Revolusi
biru (blue revolution) adalah “...the water
equivalent of the green revolution and primarily refers to the need to get
water for drinking and crop irrigation to the many millions of people worldwide
who do not have it”. Istilah ini muncul pertama kali dalam pertemuan Third World Water Forum di Tokyo. Kalangan pemerhati lingkungan melihat bahwa bukanlah perkara mudah
menyediakan air bagi kebutuhan umat manusia. Kita menghadapi ancaman kelangkaan
air dan pemenuhan air bersih yang cukup bagi penduduk. Ketersediaan air di dunia ketiga menjadi perhatian WWC (World
Water Council) yang
memperkirakan bahwa akan ada 1,5 milyar manusia tanpa akses pada air bersih
pada tahu 2015. Mereka berharap agar konsep revolusi hijau yang memfokuskan kepada
peningkatan produksi bisa sejalan dengan revolusi biru.
Jadi,
keduanya ini bukan saling meniadakan, namun revolusi biru cukup rendah hati untuk hanya menjadi bagian dari revolusi hijau. Ia berupaya melengkapi
kekurangan konsep dan pendekatan revolusi hijau.
India dulu
merupakan negara utama yang menerapkan revolusi hijau, namun kini mulai
mengaplikasikan revolusi biru. Mereka mengembangkan produksi perikanan pada
kolam-kolam kecil dan keramba di sungai-sungai yang dijalankan oleh
para petani kecil.
Revolusi biru
adalah usaha manusia dalam pemanfaatan SDA hayati
untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hal pangan,
terutama kebutuhan protein. Ada begitu banyak
bentuk kekayaan sumber daya hayati laut. Jika kita mau
membuka kepala, betapa sesungguhnya laut Indonesia mungkin jauh
lebih berpotensi di banding menanam tanaman dan memelihara ternak. Di laut kita tinggal panen.
Perbedaan antara revolusi hijau dengan revolusi biru
Revolusi hijau
|
Revolusi biru
|
Berorientasi kepada tanah (land-mindedness)
|
Berorientasi kepada laut (sea-mindedness)
|
Berkembang pada era 1970-an, berupa pertanian
berbasiskan kimia (chemical-based
agriculture)
|
Dipicu oleh kesadaran adanya perang air pada
level dunia (world-wide water war), dan fakta bahwa
revolusi hijau belum dapat memenuhi kebutuhan pangan, dan 70 persen bagian
bumi kita adalah laut.
|
Kesadaran bahwa pertanian tradisional dengan
input minimal hanya menghasilkan produksi yang sangat terbatas. Pola ini
tidak cukup untuk memberi makan populasi dunia.
|
Dipicu oleh kesadaran sulitnya memenuhi kebutuhan
air bagi manusia untuk hidup sehat dan hidup standar.
|
Berfokus kepada peningkatan produksi pangan yang
cukup.
|
Fokus
kepada manajemen air. Bahwa hari depan, kemakmuran, dan kehormatan
ditentukan oleh bagaimana mengelola sumber daya maritim.
|
Mengoptimalkan sumber daya lahan, varietas
unggul serta input pupuk dan obat-obatan (pestisida, herbisida, dll).
|
Mengoptimalkan sumber daya
alam yang dapat dimanfaatkan berupa tumbuhan (misalnya alga), hewan (ikan, kerang, dll),
dan mineral (NaCl, Mg, dll).
|
Sumber daya air semakin
berarti. Air telah mulai menjadi “emas biru” (the blue gold). Air ada di darat, dan terbanyak ada di laut. Laut merupakan sumber daya alam yang cukup besar. Dalam kehidupan
sehari-hari manusia membutuhkan protein yang tidak hanya didapat dari hewan
darat tetapi juga hewan laut. Untuk meningkatkan sumber daya alam di lautan, maka dilaksanakan revolusi
biru. Jadi,
dengan kata lain, revolusi biru ialah pengembangan teknologi pemanfaatan sumber daya hayati
laut guna memenuhi kebutuhan pangan manusia.
Sumber daya alam dari laut dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber daya alam hayati dan non hayati.
Sumber daya alam hayati adalah sumber daya yang berasal dari mahluk hidup,
yakni dari tumbuhan dan juga hewan. Dari jenis tumbuhan meliputi alga (rumput
laut) yang dapat diolah menjadi agar-agar dan sumber karbohidrat. Sedangkan
dari jenis hewani misalnya ikan, kerang, mutiara, dan bangsa udang-udangan yang
menyimpan protein tinggi. Begitu banyak jenis ikan yang potensial dimanfaatkan
untuk mencukupi konsumsi manusia. Kerang mutiara misalnya merupakan sumber daya
laut yang sangat potensial. Untuk sumber non hayati dari laut terdiri dari mineral (Mg dan NaCl), nodul di dasar laut berupa endapan (Mn, Ni, Co, Cu, Au, dan Zn), dan energi (misalnya untuk
pembangkit listrik).
Usaha-usaha yang perlu dilakukan
untuk mewujudkan revolusi biru misalnya adalah dengan tetap menjaga keasrian
dan keaslian sumber daya laut. Untuk itu, permukaan laut perlu terus dijaga dan
dihindarkan dari dari kotoran berupa cairan minyak, limbah beracun dan
pencemaran lainnya. Juga menghindari penangkapan ikan yang tak kenal batas dan
menciptakan undang-undang perlindungan, serta melarang penggunaan alat yang
dapat membahayakan organisme laut.
Selain revolusi hijau dan biru,
kita pernah pula mendengar istilah “revolusi putih”. Di Wikipedia, “The White Revolution” dipahami sebagai
serangkaian reformasi yang berlangsung di Iran yang diluncurkan pada tahun 1963
oleh Shah Mohammad Reza Pahlevi. Program reformasi Pahlevi ini dibangun
terutama untuk memperkuat kelas-kelas yang mendukung sistem tradisional. Ia
disebut revolusi putih karena revolusi berlangsung tanpa perlu berdarah-darah.
Shah berupaya menyingkirkan pengaruh para tuan tanah dan menciptakan basis baru
dukungan dari kalangan petani dan kelas pekerja pedesaan.
Di Indonesia, meskipun
samar-samar, beberapa pihak pernah melontar konsep “revolusi putih” yang
dimakani sebagai gerakan meningkatkan konsumsi susu terutama bagi anak-anak dan
remaja agar terjadi peningkatan kualitas SDM. Ini meniru keberhasilan India
yang dikenal sebagai peminum susu yang sangat doyan di dunia, sehingga SDM nya pun tergolong cukup unggul dan
mampu bersaing di level dunia. ******
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus