Kamis, 26 Januari 2017

Ekonomi Hijau vs Ekonomi Biru

Antara ekonomi hijau (EH) dan ekonomi biru (EB) lebih banyak kesamaannya dibandingkan perbedaan. Ekonomi biru (Blue Economy) adalah bagian integral dari ekonomi hijau. Hal itu diungkapnya dalam KTT Rio+20 di Brazil (http://www.dualcitizeninc.com/ggei2011.pdf). Keduanya bicara soal keberlanjutan, dan sangat peduli kepada lingkungan. Awalnya orang mengira eknomi biru adalah wujud ekonomi hijau di sektor kelautan dan perikanan. Namun, ternyata ada perbedaan mendasar meski keduanya bicara soal keberlanjutan. Pada EB, masalah lingkungan diatasi dengan mendesain pembangunan sebagaimana ekosistem bekerja. Jadi, bisa disebut bahwa pemikiran EB lebih melengkapi kekurangan  pada EH. EB lebih fokus kepada sumber daya perairan, penciptaan lapangan kerja, dan lebih peduli pula pada pengentasan kemiskinan.
Apa yang dipikirkan Gunter Pauli (yang menciptakan konsep EB), sebenarnya mirip dengan yang diungkapkan ahli pertanian Jepang, Fukuoka dalam bukunya Revolusi Sebatang Jerami. Contohnya, usaha perikanan mestinya tak hanya menghasilkan produk ikan, tetapi mampu menghasilkan produk turunan yang dapat diambil dari “limbah” produk awal. Artinya, EB menekankan pentingnya multiple cashflow.
UNEP mendefinisikan ekonomi hijau sebagai  “one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities.”  Definisi ini sejalan dengan tiga pilar pembangunan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan; sebagaimana dibicarakan dalam Earth Summits. Indeks Global Green Economy tahun 2011 mencakup 4 dimensi dan 12 sub-kategori, yang disusun dari 35 datasets. Dimensi dimaksud adalah kepemimpinan, kebijakan domestik, investasi bersih,  dan pariwista hijau. Dimensi kebijakan domestik mencakup target energi terbarukan, politik energi bersih, dan trend emisi. Kemitraan untuk Aksi Ekonomi Hijau (PAGE) merupakan langkah lanjut dokumen ”The Future We Want” keluaran dari KTT Bumi Rio+20, Juni 2012.
Perbedaan paradigmatik antara eknomi hijau dengan ekonomi biru
Ekonomi hijau
Ekonomi biru

Ide ini lahir pada pertemuan di Rio tahun 1992, lalu dilanjutkan di Johannesburg tahun 2002, dan terakhir pertemuan Rio +20 Juni 2012 di Rio.

Konsep Blue Economy diinisiasi pertama kali oleh Gunter Pauli sejak 30 tahun lalu, dan menjadi isu pokok dalam Expo Mei - Agustus 2012 di Yeosu (Korea Selatan) dengan tema “The Living Ocean and Coast”.
Dokumen pentingnya adalah “The Transition to a Green Economy: Benefits, Challenges and Risks from a Sustainable Development Perspective”.
Buku Gunter Pauli “The Blue Economy 10 Years - 100 Innovations - 100 Million Jobs”.
Ekonomi hijau lebih komprehensif
Bagian dari ekonomi hijau, tidak bertentangan
Perhatian utama pada ekosistem bumi dan pengentasan kemiskinan
Lebih holistik, produk turunan diambil dari ”limbah” produk sebelumnya. Setiap sisa dan emisi dari satu sistem adalah input untuk sistem yang lain.
Mendorong ekonomi ke arah investasi ramah lingkungan, karbon rendah, efisiensi sumber daya, kesejahteraan sosial, serta mendorong konsumsi dan produksi berkelanjutan.
EB menekankan produk ganda sehingga tidak bergantung pada satu produk (core business). Aliran ini menekankan pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak menempatkan alam sebagai obyek. Menerapkan prinsip bagaimana alam bekerja, atau populer dengan istilah kembali ke alam (back to nature). Aliran ini lebih konstruktivistik dan nonlinier sehingga kekhasan lokasi sangat diperhatikan.
Pada level paradigma, dipengaruhi aliran modernisasi ekologi. Mensinergikan ekonomi dan lingkungan dengan pendekatan positivistik. Menghasilkan produk yang mahal (ekolabel) sehingga tidak terjangkau kaum miskin, perdagangan karbon yang tidak adil untuk dunia ketiga, dan hanya menyentuh solusi permukaan saja. Bookchin (1991) menyebutnya sebagai shallow ecology.
Gunter Pauli berusaha mengoreksi praktik EH ini dan mengembangkannya menjadi Ekonomi Biru. Ia bermimpi menciptakan langit dan laut yang tetap biru dan mensejahterakan. Laut dan langit biru itulah simbol lingkungan yang bersih. Secara paradigmatik, Pauli terinsipirasi oleh aliran ekologi-dalam (deep ecology) sebagaimana diperkenalkan Arne Naess tahun 1970-an.
Ekonomi yang ramah pada dua hal, ekosistem bumi (earth’s ecosystems) dan pengentasan kemiskinan (poverty alleviation)
Berkaitan dengan aspek oceans and coasts dalam pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Lebih fokus kepada sumber daya perairan, laut dan pesisir.
Prinsipnya berupaya mengurangi karbon, efisiensi sumber daya alam, tenaga kerja efisien, dan perbaikan aspek-aspek sosial.
Ada 21 prinsip, di antaranya adalah mengelola SDA secara berkelanjutan, sistem produksi efisien dan bersih tanpa merusak lingkungan, belajar dari alam dan menggunakan proses-proses yang terjadi di alam, nirlimbah (zero waste), menekankan sistem siklikal dalam proses produksi, inklusi sosial (pemerataan sosial dan kesempatan kerja yang banyak untuk kaum miskin), inovasi dan adaptasi dengan prinsip hukum fisika dan sifat alam yang adaptif, dan efek ekonomi pengganda. (Pauli, 2010)
Indikatornya adalah  investasi yang tinggi untuk membersihkan lingkungan, rendah karbon, bersih, mengurangi sampah, dan menggunakan tenaga kerja terbatas.
Membantu para pengusaha, memberikan keuntungan kepada perusahaan bersamaan dengan lingkungan bersih, dan penggunaan tenaga kerja efisien. Indikator lingkungan menyatu dalam proses ekonomi.

Pemerintah kita langsung merespon IDE INI, sehinga Presiden SBY melontarkan bahwa pendekatan pembangunan Indonesia adalah pro-growth, pro-jobs, pro-poor, dan pro-green. Cirinya  dengan memasang target 7 persen pertumbuhan ekonomi nasional, juga target menurunkan 26 persen emisi rumah kaca pada tahun 2020. Kalimantan Timur misalnya telah menyatakan menerima konsep ekonomi hijau pada Desember 2009 dalam strategi “low-carbon growth strategy” (LCGS)  dalam kerangka konsep pertumbuhan hijau (green growth).
Sementara, ekonomi biru adalah “….relates to the aspect of the oceans and coasts in sustainable development and poverty eradication”. Dasarnya adalah fakta bahwa laut melingkupi 71 persen permukaan bumi, yang mengandung sumber daya yang sangat kaya berupa “repository of marine life, sea-based food, sea-embedded minerals, and coral reefs, the oceans’ equivalent to the tropical rainforests”. Saat ini, lebih dari 30 produk di pasaran merupakan turunan dari kekayaan laut yaitu pasta gigi, kosmetik, makanan  bayi, pupuk, dan obat-obatan. Gunter Pauli melihat bahwa banyak inovasi EH memiliki kelemahan dalam desainnya karena kurang mendekatan solusi-solusi yang lebih holistik. Akibatnya Produk Hijau menjadi lebih mahal di pasaran.
EH dan EB memiliki banyak kesamaan prinsip. Namun, tetap ada kekhawatiran bahwa keduanya dibajak lagi oleh perusahaan-perusahaan kapitalis besar. Jika sudah dikuasai mereka, semua prinsip akan buyar. Dikhawatirkan mereka akan tetap memberi gaji rendah kepada buruh-buruhnya, jumlah pekerja akan dikurangi, dan manfaat bagi konsumen dan masyarakat sekitar tidak bisa dijamin. Keuntungan bisnis yang dituhankan mereka akan menghilangkan sifat-sifat baik EH dan EB ini.
WWF bergabung dengan lebih dari 80 negara, kelompok masyarakat sipil, perusahaan swasta dan organisasi internasional menyatakan dukungan untuk Kemitraan Global baru untuk Oceans. Ini menandakan komitmen untuk bekerja sama untuk memulihkan lautan di dunia. Mereka melemparkan dukungan ini pada Deklarasi Kelautan Sehat dan Produktif untuk Membantu Mengurangi Kemiskinan pada konferensi Rio+20.

Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai tahun 2013 telah berupaya menerapkan paradigma ekonomi biru di beberapa titik di provinsi Indonesia Timur dan Barat sebagai langkah dalam percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan. KKP bekerja sama dengan Presiden Holdings Ekonomi Biru (KK Gunter Pauli). Bertolak atas konsep EB, digulirkan “Minawisata” sebagai satu terobosan kegiatan yang diinisiasi tahun 2012 yang mengkombinasikan kegiatan yang mendorong investasi di pulau-pulau kecil, khususnya untuk pariwisata dan upaya perlindungan ekosistem melalui kegiatan konservasi. Salah satu cara untuk menjaga agar masyarakat Indonesia mencintai laut adalah meningkatkan peran perairan sebagai sumber kesejahteran untuk lingkungannya. Makin penting perairan bagi masyarakat, makin rajin mereka memperhatikan dan mengurus perairannya.

Konsep EB merupakan tawaran untuk memberikan solusi yang lebih holistik untuk mengembangkan manajemen sumber daya secara efektif. EB adalah ekonomi yang merupakan bisnis model yang memberikan peluang untuk pengembangan investasi dan bisnis yang lebih menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan, namun langit dan laut tetap biru. EB dikembangkan untuk menjawab tantangan, bahwa sistem ekonomi dunia cenderung ekploitatif dan merusak lingkungan. Inti dari EB adalah Sustainable Development yang merupakan koreksi sekaligus perkayaan dari EH dengan semboyan “Blue Sky – Blue Ocean”. Ekonomi tumbuh, rakyat sejahtera, namun langit dan laut tetap Biru.


Cara kerja ekosistem dijadikan model EB, yaitu seperti air mengalir dari gunung membawa nutrien dan energi untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan seluruh komponon ekosistem. Hanya dengan gravitasi energi didistribusikan secara fisien dan merata tanpa ekstraksi energi eksternal.  Gunter Pauli telah membuktikannya dalam pengalamannya dalam menjalankan proyek dengan konsep ekonomi biru di berbagai belahan dunia, sebagai pendiri dan direktur Zero Emissions Research and Initiatives tahun 1994. *******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar