Corporate farming berbeda dengan apa yang disebut dengan
pertanian kontrak yang berlangsung antara petani dengan pembeli hasil
produknya. Dalam pengertian umum, contract
farming adalah “... is a form of vertical integration where
the farmer is contractually bound to supply a given quantity and quality of
product to a processing or marketing enterprise. The buyer agrees in advance to
pay a certain price to the farmer and often provides technical advice and
inputs (the cost of the inputs being deducted from the farmer's revenue once
the product has been sold to the buyer)”.
Di Indonesia konsep ini disebut dengan
“pola kemitraan”.
Corporate farming yang pernah diujicobakan di
beberapa lokasi di Indonesia untuk komoditas padi tahun 2000, lebih kental pada
nuansa konsolidasi lahan yang dibalut dengan
penyatuan manajemen usahatani. Landasan ilmiah hanyalah karena tidak
ekonomisnya pengusahaan karena penguasaan lahan petani padi yang sudah sanngat
sempit terutama di Jawa yakni di bawah 0,3 ha per rumah tangga. Dengan
penyatuan lahan-lahan yang sempit ini kepada satu manajemen, maka akan dicapai
efisiensi teknis dan ekonomis.
Program corporate
farming intinya menginginkan optimalisasi lahan dan produksi
pertanian. Dalam pola ini para petani yang memiliki lahan sempit dapat menyerahkan pengelolaan lahannya kepada suatu organisasi agribisnis melalui perjanjian kerja sama ekonomi. Jadi
petani selaku pemegang saham sesuai luas kepemilikannya.
Melalui corporate farming akan mampu ditingkatkan
produktivitas lahan karena menggunakan teknologi paling unggul, dimana beberapa
teknologi menuntut skala minimal agar lebih ekonomis misalnya operasional
traktor pengolah tanah.
Dengan program ini segalanya
dapat dipilih mulai dari benih komoditas yang akan ditanam hingga penggunaan
teknologinya yang efisien. Rata-rata kepemilikan lahan oleh rumah tangga petani antara 0,3 ha-0,4 ha. Luas itu dianggap
tak memadai untuk menciptakan hasil pertanian yang
bisa memenuhi efisiensi skala ekonomi. Corporate farming merupakan bentuk kerja sama ekonomi
dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi penguasaan lahan
sehamparan dengan tetap menjamin kepemilikan petani.
Perbedaan pertanian
kolektif berciri kapitalis vs sosial
Corporate farming
(kapitalis)
|
Pertanian kolektif
|
Di
Indonesia lebih dikenal dengan “corporate
farming”, dan pernah pula disebut
dengan “rice estate” untuk
komoditas padi.
|
Disebut juga dengan “pertanian negara”
(state-owned farm), collective
farming, atau communal farming
|
Departemen
Pertanian Deptan mengkampanyekan program corporate
farming secara nasional tahun
2000, namun hanya sampai uji coba di beberapa lokasi. Target waku itu adalah
seluas 100.000 ha padi sawah.
|
Contohnya
adalah Uni Soviet di jaman Stalin yang menerapkan Kolkhoz dan Sovkhoz
(1930-1991) dan di Vietnam (mulai 1958) yang dijalankan dengan pemaksaan.
Contoh lain di Israel berupa “kibbutzim” namun tidak memaksa. |
Keterlibatan
petani secara sukarela (kemitraan). Untuk petani yang tidak menjadi buruh
tani disediakan alternatif kegiatan lain, misalnya memelihara ternak.
|
Keterlibatan petani cenderung
dipaksa. Petani diharuskan ikut dan harus menyerahkan tanahnya untuk dikelola
negara.
|
Melibatkan
petani, swasta, pemerintah, dan juga perguruan tinggi. Manajer (farm manager) dipilih atas musyawarah
para pemilik saham. Ia dipilih dari anggota kelompok tani dan merupakan
petani andalan di daerahnya. Manajer harus profesional, transparan dan
demokratis.
|
Dikelola staf pemerintah dengan memperkerjakan buruh tani.
Didominasi peran pemerintah saja. Cenderung tidak demokratis, bahkan terkesan
otoriter.
|
Petani
sebagai pemilik saham. Tanah tetap milik petani.
|
Tidak mengenal saham, karena tanah
adalah milik negara. Diterapkan di negara sosialis.
|
Dikelola
secara bisnis agar terpenuhi skala ekonomi. Corporate farming mengombinasikan
rekayasa sosial, ekonomi, teknologi dan nilai tambah yang dikoordinasikan
secara vertikal dan horizontal. Pendekatannya berupa kemitraan yang
demokratis.
|
Prinsip bisnis dan efisiensi juga menjadi dasar
manajemennya, sehingga pembesaran skala pengelolaan akan menurunkan biaya
secara keseluruhan. Namun, relasi bertipe pasar tidak berjalan disini, lebih
kepada relasi kekuasaan antara negara dengan rakyatnya.
|
Kedua tipe pertanian kolektif di atas
sama-sama menerapkan pripnsip “common ownership” untuk sumber
daya dan tenaga kerja, serta pengumpulan pendapatan dengan prinsip kerjasama (cooperative organizations). Tujuannya
sama yakni memakmurkan petani, namun dalam prakteknya tidak demikian. Komparasi
ini penting dibuat, karena bedanya tipis, dan bisa saja kita tergelincir pada
salah satu kubu. Maksud hati membangun corporate
farming, namun yang terjadi bisa saja menjadi pertanian kolektif ala
sosialis. ******
Saya ingin berbagi kesaksian tentang bagaimana layanan pendanaan Le_Meridian membantu saya dengan pinjaman 2,000,000.00 USD untuk membiayai proyek pertanian ganja saya, saya sangat berterima kasih dan saya berjanji untuk membagikan perusahaan pendanaan yang sah ini kepada siapa pun yang mencari cara untuk memperluas bisnisnya project.the company adalah perusahaan pendanaan UK / USA. Siapa pun yang mencari dukungan keuangan harus menghubungi mereka di lfdsloans@outlook.com Atau lfdsloans@lemeridianfds.com Bpk. Benjamin juga menggunakan whatsapp 1-989-394-3740 untuk mempermudah segala pemohon.
BalasHapus