Mulai tahun
1990-an, kalangan
ilmuwan dan pemerhati pembangunan gemar melahirkan konsep-konsep dan pendekatan baru dalam pembangunan pertanian. Semangat utamanya
adalah pada keperdulian terhadap lingkungan. Bagaimana pembangunan berjalan lancar, namun lingkungan tetap terjaga. Kalangan ahli lalu
merumuskan berbagai pendekatan baru, yang banyak orang melabelinya dengan
paradigma, dimana bukan hanya sekedar teknologi dan pilihan inputnya, namun
kepada semangat di belakangnya. Ia
disebut paradigma baru karena di dalamnya tercakup pola fikir baru, strategi baru, pilihan teknologi baru, sikap kepada kemanusiaan yang baru, bahkan pada pilihan politik tata
negaranya yang juga baru. Karena, misalnya pertanian organik,
tidak akan dapat diterapkan bila indikator kemajuan ekonomi
dan pembangunan masih menggunakan pola
ekonomi yang
ekstraktif tanpa peduli lingkungan.
Disini bertebaran banyak paradigma. Saya sebut paradigma
karena sudah melibatkan pemikiran yang mendasar. Tidak lagi sekedar hanya
memikirkan bagaimana memproduksi dengan cepat dan banyak, namun sudah
mempertimbangkan hal-hal lain secara mendalam dan sungguh-sunguh, yaitu tentang
eksistensi alam ini, kesehatan konsumen yang memakannya, dan lain-lain. Dari
berbagai konsep atau pendekatan berikut, maka sesungguhnya ada dua kelompok.
Satu kelompok, sebutlah sebagai “kelompok negatif” yang berisi pertanian modern
dan pertanian industrial di satu sisi.
Satu kelompok lagi, “kelompok positif”,
adalah pertanian berkelanjutan, pertanian organik, Good Agricultural Practice (GAP), dan Good Handling Practice (GHP). Bukan berarti kedua ini betul-betul
bertentangan untuk semua elemennya. Namun, point
perbedaannya lebih banyak dibanding kesamaannya.
Sekali lagi, ini demi memperjelas statusnya saja, biar para
pembaca menjadi lebih terang. Sangat memungkinkan misalnya lalu diciptakan
varian-varian baru dengan mengkombinasikan berbagai pendekatan ini. Inilah
gunanya, yakni dengan membedakan kita bisa mengkombinasikan mungkin untuk
beberapa elemennya saja dari satu konsep
dan pendekatan.
Ekonomi vs Ekonomi Hijau
Salah satu tema penting dalam pertemuan “The UN Earth Summit” di Rio de Janeiro pada Juni 2012 adalah
tentang pembangunan berkelanjutan. Satu tema pokok yang dibicarakan adalah
bagaimana cara mencapai ekonomi hijau (green
economy). Ekonomi Hijau adalah sebuah rezim
ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, dan
sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi Hijau juga
berarti perekonomian yang rendah karbon atau tidak menghasilkan emisi dan
polusi lingkungan, hemat sumber daya alam, dan berkeadilan sosial. Ada yang
menyebutnya lebih lengkap menjadi “ekonomi hijau ekologis”, yaitu sebuah model
pembangunan ekonomi yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan
ekonomi ekologis (http://www.wdm.org.uk/greeneconomy).
Ciri
ekonomi hijau yang paling membedakan dari rezim ekonomi lainnya adalah
penilaian langsung kepada modal alami dan jasa ekologis sebagai nilai ekonomi
dan akuntansi biaya yang telah dipakai dalam proses pembangunan. Biaya ekologis
ini dapat ditelusuri kembali dan dihitung sebagai kewajiban. Proses pembangunan
dijamin tidak akan membahayakan atau mengabaikan aset lingkungan.
Perbandingan antara ekonomi dan ekonomi hijau
Ekonomi
(klasik)
|
Ekonomi
hijau
|
Keuntungan adalah motivasi dan orientasi kegiatan ekonomi.
|
Manusia
dan lingkungan lebih berharga dari sekedar keuntungan
|
Terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi yang serampangan (unsustainable consumption)
|
Mengupayakan
agar setiap kebutuhan manusia dicapai melalui cara-cara yang beretika (truly sustainable manner)
|
Penerapannya menghasilkan ketidakadilan ekonomi bagi pelaku di dalamnya
|
Memperjuangkan
keadilan ekonomi (economic justice)
bagi seluruh pelaku
|
Bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak
yang rakus
|
Mengintegrasikan pilar
ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup sekaligus
|
Akarnya adalah sistem kapitalisme dalam mengelola kekayaan alam, yaitu
menjual dengan cepat dan murah kekayaan alam
|
Sumber
daya alam adalah kekayaan yang harus dijaga, yang belum tentu akan ada lagi, maka
berbaik-baiklah dengan alam
|
Pembangunan bermakna memisahkan lingkungan hidup dan manusia. Manusia
adalah penguasa alam.
|
Berupaya
merangkul keadilan ekonomi. Adalah hak masyarakat miskin
untuk menentukan jalan mereka sendiri
keluar dari kemiskinannya. Manusia dan alam satu kesatuan.
|
Ekonomi adalah untuk ekonomi itu sendiri. Selalu bertumpu pada target
pokok kemajuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi.
|
Sebuah teori ekonomi dimana
ekonomi adalah komponen dari ekosistem. Digunakan oleh kalangan feminism, postmodernism, pihak ecology movement, peace movement, green
politics, green anarchism dan
anti-globalization
|
Ekonomi hijau lahir dari keprihatinan
ketika isu lingkungan hidup dalam modernisasi ekologis (ecological modernity),
dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism) telah
dibajak untuk kepentingan politik dan pasar. Rakyat yang tidak memiliki
kekuatan ekonomi maupun politik dimanipulasi dengan asumsi kemakmuran. Sistem
ekonomi politik kapitalisme dengan sangat baik telah membajak agenda
pembangunan berkelanjutan. Roadmap
pembangunan berkelanjutan dengan segala turunannya, termasuk konvensi perubahan
iklim dan konvensi keanekaan hayati, telah gagal menjangkau akar masalah
kerusakan lingkungan. Alih-alih memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan keadilan
ekonomi, perusahaan-perusahaan multinasional raksasa mengarah pada privatisasi tanah
dan alam, mengambil kendali sumber daya dan menjauhkannya dari masyarakat sekitar.
Ekonomi hijau, menjelang pertemuan Rio+20
digadang- gadang sebagai jawaban atas fakta-fakta kerusakan lingkungan. Sejak
deklarasi pembangunan berkelanjutan tahun 1992, sebanyak 20 persen dari warga
bumi atau 1,4 miliar orang hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 dollar AS
sehari. Ada satu miliar warga kelaparan setiap harinya. Emisi gas rumah kaca
terus meningkat, hingga 36 persen di atas angka tahun 1992, di mana 80 persen
dihasilkan oleh 19 negara. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat 9
persen, bersamaan dengan kenaikan suhu global 0,4 derajat celsius. Kawasan
hutan pun berkurang 300 juta hektar atau sebesar negara Argentina, termasuk
semakin menciutnya kawasan mangrove dunia. Muncullah solusi-solusi baru,
termasuk di antaranya gagasan ekonomi hijau yang idealnya berusaha mengatasi kerusakan
lingkungan, karena selama ini tidak ada pertimbangan keterbatasan daya dukung
alam dan sosial.
Namun, ada pula kritik terhadap ekonomi hijau
ini. Sebagian pihak melihat ada gejala keserakahan di belakang “ekonomi hijau”
(greed behind green economy). Sebagaimana
konsep-konsep ideal lain, ia pun telah dibajak dengan culas. Jargon ekonomi
hijau malah digunakan untuk menaikkan komodifikasi, privatisasi, dan
finansialisasi alam, sekaligus pemusatan kendali atas alam oleh elite-elite
bisnis dan elite politik dunia ke level yang lebih tinggi. Model ekonomi hijau
yang sedang dibicarakan saat ini semakin memfasilitasi penguasaan dan monopoli
atas sumber daya penting kehidupan, seperti air, keragaman hayati, atmosfer,
hutan, penguasaan lahan secara besar-besaran, bibit, dan sarana produksi
lainnya. Kritik lain pada ekonomi hijau adalah karena penerapannya membutuhkan
perusahaan untuk berinvestasi lebih tinggi, dan konsumen juga harus membayar
lebih mahal produk ekonomi hijau (Gunter Pauli, 2010).
Apa sesungguhnya ekonomi hijau? Secara
definisi, konsep ini begitu ideal, dimana “green economy
is one that results in improved human well-being and social equity, while
significantly reducing environmental risks and ecological scarcities. Green
economy is an economy or economic development model based on sustainable
development and a knowledge of ecological economics”.
Sementara, The International Chamber of Commerce (ICC) mendefinisikannya
menjadi: “an economy in which economic
growth and environmental responsibility work together in a mutually reinforcing
fashion while supporting progress on social development”.
Ekonomi hijau memasukkan secara langsung
nila-nilai kapital alam dan pelayanan ekologis (ecological service) sebagai nilai ekonomi (economic value). Ekonomi hijau telah menjadi gerakan dan bahkan
menjadi salah satu indikator pembangunan ekonomi suatu negara, misalnya
dimasukkan dalam laporan UNEP Green Economy Report (Runnals, 2011).
Label hijau (Green Sticker) telah
mulai menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli produk. Sebagian ahli
memposisikan ekonomi hijau sebagai cabang Ilmu Ekonomi, namun sebagian
memasukkannya sebagai kelompok dari ekonomi Marxist. Karl Burkart membagi
ekonomi hijau atas 6 sektor utama yaitu energi terbarukan, “gedung hijau”,
transportasi berkelanjutan, manajemen air, manajemen sampah, dan manajemen
lahan.
Saat
ini telah disusun pula The Global Green
Economy Index (GGEI) yang mulai tahun 2014 akan mengukur empat dimensi
utama ekonomi hijau suatu negara (national
green economy) yaitu: (1) Kepemimpinan dan tingkat perjuangannya kepada isu
“hijau” di forum nasional dan internasional, (2) Kebijakan domestik dan
kerangka kebijakan yang mempromosikan penggunaan energi terbarukan dan
“pertumbuhan hijau”, (3) Investasi teknologi yang bersih (cleantech investment), dan (4) Kinerja “pariwisata hijau”dan
tingkat komitmen dan promosi pelaksanaan pariwisata yang berkelanjutan. Ekonomi
hijau menggunakan energi hijau (green
energy) yang didasarkan atas energi terbarukan untuk menggantikan energi
fosil dan menggunakan sumber energi sehemat mungkin. *******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar