Kamis, 26 Januari 2017

Ekonomi vs Ekonomi Hijau

Mulai tahun 1990-an, kalangan ilmuwan dan pemerhati pembangunan gemar melahirkan konsep-konsep dan pendekatan baru dalam pembangunan pertanian. Semangat utamanya adalah pada  keperdulian terhadap lingkungan. Bagaimana pembangunan berjalan lancar, namun lingkungan tetap terjaga. Kalangan ahli lalu merumuskan berbagai pendekatan baru, yang banyak orang melabelinya dengan paradigma, dimana bukan hanya sekedar teknologi dan pilihan inputnya, namun kepada semangat di belakangnya. Ia disebut paradigma baru karena di dalamnya tercakup pola fikir baru, strategi baru, pilihan teknologi baru, sikap kepada kemanusiaan yang baru, bahkan pada pilihan politik tata negaranya yang juga baru. Karena, misalnya pertanian organik, tidak akan dapat diterapkan bila indikator kemajuan ekonomi dan pembangunan masih menggunakan pola ekonomi yang ekstraktif tanpa peduli lingkungan.
Disini bertebaran banyak paradigma. Saya sebut paradigma karena sudah melibatkan pemikiran yang mendasar. Tidak lagi sekedar hanya memikirkan bagaimana memproduksi dengan cepat dan banyak, namun sudah mempertimbangkan hal-hal lain secara mendalam dan sungguh-sunguh, yaitu tentang eksistensi alam ini, kesehatan konsumen yang memakannya, dan lain-lain. Dari berbagai konsep atau pendekatan berikut, maka sesungguhnya ada dua kelompok. Satu kelompok, sebutlah sebagai “kelompok negatif” yang berisi pertanian modern dan pertanian industrial  di satu sisi. Satu kelompok lagi,  “kelompok positif”, adalah pertanian berkelanjutan, pertanian organik, Good Agricultural Practice (GAP), dan Good Handling Practice (GHP). Bukan berarti kedua ini betul-betul bertentangan untuk semua elemennya. Namun, point perbedaannya lebih banyak dibanding kesamaannya.
Sekali lagi, ini demi memperjelas statusnya saja, biar para pembaca menjadi lebih terang. Sangat memungkinkan misalnya lalu diciptakan varian-varian baru dengan mengkombinasikan berbagai pendekatan ini. Inilah gunanya, yakni dengan membedakan kita bisa mengkombinasikan mungkin untuk beberapa  elemennya saja dari satu konsep dan pendekatan.

Ekonomi vs Ekonomi Hijau

Salah satu tema penting dalam pertemuan “The UN Earth Summit” di Rio de Janeiro pada Juni 2012 adalah tentang pembangunan berkelanjutan. Satu tema pokok yang dibicarakan adalah bagaimana cara mencapai ekonomi hijau (green economy). Ekonomi Hijau adalah sebuah rezim ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, dan sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi Hijau juga berarti perekonomian yang rendah karbon atau tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam, dan berkeadilan sosial. Ada yang menyebutnya lebih lengkap menjadi “ekonomi hijau ekologis”, yaitu sebuah model pembangunan ekonomi yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan ekonomi ekologis (http://www.wdm.org.uk/greeneconomy).
Ciri ekonomi hijau yang paling membedakan dari rezim ekonomi lainnya adalah penilaian langsung kepada modal alami dan jasa ekologis sebagai nilai ekonomi dan akuntansi biaya yang telah dipakai dalam proses pembangunan. Biaya ekologis ini dapat ditelusuri kembali dan dihitung sebagai kewajiban. Proses pembangunan dijamin tidak akan membahayakan atau mengabaikan aset lingkungan.
Perbandingan antara ekonomi dan ekonomi hijau
Ekonomi (klasik)
Ekonomi hijau
Keuntungan adalah motivasi dan orientasi kegiatan ekonomi.
Manusia dan lingkungan lebih berharga dari sekedar keuntungan
Terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi yang serampangan (unsustainable consumption)
Mengupayakan agar setiap kebutuhan manusia dicapai melalui cara-cara yang beretika (truly sustainable manner)
Penerapannya menghasilkan ketidakadilan ekonomi bagi pelaku di dalamnya
Memperjuangkan keadilan ekonomi (economic justice) bagi seluruh pelaku
Bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak yang rakus
Mengintegrasikan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup sekaligus
Akarnya adalah sistem kapitalisme dalam mengelola kekayaan alam, yaitu menjual dengan cepat dan murah kekayaan alam
Sumber daya alam adalah kekayaan yang harus dijaga, yang belum tentu akan ada lagi, maka berbaik-baiklah dengan alam
Pembangunan bermakna memisahkan lingkungan hidup dan manusia. Manusia adalah penguasa alam.
Berupaya merangkul keadilan ekonomi. Adalah hak masyarakat miskin untuk menentukan jalan mereka sendiri keluar dari kemiskinannya. Manusia dan alam satu kesatuan.
Ekonomi adalah untuk ekonomi itu sendiri. Selalu bertumpu pada target pokok kemajuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi.
Sebuah teori ekonomi dimana ekonomi adalah komponen dari ekosistem. Digunakan oleh kalangan feminism, postmodernism, pihak ecology movement, peace movement, green politics, green anarchism dan anti-globalization
Ekonomi hijau lahir dari keprihatinan ketika isu lingkungan hidup dalam modernisasi ekologis (ecological modernity), dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism) telah dibajak untuk kepentingan politik dan pasar. Rakyat yang tidak memiliki kekuatan ekonomi maupun politik dimanipulasi dengan asumsi kemakmuran. Sistem ekonomi politik kapitalisme dengan sangat baik telah membajak agenda pembangunan berkelanjutan. Roadmap pembangunan berkelanjutan dengan segala turunannya, termasuk konvensi perubahan iklim dan konvensi keanekaan hayati, telah gagal menjangkau akar masalah kerusakan lingkungan. Alih-alih memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekonomi, perusahaan-perusahaan multinasional raksasa mengarah pada privatisasi tanah dan alam, mengambil kendali sumber daya dan menjauhkannya dari masyarakat sekitar.
Ekonomi hijau, menjelang pertemuan Rio+20 digadang- gadang sebagai jawaban atas fakta-fakta kerusakan lingkungan. Sejak deklarasi pembangunan berkelanjutan tahun 1992, sebanyak 20 persen dari warga bumi atau 1,4 miliar orang hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 dollar AS sehari. Ada satu miliar warga kelaparan setiap harinya. Emisi gas rumah kaca terus meningkat, hingga 36 persen di atas angka tahun 1992, di mana 80 persen dihasilkan oleh 19 negara. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat 9 persen, bersamaan dengan kenaikan suhu global 0,4 derajat celsius. Kawasan hutan pun berkurang 300 juta hektar atau sebesar negara Argentina, termasuk semakin menciutnya kawasan mangrove dunia. Muncullah solusi-solusi baru, termasuk di antaranya gagasan ekonomi hijau yang idealnya berusaha mengatasi kerusakan lingkungan, karena selama ini tidak ada pertimbangan keterbatasan daya dukung alam dan sosial.
Namun, ada pula kritik terhadap ekonomi hijau ini. Sebagian pihak melihat ada gejala keserakahan di belakang “ekonomi hijau” (greed behind green economy). Sebagaimana konsep-konsep ideal lain, ia pun telah dibajak dengan culas. Jargon ekonomi hijau malah digunakan untuk menaikkan komodifikasi, privatisasi, dan finansialisasi alam, sekaligus pemusatan kendali atas alam oleh elite-elite bisnis dan elite politik dunia ke level yang lebih tinggi. Model ekonomi hijau yang sedang dibicarakan saat ini semakin memfasilitasi penguasaan dan monopoli atas sumber daya penting kehidupan, seperti air, keragaman hayati, atmosfer, hutan, penguasaan lahan secara besar-besaran, bibit, dan sarana produksi lainnya. Kritik lain pada ekonomi hijau adalah karena penerapannya membutuhkan perusahaan untuk berinvestasi lebih tinggi, dan konsumen juga harus membayar lebih mahal produk ekonomi hijau (Gunter Pauli, 2010).
Apa sesungguhnya ekonomi hijau? Secara definisi, konsep ini begitu ideal, dimana green economy is one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities. Green economy is an economy or economic development model based on sustainable development and a knowledge of ecological economics”. Sementara, The International Chamber of Commerce (ICC) mendefinisikannya menjadi: “an economy in which economic growth and environmental responsibility work together in a mutually reinforcing fashion while supporting progress on social development”.
Ekonomi hijau memasukkan secara langsung nila-nilai kapital alam dan pelayanan ekologis (ecological service) sebagai nilai ekonomi (economic value). Ekonomi hijau telah menjadi gerakan dan bahkan menjadi salah satu indikator pembangunan ekonomi suatu negara, misalnya dimasukkan  dalam laporan UNEP Green Economy Report (Runnals, 2011). Label hijau (Green Sticker) telah mulai menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli produk. Sebagian ahli memposisikan ekonomi hijau sebagai cabang Ilmu Ekonomi, namun sebagian memasukkannya sebagai kelompok dari ekonomi Marxist. Karl Burkart membagi ekonomi hijau atas 6 sektor utama yaitu energi terbarukan, “gedung hijau”, transportasi berkelanjutan, manajemen air, manajemen sampah, dan manajemen lahan.

Saat ini telah disusun pula The Global Green Economy Index (GGEI) yang mulai tahun 2014 akan mengukur empat dimensi utama ekonomi hijau suatu negara (national green economy) yaitu: (1) Kepemimpinan dan tingkat perjuangannya kepada isu “hijau” di forum nasional dan internasional, (2) Kebijakan domestik dan kerangka kebijakan yang mempromosikan penggunaan energi terbarukan dan “pertumbuhan hijau”, (3) Investasi teknologi yang bersih (cleantech investment), dan (4) Kinerja “pariwisata hijau”dan tingkat komitmen dan promosi pelaksanaan pariwisata yang berkelanjutan. Ekonomi hijau menggunakan energi hijau (green energy) yang didasarkan atas energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil dan menggunakan sumber energi sehemat mungkin. *******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar