Kamis, 26 Januari 2017

Revolusi Hijau vs Revolusi Biru

Revolusi biru (blue revolution) adalah “...the water equivalent of the green revolution and primarily refers to the need to get water for drinking and crop irrigation to the many millions of people worldwide who do not have it. Istilah ini muncul pertama kali dalam pertemuan Third World Water Forum di Tokyo. Kalangan pemerhati lingkungan melihat bahwa bukanlah perkara mudah menyediakan air bagi kebutuhan umat manusia. Kita menghadapi ancaman kelangkaan air dan pemenuhan air bersih yang cukup bagi penduduk. Ketersediaan air di dunia ketiga menjadi perhatian WWC (World Water Council) yang memperkirakan bahwa akan ada 1,5 milyar manusia tanpa akses pada air bersih pada tahu  2015. Mereka berharap agar konsep revolusi hijau yang memfokuskan kepada peningkatan produksi bisa sejalan dengan revolusi biru.
Jadi, keduanya ini bukan saling meniadakan, namun revolusi biru cukup rendah hati untuk hanya menjadi bagian dari revolusi hijau. Ia berupaya melengkapi kekurangan konsep dan pendekatan revolusi hijau.
India dulu merupakan negara utama yang menerapkan revolusi hijau, namun kini mulai mengaplikasikan revolusi biru. Mereka mengembangkan produksi perikanan pada kolam-kolam kecil dan keramba di sungai-sungai yang dijalankan oleh para petani kecil.

Revolusi biru adalah usaha manusia dalam pemanfaatan SDA hayati untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hal pangan, terutama kebutuhan protein. Ada begitu banyak bentuk kekayaan sumber daya hayati laut. Jika kita mau membuka kepala, betapa sesungguhnya laut Indonesia mungkin jauh lebih berpotensi di banding menanam tanaman dan memelihara ternak. Di laut kita tinggal panen.
Perbedaan antara revolusi hijau dengan revolusi biru
Revolusi hijau
Revolusi biru

Berorientasi kepada tanah (land-mindedness)

Berorientasi kepada laut (sea-mindedness)
Berkembang pada era 1970-an, berupa pertanian berbasiskan kimia (chemical-based agriculture)
Dipicu oleh kesadaran adanya perang air pada level dunia (world-wide water war), dan fakta bahwa revolusi hijau belum dapat memenuhi kebutuhan pangan, dan 70 persen bagian bumi kita adalah laut.
Kesadaran bahwa pertanian tradisional dengan input minimal hanya menghasilkan produksi yang sangat terbatas. Pola ini tidak cukup untuk memberi makan populasi dunia.
Dipicu oleh kesadaran sulitnya memenuhi kebutuhan air bagi manusia untuk hidup sehat dan hidup standar.
Berfokus kepada peningkatan produksi pangan yang cukup.
Fokus kepada manajemen air. Bahwa hari depan, kemakmuran, dan kehormatan ditentukan oleh bagaimana mengelola sumber daya maritim.
Mengoptimalkan sumber daya lahan, varietas unggul serta input pupuk dan obat-obatan (pestisida, herbisida, dll).
Mengoptimalkan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan berupa tumbuhan (misalnya alga), hewan (ikan, kerang, dll), dan mineral (NaCl, Mg, dll).

Sumber daya air semakin berarti. Air  telah mulai menjadi emas biru (the blue gold). Air ada di darat, dan terbanyak ada di laut. Laut merupakan sumber daya alam yang cukup besar. Dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan protein yang tidak hanya didapat dari hewan darat tetapi juga hewan laut. Untuk meningkatkan sumber daya alam di lautan, maka dilaksanakan revolusi biru. Jadi, dengan kata lain, revolusi biru ialah pengembangan teknologi pemanfaatan sumber daya hayati laut guna memenuhi kebutuhan pangan manusia.
Sumber daya alam dari laut dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber daya alam hayati dan non hayati. Sumber daya alam hayati adalah sumber daya yang berasal dari mahluk hidup, yakni dari tumbuhan dan juga hewan. Dari jenis tumbuhan meliputi alga (rumput laut) yang dapat diolah menjadi agar-agar dan sumber karbohidrat. Sedangkan dari jenis hewani misalnya ikan, kerang, mutiara, dan bangsa udang-udangan yang menyimpan protein tinggi. Begitu banyak jenis ikan yang potensial dimanfaatkan untuk mencukupi konsumsi manusia. Kerang mutiara misalnya merupakan sumber daya laut yang sangat potensial. Untuk sumber non hayati dari laut terdiri dari mineral  (Mg dan NaCl), nodul di dasar laut berupa endapan (Mn, Ni, Co, Cu, Au, dan Zn), dan energi (misalnya untuk pembangkit listrik).
Usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mewujudkan revolusi biru misalnya adalah dengan tetap menjaga keasrian dan keaslian sumber daya laut. Untuk itu, permukaan laut perlu terus dijaga dan dihindarkan dari dari kotoran berupa cairan minyak, limbah beracun dan pencemaran lainnya. Juga menghindari penangkapan ikan yang tak kenal batas dan menciptakan undang-undang perlindungan, serta melarang penggunaan alat yang dapat membahayakan organisme laut.
Selain revolusi hijau dan biru, kita pernah pula mendengar istilah “revolusi putih”. Di Wikipedia, “The White Revolution” dipahami sebagai serangkaian reformasi yang berlangsung di Iran yang diluncurkan pada tahun 1963 oleh Shah Mohammad Reza Pahlevi. Program reformasi Pahlevi ini dibangun terutama untuk memperkuat kelas-kelas yang mendukung sistem tradisional. Ia disebut revolusi putih karena revolusi berlangsung tanpa perlu berdarah-darah. Shah berupaya menyingkirkan pengaruh para tuan tanah dan menciptakan basis baru dukungan dari kalangan petani dan kelas pekerja pedesaan.

Di Indonesia, meskipun samar-samar, beberapa pihak pernah melontar konsep “revolusi putih” yang dimakani sebagai gerakan meningkatkan konsumsi susu terutama bagi anak-anak dan remaja agar terjadi peningkatan kualitas SDM. Ini meniru keberhasilan India yang dikenal sebagai peminum susu yang sangat doyan di dunia, sehingga SDM nya pun tergolong cukup unggul dan mampu bersaing di level dunia. ******

1 komentar: