Jargon bahwa “pertanian sebagai landasan perdaban”
sering kita dengar. Sebagaimana kebiasaan kita, dengan ringan mulut menyebar
kata, tanpa paham apa maknanya dan tidak ada pula ada keseriusan mewujudkannya.
Yang berlangsung padahal tak lebih dari “pertanian sebagai sektor ekonomi”
belaka. Sangat sering pengamat dan penggede yang berujar: “Pertanian ditelantarkan!”,
“Kita selalu mengorbankan petani”, “Kita belum berpihak kepada petani!”, dan
seterusnya. Entah yang ngomongnya serius atau tidak. Entah hanya sekadar jualan
kampanye atau sungguhan.
Pengkutuban pemikiran ini, meskipun pada level yang
berbeda, tampaknya sejalan dengan pengkutuban pemikiran antara pertanian
sebagai agribisnis dan pertanian sebagai way
of life. Yang pertama hanya melihat pertanian secara sempit sebagai hal
teknis-ekonomis, sedangkan yang kedua melihat pertanian sebagai entitas yang
lebih kultural-filosofis.
Perbedaan antara pertanian sebagai sektor ekonomi
dengan sebagai landasan peradaban
Sebagai sektor ekonomi
|
Sebagai landasan peradaban
|
Pertanian
adalah salah satu sektor eknomi dalam pembangunan nasional, yang secara garis
besar dibagi menjadi sektor industri, jasa, dan pertanian.
|
Pertanian merupakan inti
kehidupan, dasar kemajuan, dan hakekat peradaban suatu bangsa.
|
Negara
yang maju ditandai dengan semakin kecilnya sumbangan pertanian. Maka biar
disebut negara maju, pertanian ga usah dibangun terlalu serius, sehingga
sumbangan prosentase PDRB-nya akan mengecil dengan sendirinya. Caranya adalah
meminimalkan alokasi anggaran.
|
Secara historik, pertanian dalam semua budaya bangsa-bangsa telah menjadi
landasan untuk berkembangnya peradaban pada tahap-tahap selanjutnya. Tidak
ada negara yang maju yang pertaniannya tidak kuat. Pertanian dan petaninya
telah selesai dibangun, baru kemudian sektor industri dan jasa dibangun di atasnya.
Industri dan jasa dibangun setelah pertanian kuat dan mantap.
|
Cara
berfikirnya adalah apa yang bisa disumbangkan pertanian untuk ekonomi negara.
Perannya terbukti saat Indonesia dilanda krisis ekonomi akhir tahun 1990-an.
Hanya sektor pertanian yang tumbuh positif, sementara yang lain negatif.
|
Ini dalah sikap mental atau cara
pandang baru terhadap petani dan pertanian sebagai landasan perkembangan
peradaban. Untuk itu, petani mestilah kuat dan mandiri, misalnya dengan
menyediakan aset berusaha yang cukup (misal lahan minimal 2 ha per keluarga).
|
Urusanya
misalnya adalah menyelesaikan hal-hal teknis dan cenderung kecil, seperti harga beras naik, perlu impor
bawang, datangkan sapi siap potong, dst.
|
Berfikir secara lebih mendasar. Merumuskan arah dan jalan pembangunan,
misalnya menjalankan landreform. Ini kebutuhan yang paling mendasar
sebagaimana sudah digariskan di UUPA 1960.
|
Tidak
mendasar, hanya sesaat, teknis-ekonomis yang sempit. Yang dipermasalahkan
berapa produksi, berapa impor, dari mana impor, dst.
|
Lebih luas, menjadi akar
pembangunan bangsa, tidak cukup hanya dengan nilai-nilai pertumbuhan dll.
|
Ukurannya PDB. Karena sumbangan PDB pertanian kecil, berarti pertanian
tidaklah sepenting industri, perdagangan, atau jasa.
|
Ukurannya lebih luas dari PDB, namun belum pernah dirumuskan secara tegas
apa. Karena “pertanian sebagai landsasan perdaban” barus sebatas wacana awal,
tidak pernah diseriusi.
|
Lebih
sempit, pertanian hanya menjadi cara pembangunan.
|
Lebih luas, lebih mendasar.
Bertani adalah panggilan hidup, kebanggaan bangsa, citra negara, hakikat
bermasyarakat.
|
Bertani
hanyalah semata pekerjaan, cara untuk memperoleh pendapatan. Sektor pertanian
hanya “penyumbang” ekonomi bangsa. Paling jauh disebut petani adalah
masyarakat yang produktif.
|
Petani adalah pahlawan bangsa, pekerjaan yang diidamkan, membanggakan,
dan dihargai. Petani adalah orang yang bermartabat.
|
Lebih
membela konsumen pangan. Harga pangan yang tinggi adalah masalah ekonomi.
|
Lebih membela petani. Harga
pangan disebut rendah atau tinggi tergantung pada apakah petani sejahtera
atau tidak dengan tingkat harga tersebut, apakah pertanian terancam atau
tidak.
|
Sampai saat ini, kita baru sampai pada menjadikan
pertanian sebagai semata sektor ekonomi.
“Pertanian
lebih dipandang sebagai sektor ekonomi yang posisinya kalah dengan sektor
industri, perdagangan atau jasa” (Pakpahan, 2013b). Dan yang kita
peroleh adalah ketergantungan pada impor pangan, kesempatan kerja terbatas,
kemiskinan masih meruyak, ketimpangan menganga, konflik lahan, serta terus
memburuknya gejala guremisasi.
Kita baru pusing dengan swasembada.
Padahal swasembada tidak menjamin sedikitpun kesejahteraan petani.
Hitung-hitungannya sederhana. Jika dari satu musim tanam diproduksi total 50
juta ton gabah, dan sebutlah produktivitas lahan kita 5 ton/ha, berarti perlu
10 juta ha. Nah, jika gabah tersebut dihasilkan dari petani dengan luas
penguasaan masing-masing 2 ha , berarti ada 5 juta rumah tangga petani. Namun
jika petani hanya mengelola 1000 m2, berarti butuh 50 juta petani. Untuk yang
pertama, tiap RTP bisa memperoleh pendapatan bersih Rp. 20 juta, sedangkan pada
yang kedua hanya Rp 2 juta untuk pekerjaan banting tulang selama 4 bulan lebih
kurang. Atau, Rp. 5 juta berbanding Rp. 0,5 juta per keluarga per bulan.
Dua-duanya swasembada, namun pada
yang pertama petaninya sejahtera, pada pola yang kedua petaninya sengsara.
Kuncinya pada berapa luas lahan yang diusahakan per petani.
Jujur saja, kita baru menjadikan
petani sebagai motor ekonomi yang sering dikorbankan. Format
politik pertanian Indonesia mensubordinasi petani. Posisi politik seperti ini
telah berlangsung semenjak era kerajaan dimana petani pada hakekatnya adalah
“milik raja”, yang bekerja di tanah raja. Demikian pula di era kolonial, dimana
bahkan petani harus menjadi penyewa, karena semua tanah adalah milik pemerintah
(Fauzi, 1999). Petani menjadi penyokong pembangunan sektor non pertanian pada
era 1950-1960 an, lalu menjadi pemasok bahan baku untuk industri, dan pemasok
tenaga kerja murah (Martinussen, 1997). Ini lah yang disebut dengan Teori Urban
Bias dari Lipton (1977), yakni adanya konflik antara rural classes dengan urban
classes. Ada dominansi pada masyarakat kota, karena kekuasaan
terkonsentrasi di kota. Negara ditambah mekanisme pasar bebas bersama-sama
mengumpulkan surplus pertanian. Jackson dan Pye (1978) menyebut ini sebagai “bureaucratic polity”.
Lalu, dimana contoh pertanian telah dijadikan landasan
perdaban? Pertama, di Jepang. Konon
di Jepang, pada saat Tokugawa naik takhta pada 1600-an awal, dibangun
stratifikasi sosial baru, yaitu samurai, petani, industriwan, dan terakhir
pedagang (Pakpahan, 2013a). Petani diposisikan pada strata kedua dalam
masyarakat. Sektor pertanian di Jepang sejak 1978
telah berkembang pesat sehingga mereka sukses mengindustrialisasi sektor
pertaniannya. Pemerintah Jepang
menerapkan visi global investasi pertanian. Sejak era PM Takeo Fukuda
(1976-1978) Jepang telah mengubah paradiga pembangunan pertanian dengan misi
investasi pertanian. Sejak saat itu, semua infrastruktur pertanian dibangun
secara masif-berkelanjutan, termasuk membangun waduk-waduk dan bendungan sumber
pengairan-irigasi sawah-sawah mencapai 2.100 bendungan dalam dua tahun. PM
Takeo berhasil membuka lahan baru petanian hingga mencapai 12.000 hektare setahun
dengan mulai melarang lahan produksi pertanian sebagai kawasan industri
manufaktur, menciptakan jutaan peluang kerja dengan mengalihkan 4,3 juta petani
Jepang yang semula menjadi “buruh tani”, atau “pekerja pabrik” di kota-kota,
menjadi 9,2 juta petani produktif. Pemerintah Jepang menjamin semua kebutuhan
pertanian dan petani tercukupi, mulai infrastruktur pertanian yang dibangun
masif, kebijakan pembangunan mesin-mesin pertanian, hingga peran besar para
teknokrat dan ilmuwan pertanian dari berbagai pergurun tinggi.
Kedua, di Amerika. Abraham Lincoln melahirkan Morrill Act
1862 dan Homestead Act 1862, yang masing-masing menjadi landasan berdirinya
Land Grant Universities dan penyediaan lahan petani sekitar 65 ha per unit.
Pada saat krisis ekonomi 1933, Franklin D. Roosevelt (FDR) memandang bahwa
solusi ekonomi AS hanya dapat diselesaikan oleh "The Forgotten Men", yaitu petani dan buruh. Pada era ini, FDR
melahirkan Agricultural Adjustment Act 1933 yang menjadi fondasi bagi
kemakmuran petani AS hingga sekarang (Pakpahan,
2013b).
Ketiga, di Thailand. Raja Thailand sangat mencintai pertanian dan
terjun langsung membangun pertaniannya. Thailand menempatkan pertanian rakyat
sebagai inti dari pembangunan pertaniannya.
Kita bisa katakan, Amerika Serikat menganut
pertanian sebagai "ideologi", demikian pula dengan Jepang, Taiwan,
dan Korea Selatan. Keberhasilan pembangunan di negara-negara tersebut dimulai
dengan "memerdekakan petani dan pertaniannya" melalui land reform. Land reform tidak sekadar
membagi-bagi tanah, melainkan menjadi simbol utama mereka "melepaskan diri
dari institusi yang diwariskan penjajahan masa lalu" yang menciptakan
kesenjangan sosial-ekonomi dan politik. Land reform juga sebagai simbol
menyatunya jiwa-raga antara pemimpin dan elite bangsa dengan rakyat jelata,
yang akhirnya menjadi "modal spiritual negara".
Ga usah
tersinggung jika dikatakan bahwa kita belum memilih “ideologi pertanian” dan
belum melakukan pemihakan pada petani. Jangan hanya salahkan pemerintah. Nasionalisme kita
dalam mengkonsumsi juga sangat rendah. Apa pun hasil produksi petani kita
selalu dipandang buruk dan hanya dihargai rendah. Di Jepang konon loyalitas
masyarakat nya sangat tinggi, sehingga produk-produk pertanian yang dihasilkan
dari luar sangat sulit masuk ke Jepang.
Uni Eropa dan Amerika Serikat, tetap
menjaga sektor pertanian nya. Penghargaan mereka juga dibuktikan lewat dukungan
anggaran yang memadai. Bagaimana di Indonesia? Ambil contoh APBN 2013, dengan
total anggaran sebesar
Rp.1.683 trilyun. Anggaran Kementerian Pertanian hanyalah Rp 17,9 triliun, atau
sama dengan 1,06 persen saja. Jikapun ditambah subsidi pupuk Rp. 17,9 trilyun
dan subsidi benih Rp.1,5 trilyun, maka nilai totalnya baru sampai 2,22 persen.
Jelas sangat-sangat kecil. Di era Orde Baru biasanya malah lebih parah. Kata
temanku kurang dari 1 persen.
Bagaimana bisa kita menyebut Indonesia sebagai
“Negara Agraris” jika anggarannya begitu. Tidak heran jika saluran irigasi pada
rusak, percetakan sawah terbatas, program ke masyarakat hanya kecil-kecilan.
Satu peternak hanya dapat bantuan 10 induk ayam, yang lain dapat 1-2 ekor
kambing, dan yang lain 1 ekor sapi. Skala ekonomi hanya mimpi. Dengan anggaran
yang minim, namun harus disebar merata, jadinya serba tanggung. (*******)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar