknya perlu
32,76 juta ha. Sementara, untuk konteks landreform,
jika tiap rumah tangga petani dan petani gurem diberi masing-masing 2 ha, maka perlu 80 juta ha.
|
Luas Indonesia 800
juta ha, terdiri atas 609
juta ha laut dan 191 juta
ha daratan. Sesuai dengan RTRW, dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha harus digunakan
sebagai kawasan lindung dan sisanya 123 juta ha dapat digunakan untuk budidaya. Riciannya adalah lahan basah 25,6
juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha, dan lahan kering tanaman
tahunan 50,9 juta ha.
|
Dalam konteks
kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5 komoditas sebagai komoditas
pokok yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan sapi. Seluruh komoditas kecuali
peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau
disebut sebagai land based agricultural.
Secara kasar untuk kondisi saat ini, keempat komoditas membutuhkan lahan
setidaknya 32,76 juta ha. Kebutuhan lahan untuk beras 12 juta ha, jagung 6,21
juta ha, kedelai 2,27 juta ha, dan gula 12,28 juta ha. Selain
keempat komoditas tersebut, Indonesia juga harus memberikan perhatian kepada
komoditas perkebunan, setidaknya kelapa sawit dan karet.
Kebutuhan ini berubah-ubah tiap waktu,
tergantung kepada berapa penduduk dan tingkat konsumsinya, berapa harus
diproduksi, dan bagaimana produktivitas lahan per komoditas. Untuk saat ini,
dalam hal kebutuhan
lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha mungkin sudah
memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya
setengahnya yakni 12 juta ha. Tentu jika lahan bisa dipakai optimal dan jika
teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Dari sisi lain, sebutlah untuk
kesejahteraan petani, dimana secara rerata rumah tangga akan sejahtera jika
masing-masing menguasai 2 ha lahan. Dengan demikian, sesuai dengan hasil Sensus
Pertanian 2013 oleh BPS, jika total rumah
tangga usaha pertanian adalah 26,14 juta rumah tangga, maka 26,14 rumah tangga x 2 ha = 52,28 juta ha.
Lalu, jika petani gurem dimasukkan sebanyak 14,25 juta, masing-masing juga
diberi 2 ha, maka perlu seluas 28,5 juta ha lagi. Sehingga, total lahan yang
dibutuhkan adalah 80,78 juta ha.
Rumah tangga
petani menurut Sensus Pertanian BPS 2013 adalah “rumah tangga yang salah
satu atau lebih anggota rumah tangganya memelihara tanaman/ternak/ikan baik
untuk tujuan usaha maupun tidak”. Pengertian ini bermakna lebih
sempit dibandingkan batasan pada SP 2003 dimana RTP adalah “rumah tangga yang mengusahakan lahan untuk berbagai kegiatan budidaya
atau bukan pengguna lahan namun memanfaatkan produk pertanian dalam usahanya
(penangkaran, memungut hasil hutan), serta berusaha di bidang jasa pertanian”. Batasan yang
“menyempit” ini mungkin yang menyebabkan mengapa data jumlah
RTP menurun. Namun, BPS menyebutkan mungkin karena mereka menjual tanah-tanahnya yang sudah tidak ekonomis, lalu pindah ke
kota mencari pekerjaan lain. Mungkin benar, mungkin salah.
Lalu, bagaimana tanah yang
tersedia untuk pertanian? Data yang ada tentang
ketersediaan tanah serta yang telah digunakan saat ini
tidak akurat dan tidak konsisten. Demikian pula dengan data tentang potensi tanah
yang dapat menjadi areal untuk pertanian. Menurut data di Badan Pertanahan
Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia
mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu
609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa
daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih
rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha. Dalam
Kementan (3013) disebut 192 juta ha.
Dalam
konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan
adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga
daya dukung lahan dan prinsip sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka,
sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah),
dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan
lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal
budidaya. Ini konsisten dengan data di Kementan (2013).
Menurut Kementan
(2013), dari total luas kawasan budidaya (123 juta ha),
yang berpotensi untuk areal pertanian seluas 101 juta ha, meliputi lahan basah
25,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering
tanaman tahunan 50,9 juta ha. Beda dengan ini, menurut
Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk
wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,4 namun
hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokumen RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas
100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk
lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim;
dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan.
Namun bagaimana
kondisi saat ini? Hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa pada kawasan
budidaya, hanya 71 juta ha (58%) yang masih dapat digarap petani. Lalu, menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai untuk
lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun
karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat
tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha. Total areal
pertanian di Indonesia saat ini lebih kurang 36,3 juta ha (sawah, tegalan, pekarangan, dan
perkebunan). Jika disandingkan
dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka
masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan wilayah
pertanian.
Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian
berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar. Potensi lahan untuk pengembangan
pertanian secara biofisik masih cukup luas sekitar 30 juta ha, dimana 10 juta
ha di antaranya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan 20 juta ha di
kawasan kehutanan (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Sebenarnya Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup
besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Sampai saat ini, dari areal yang
berpotensi untuk pertanian, yang sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian
sebesar 47 juta ha, sehingga masih tersisa 54 juta ha yang berpotensi untuk
perluasan areal pertanian. Berdasarkan data BPS (2008), total luas lahan
pertanian sekitar 70,2 juta ha, yang terdiri dari lahan pekarangan,
tegalan/ladang, sawah, perkebunan, tanaman kayu-kayuan, kolam/tambak, padang
rumput, dan lahan sementara tidak diusahakan (alang-alang dan semak belukar).
Sebagian besar produk pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, kacang hijau,
ubi jalar, dan tebu dihasilkan dari lahan sawah seluas 7,9 juta ha dan sebagian
di lahan kering atau tegalan seluas 15,6 juta. Namun dari 15,6 juta ha
tersebut, hanya sekitar 5,5 juta hektar yang
dimanfaatkan untuk produksi bahan
pangan.
Luas lahan sawah menurun dari 8,5 juta
ha pada tahun 1993 menjadi 7,9 juta ha pada tahun 2006. Sebaliknya, areal perkebunan melesat pesat,
yaitu dari 8,77 juta hektar pada tahun 1986 menjadi 19,3 juta hektar pada tahun
2006. Luas lahan kebun menjadi 2,5 kali
nya sawah. Sebanyak 6,3 juta ha adalah kelapa sawit, yakni sepertiga dari total
luas kebun, atau hampir sama dengan total sawah. Padahal, tahun 1986 luas sawit
hanya 0,6 juta ha.
Kondisi yang ada
sungguh menyedihkan. Menurut
data Badan Pertanahan Nasional (2010), 56 persen aset yang ada di Indonesia,
baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen
penduduk Indonesia. Selama tahun 1973 – 2010, telah terjadi peningkatan rasio
rata-rata luas lahan yang dikuasai perusahaan perkebunan terhadap rata-rata
lahan yang dikuasai petani dari 1.248 menjadi 5.416. Hal ini berarti
ketimpangan penguasaan lahan antara kedua kelompok ini meningkat sebanyak 4,3
kali selama 37 tahun terakhir (Pakpahan, 2012).
Struktur yang terbentuk saat ini tentu
karena tarikan dan tekanan ekonomi yang berbeda antar sektor. Hasil
analisis rente ekonomi lahan (land rent
economics) menunjukkan bahwa rasio land
rent pengusahaan lahan untuk usahatani padi dibandingkan dengan penggunaan
untuk perumahan dan industri adalah satu berbanding 622 dan 500. Jadi, tanpa
campur tangan pemerintah, lahan pertanian akan habis dengan sendirinya, karena nilai
penggunaan untuk sektor lain sangat-sangat menggiurkan.******
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut