Minggu, 15 Januari 2017

Pertanian Sebagai Sektor Ekonomi vs Landasan Peradaban



Jargon bahwa “pertanian sebagai landasan perdaban” sering kita dengar. Sebagaimana kebiasaan kita, dengan ringan mulut menyebar kata, tanpa paham apa maknanya dan tidak ada pula ada keseriusan mewujudkannya. Yang berlangsung padahal tak lebih dari “pertanian sebagai sektor ekonomi” belaka. Sangat sering pengamat dan penggede  yang berujar: “Pertanian ditelantarkan!”, “Kita selalu mengorbankan petani”, “Kita belum berpihak kepada petani!”, dan seterusnya. Entah yang ngomongnya serius atau tidak. Entah hanya sekadar jualan kampanye atau sungguhan.

Pengkutuban pemikiran ini, meskipun pada level yang berbeda, tampaknya sejalan dengan pengkutuban pemikiran antara pertanian sebagai agribisnis dan pertanian sebagai way of life. Yang pertama hanya melihat pertanian secara sempit sebagai hal teknis-ekonomis, sedangkan yang kedua melihat pertanian sebagai entitas yang lebih kultural-filosofis.

Perbedaan antara pertanian sebagai sektor ekonomi dengan sebagai landasan peradaban
Sebagai sektor ekonomi
Sebagai landasan peradaban

Pertanian adalah salah satu sektor eknomi dalam pembangunan nasional, yang secara garis besar dibagi menjadi sektor industri, jasa, dan pertanian.

Pertanian merupakan inti kehidupan, dasar kemajuan, dan hakekat peradaban suatu bangsa.

Negara yang maju ditandai dengan semakin kecilnya sumbangan pertanian. Maka biar disebut negara maju, pertanian ga usah dibangun terlalu serius, sehingga sumbangan prosentase PDRB-nya akan mengecil dengan sendirinya. Caranya adalah meminimalkan alokasi anggaran.
Secara historik, pertanian dalam semua budaya bangsa-bangsa telah menjadi landasan untuk berkembangnya peradaban pada tahap-tahap selanjutnya. Tidak ada negara yang maju yang pertaniannya tidak kuat. Pertanian dan petaninya telah selesai dibangun, baru kemudian sektor industri dan jasa dibangun di atasnya. Industri dan jasa dibangun setelah pertanian kuat dan mantap.
Cara berfikirnya adalah apa yang bisa disumbangkan pertanian untuk ekonomi negara. Perannya terbukti saat Indonesia dilanda krisis ekonomi akhir tahun 1990-an. Hanya sektor pertanian yang tumbuh positif, sementara yang lain negatif.
Ini dalah sikap mental atau cara pandang baru terhadap petani dan pertanian sebagai landasan perkembangan peradaban. Untuk itu, petani mestilah kuat dan mandiri, misalnya dengan menyediakan aset berusaha yang cukup (misal lahan minimal 2 ha per keluarga).
Urusanya misalnya adalah menyelesaikan hal-hal teknis dan cenderung kecil,  seperti harga beras naik, perlu impor bawang, datangkan sapi siap potong, dst.
Berfikir secara lebih mendasar. Merumuskan arah dan jalan pembangunan, misalnya menjalankan landreform. Ini kebutuhan yang paling mendasar sebagaimana sudah digariskan di UUPA 1960.

Tidak mendasar, hanya sesaat, teknis-ekonomis yang sempit. Yang dipermasalahkan berapa produksi, berapa impor, dari mana impor, dst.
Lebih luas, menjadi akar pembangunan bangsa, tidak cukup hanya dengan nilai-nilai pertumbuhan dll.
Ukurannya PDB. Karena sumbangan PDB pertanian kecil, berarti pertanian tidaklah sepenting industri, perdagangan, atau jasa.
Ukurannya lebih luas dari PDB, namun belum pernah dirumuskan secara tegas apa. Karena “pertanian sebagai landsasan perdaban” barus sebatas wacana awal, tidak pernah diseriusi.
Lebih sempit, pertanian hanya menjadi cara pembangunan.
Lebih luas, lebih mendasar. Bertani adalah panggilan hidup, kebanggaan bangsa, citra negara, hakikat bermasyarakat.
Bertani hanyalah semata pekerjaan, cara untuk memperoleh pendapatan. Sektor pertanian hanya “penyumbang” ekonomi bangsa. Paling jauh disebut petani adalah masyarakat yang produktif.
Petani adalah pahlawan bangsa, pekerjaan yang diidamkan, membanggakan, dan dihargai. Petani adalah orang yang bermartabat.
Lebih membela konsumen pangan. Harga pangan yang tinggi adalah masalah ekonomi.
Lebih membela petani. Harga pangan disebut rendah atau tinggi tergantung pada apakah petani sejahtera atau tidak dengan tingkat harga tersebut, apakah pertanian terancam atau tidak.

Sampai saat ini, kita baru sampai pada menjadikan pertanian sebagai semata sektor ekonomi.  “Pertanian lebih dipandang sebagai sektor ekonomi yang posisinya kalah dengan sektor industri, perdagangan atau jasa” (Pakpahan, 2013b). Dan yang kita peroleh adalah ketergantungan pada impor pangan, kesempatan kerja terbatas, kemiskinan masih meruyak, ketimpangan menganga, konflik lahan, serta terus memburuknya gejala guremisasi.

Kita baru pusing dengan swasembada. Padahal swasembada tidak menjamin sedikitpun kesejahteraan petani. Hitung-hitungannya sederhana. Jika dari satu musim tanam diproduksi total 50 juta ton gabah, dan sebutlah produktivitas lahan kita 5 ton/ha, berarti perlu 10 juta ha. Nah, jika gabah tersebut dihasilkan dari petani dengan luas penguasaan masing-masing 2 ha , berarti ada 5 juta rumah tangga petani. Namun jika petani hanya mengelola 1000 m2, berarti butuh 50 juta petani. Untuk yang pertama, tiap RTP bisa memperoleh pendapatan bersih Rp. 20 juta, sedangkan pada yang kedua hanya Rp 2 juta untuk pekerjaan banting tulang selama 4 bulan lebih kurang. Atau, Rp. 5 juta berbanding Rp. 0,5 juta per keluarga per bulan.

Dua-duanya swasembada, namun pada yang pertama petaninya sejahtera, pada pola yang kedua petaninya sengsara. Kuncinya pada berapa luas lahan yang diusahakan per petani.

Jujur saja, kita baru menjadikan petani sebagai motor ekonomi yang sering dikorbankan. Format politik pertanian Indonesia mensubordinasi petani. Posisi politik seperti ini telah berlangsung semenjak era kerajaan dimana petani pada hakekatnya adalah “milik raja”, yang bekerja di tanah raja. Demikian pula di era kolonial, dimana bahkan petani harus menjadi penyewa, karena semua tanah adalah milik pemerintah (Fauzi, 1999). Petani menjadi penyokong pembangunan sektor non pertanian pada era 1950-1960 an, lalu menjadi pemasok bahan baku untuk industri, dan pemasok tenaga kerja murah (Martinussen, 1997). Ini lah yang disebut dengan Teori Urban Bias dari Lipton (1977), yakni adanya konflik antara rural classes dengan urban classes. Ada dominansi pada masyarakat kota, karena kekuasaan terkonsentrasi di kota. Negara ditambah mekanisme pasar bebas bersama-sama mengumpulkan surplus pertanian. Jackson dan Pye (1978) menyebut ini sebagai “bureaucratic polity”.

Lalu, dimana contoh pertanian telah dijadikan landasan perdaban? Pertama, di Jepang. Konon di Jepang, pada saat Tokugawa naik takhta pada 1600-an awal, dibangun stratifikasi sosial baru, yaitu samurai, petani, industriwan, dan terakhir pedagang (Pakpahan, 2013a). Petani diposisikan pada strata kedua dalam masyarakat. Sektor pertanian di Jepang sejak 1978 telah berkembang pesat sehingga mereka sukses mengindustrialisasi sektor pertaniannya.  Pemerintah Jepang menerapkan visi global investasi pertanian. Sejak era PM Takeo Fukuda (1976-1978) Jepang telah mengubah paradiga pembangunan pertanian dengan misi investasi pertanian. Sejak saat itu, semua infrastruktur pertanian dibangun secara masif-berkelanjutan, termasuk membangun waduk-waduk dan bendungan sumber pengairan-irigasi sawah-sawah mencapai 2.100 bendungan dalam dua tahun. PM Takeo berhasil membuka lahan baru petanian hingga mencapai 12.000 hektare setahun dengan mulai melarang lahan produksi pertanian sebagai kawasan industri manufaktur, menciptakan jutaan peluang kerja dengan mengalihkan 4,3 juta petani Jepang yang semula menjadi “buruh tani”, atau “pekerja pabrik” di kota-kota, menjadi 9,2 juta petani produktif. Pemerintah Jepang menjamin semua kebutuhan pertanian dan petani tercukupi, mulai infrastruktur pertanian yang dibangun masif, kebijakan pembangunan mesin-mesin pertanian, hingga peran besar para teknokrat dan ilmuwan pertanian dari berbagai pergurun tinggi.

Kedua, di Amerika. Abraham Lincoln melahirkan Morrill Act 1862 dan Homestead Act 1862, yang masing-masing menjadi landasan berdirinya Land Grant Universities dan penyediaan lahan petani sekitar 65 ha per unit. Pada saat krisis ekonomi 1933, Franklin D. Roosevelt (FDR) memandang bahwa solusi ekonomi AS hanya dapat diselesaikan oleh "The Forgotten Men", yaitu petani dan buruh. Pada era ini, FDR melahirkan Agricultural Adjustment Act 1933 yang menjadi fondasi bagi kemakmuran petani AS hingga sekarang (Pakpahan, 2013b).

Ketiga, di Thailand. Raja Thailand sangat mencintai pertanian dan terjun langsung membangun pertaniannya. Thailand menempatkan pertanian rakyat sebagai inti dari pembangunan pertaniannya.

Kita bisa katakan, Amerika Serikat menganut pertanian sebagai "ideologi", demikian pula dengan Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Keberhasilan pembangunan di negara-negara tersebut dimulai dengan "memerdekakan petani dan pertaniannya" melalui land reform. Land reform tidak sekadar membagi-bagi tanah, melainkan menjadi simbol utama mereka "melepaskan diri dari institusi yang diwariskan penjajahan masa lalu" yang menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi dan politik. Land reform juga sebagai simbol menyatunya jiwa-raga antara pemimpin dan elite bangsa dengan rakyat jelata, yang akhirnya menjadi "modal spiritual negara".

Ga usah tersinggung jika dikatakan bahwa kita belum memilih “ideologi pertanian” dan belum melakukan pemihakan pada petani. Jangan hanya salahkan pemerintah. Nasionalisme kita dalam mengkonsumsi juga sangat rendah. Apa pun hasil produksi petani kita selalu dipandang buruk dan hanya dihargai rendah. Di Jepang konon loyalitas masyarakat nya sangat tinggi, sehingga produk-produk pertanian yang dihasilkan dari luar sangat sulit masuk ke Jepang.

Uni Eropa dan Amerika Serikat, tetap menjaga sektor pertanian nya. Penghargaan mereka juga dibuktikan lewat dukungan anggaran yang memadai. Bagaimana di Indonesia? Ambil contoh APBN 2013, dengan total anggaran sebesar Rp.1.683 trilyun. Anggaran Kementerian Pertanian hanyalah Rp 17,9 triliun, atau sama dengan 1,06 persen saja. Jikapun ditambah subsidi pupuk Rp. 17,9 trilyun dan subsidi benih Rp.1,5 trilyun, maka nilai totalnya baru sampai 2,22 persen. Jelas sangat-sangat kecil. Di era Orde Baru biasanya malah lebih parah. Kata temanku kurang dari 1 persen.

Bagaimana bisa kita menyebut Indonesia sebagai “Negara Agraris” jika anggarannya begitu. Tidak heran jika saluran irigasi pada rusak, percetakan sawah terbatas, program ke masyarakat hanya kecil-kecilan. Satu peternak hanya dapat bantuan 10 induk ayam, yang lain dapat 1-2 ekor kambing, dan yang lain 1 ekor sapi. Skala ekonomi hanya mimpi. Dengan anggaran yang minim, namun harus disebar merata, jadinya serba tanggung. (*******)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar