Tanpa sadar, selama ini kita sering
mencampurkan saja antara pembangunan pertanian dengan membangun petani. Dengan membanngun
pertanian, maka otomatis petani akan sejahtera. Di Kementerian Pertanian, kesejahteraan petani selalu menjadi salah satu
tujuan, namun posisinya selalu nomor buncit.
Visi Pembangunan Pertanian 2010-2014 misalnya adalah “Terwujudnya pertanian industrial unggul
berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian
pangan, nilai tambah, ekspor, dan kesejahteraan petani”. Kementan
menetapkan empat sukses pembangunan pertanian, yaitu pencapaian swasembada dan
swasembada berkelanjutan, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai
tambah, daya saing dan ekspor, dan terakhir adalah peningkatan kesejahteraan
petani.
Lalu, dari 10 misi untuk mencapai nya, yang agak
menyerempet kesejahteraan petani adalah nomor 5 dan 9 yaitu “Menjadikan petani yang kreatif, inovatif,
dan mandiri serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk
menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi” dan “Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan
komoditas pertanian yang sehat, jujur dan berkeadilan”. Nomor terdepan
adalah mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek
dan sumberdaya lokal, menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian, mengamankan
plasma-nutfah, dan seterusnya.
Lalu dari 12 program strategis yang
dijalankan, nomor satu adalah “Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu
Tanaman Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan”.
Berikutnya masih sama namun untuk komoditas hortikultura, lalu perkebunan,
serta daging sapi dan pangan hewani.
Program yang agak dekat dengan kesejahteraan petani ada di nomor 9 yaitu
“Pengembangan SDM Pertanian dan
Kelembagaan Petani”.
Indikator pembangunan pertanian bisa terbalik dengan
indikator kesejahteraan petani. Contoh, dengan naik nya produksi padi sehingga
kita swasembada secara nasional, padahal kesejahteraan petani tidak langsung terangkat naik. Kenapa? Satu mata rantai yang putus adalah karena penguasaan lahan yang sempit sekali. Dengan tanah hanya seperempat hektar, hasilnya
hanya 1,5 ton atau kotor sebanyak Rp Rp. 4,5 juta dalam 4 bulan. Artinya, hanya
bersih setengah juta rupiah per bulan, yang tentu saja tergolong sebagai
keluarga miskin. Dengan 5 anggota keluarga, maka pendapatan perkapita hanya
seratus ribu se bulan.
Jadi, kedua objek ini tidaklah sejalan.
Apapun yang dilakukan dalam konteks pembangunan pertanian, jika salah caranya,
tidak akan mensejahterakan petani.
Perbedaan antara
membangun pertanian dengan membangun petani
|
Membangun Pertanian
|
Membangun Petani
|
Objek perhatian utamanya
|
Komoditas pertanian.
|
Petani
|
Fokus kegiatan
|
Upaya
peningkatan produksi, produktivitas, varietas unggul, teknologi untuk mendorong hasil, dll
|
Pendapatan petani, harga input usahatani, harga
produk pertanian, dll.
|
Program
|
Membangun
pertanian, meningkatkan
hasil produksi nasional dengan bantuan benih, bantuan pupuk, kredit, dan
bantuan pasar.
|
Membangun
petani, berupa pendidikan untuk petani,
pelatihan, pendampingan, peningkatan kapasitas organisasi petani, latihan
kewirausahaan, dan kepemimpinan. Termasuk subsidi input maupun output.
|
Hal yang dianggap urgent
|
Jika ada puso atau ancaman kegagalan produksi, maka segera rapat
mendadak untuk menyusun langkah-langkah taktis mengatasinya.
|
Jika ada petani yang tidak bisa makan,
lemah akses ke pangan, petani mau bertani tidak bertanah, sawah banjir, petani
kesulitan menyekolahkan anak.
|
Data statistik yang dibutuhkan
|
Luas tanam,
produksi, serta produktivitas per wilayah dan komoditas, fluktuasi produksi
per bulan. Termasuk jumlah petani per komoditas, dalam makna petani sebagai
“sumber daya pertanian”.
|
Jumlah petani,
pendapatan per rumah tangga, kemiskinan, pola pangan, konsumsi, kecukupan
gizi petani, jumlah organisasi petani, dan nilai tukar petani.
|
Selama ini, dari
sisi data statistik saja, data tentang produksi dan kondisi komoditas pertanian
relatif lengkap, serta selalu
diperbaharui bahkan setiap bulan. Berkali-kali diadakan pertemuan untuk
mengkompilasi dan “menyepakati” data yang dianggap pantas. Namun, untuk data
tentang petani dan keluarga petani, validitasnya cenderung lemah dan tidak up
to date. Secara umum dapat dikatakan, kita masih terbatas membangun pertanian,
namun belum membangun petani.
Wakil Ketua komisi
IV DPR pernah berucap di depan Rapat Paripurna DPR tanggal 27 Oktober 2011: “Selama ini pembangunan pertanian masih
berorientasi pada peningkatan produksi namun belum diikuti dengan pendekatan peningkatan
kesejateraan petani. Kurangnya perhatian negara terhadap kesejahteraan petani
telah membuat petani menghadapi ketidakpastian dalam berusaha sehingga kinerja
ketahanan pangan dan stabilatas nasional terganggu. Upaya perlindungan dan
perberdayaan petani selama ini belum didukung oleh undang-undang yang
konfrehensif, holistik dan sistematik yang kurang memberikan jaminan kepastian
hukum serta keadilan bagi petani”. Karena itulah lalu, tahun 2013 keluar UU
No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, setelah
diperjuangkan bertahun-tahun.
Namun, UU ini
masih terlalu kental nuasa ekonomi-politik pertanian yang diarahkan pada konsep
liberalistik dan kapitalistik, dan tidak mencerminkan persoalan-persoalan pokok
yang sedang dihadapi kaum petani, misalnya tidak menempatkan konflik agraria
sebagai masalah pokok. UU ini tidak cukup kuat menunjukan adanya ketimpangan
atas alat penguasaan tanah dan sumber-sumber pokok agrarian lainnya, padahal ini
persoalan terbesar yang nyata. Selain itu, UU ini tidak mengurai butir-butir
penting yang menyangkut persoalan hak-hak asasi petani, termasuk hak
kepemilikan atas tanah yang harus dimiliki oleh petani.
Selain itu,
indikator pembangunan pun tampaknya perlu direvisi. Pada indikator GDP dipilah
antara aktivitas mana yang merupakan kerja produktif dan mana yang bukan. Sayangnya,
kerja dan produksi untuk bertahan hidup adalah tindakan non-produktif, padahal
banyak petani kita masih menjalankannya demikian. ********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar