Minggu, 15 Januari 2017

Produktivitas: Yield vs Output



Kekeliruan memaknai produktivitas telah menyebabkan pertanian kecil tersingkir” dari fikiran kita. Secara umum,  produktivitas adalah hasil yang diperoleh dibandingkan dengan masukan yang telah dipakai, yakni perbandingan hasil dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penghitungan tingkat produktivitas hanya fokus pada satu macam dari sekian banyak hasil (output) yakni pada satu komoditas yang diproduksi demi pasar. Ini sesungguhnya produktivitas dalam makna “yield”. Jika yang dipakai “output”, semestinya semua faktor turut dihitung seperti berapa jumlah modal, benih, bahan-bahan kimia, mesin, bahan bakar, tenaga kerja, tanah, dan air. Outputnya juga dihitung semua.

Kekeliruan menggunakan alat ukur inilah yang menjadi akar penyebab pertanian skala kecil harus dihapus dan diganti dengan pertanian industri berskala besar. Jika output yang dipakai, maka pertanian kecil lebih produktif. Namun jika pakai yield, pertanian kecil kalah bersaing.

Pertanian besar menggunakan yield, pertanian kecil menggunakan output. Ketika pertanian besar membersihkan lahan dari gulma, petani kecil memanfaatkannya dengan menanam tanaman pangan lain. Mereka juga melakukan rotasi dan mengkombinasikan dengan ternak yang memproduksi kotoran untuk memperbaiki kesuburan lahan. Pada akhirnya: “… These small-scale integrated farms produce far more per unit area than large farms. Though the yield per unit area of one crop -- corn, for example -- may be lower, the total output per unit area for small farms, often composed of more than a dozen crops and numerous animal products, is virtually always higher than that of larger farms”.

Jika batasannya yield,  cara menghitung produktivitas adalah berapa ton jagung yang dipanen dari sehektar lahan (single crop). Namun, jika output yang dipakai, selain jagung ada hasil yang lain yaitu misalnya kacang panjang di antara jagung, ayam yang berkeliaran di lahan, serta daging sapi yang hijauannya berasal dari gulma dan daun jagung. Memang jumlah produksi jagung menjadi lebih rendah. Jika dihitung dalam satu tahun, nilai produksi pertanian mix cropping ini tentu jauh lebih besar. Jadi, meskipun yield per unit area satu jenis tanaman, misalnya jagung lebih rendah, namun total output per unit area, menjadi lebih besar. Karena di lahan yang sama masih ada banyak tanaman lain misalnya kacang panjang, kacang tanah, cabe, sapi, telur ayam, telur bebek, ikan, meskipun serba sedikit. Maka “total output” jelas lebih tinggi.

Petani kecil menanam dalam format crop mixtures atau intercropping, dimana tidak ada sumberdaya yang terbuang, baik sumber daya keruangan (space) dan waktu. Pola penanaman integrated farming systems memproduksi jauh lebih tinggi dibandingkan monoculture. Satu kelebihannya lagi yang nilainya sangat besar adalah ia memperbaiki lingkungan, tidak merusaknya.


Perbedaan penggunaan yield dibandingkan output dalam mengukur produktivitas

Yield
Output

Didefinisikan sebagai “the production per unit of a single crop”.

Adalah “…the sum of everything a small farmer produces -- various grains, fruits, vegetables, fodder, and animal products.
Lebih sempit, hanya menghitung input utama dan juga terbatas pada satu output pokok saja.
Lebih luas. Menghitung berbagai input langsung dan tak langsung, dan juga berbagai output termasuk output ikutan.
Digunakan kalangan agribisnis dan ekonomi. Yakni mereka yang pro pertanian skala besar.

Digunakan oleh mereka yang pro lingkungan dan pro petani kecil. Jika output yang dipakai untuk mengukur produktivitas, maka pertanian kecil lebih produktif.
Input yang dihitung hanya input yang dibeli, sehingga nilainya rendah. Jika kerusakan alam semua dihitung angkanya akan besar.  Biaya produksi terus meningkat namun tidak dimasukkan dalam perhitungan.
Nilai produksi lebih tinggi, karena kerusakan lingkungan sebagai pembagi kecil bahkan semakin positif. Biaya produksi terus dan terus menurun.
Menghitung hasil total produksi saja. Kerusakan lingkungan dan kesehatan tidak dihitung.
Menghitung output yang lain selain tanaman utama. Menghitung perbaikan kondisi lingkungan yang dihasilkannya dan menjaga kesehatan konsumen.
Jika yield yang dipakai, yakni single crop, hasilnya lebih tinggi.
Jika yang dihitung adalah “output, maka pertanian kecil  lebih efisien, lebih tinggi, dan lebih ramah lingkungan.
Implikasi tak langsungnya adalah pro pertanian besar, usaha skala besar, dan petani besar serta investor besar. 
Pro pada landreform dan distribusi tanah untuk petani-petani kecil. Pro pada pemerataan dan pertanian rakyat.


Kalangan pro agribisnis tidak hanya mempromosikan pertanian berskala besar namun juga mendorong teknologi-teknologi maju berskala besar (big technology). Mereka memilih menerapkan teknologi yang sangat kimiawi, mesin-mesin, komputerisasi, dan rekayasa genetik; yang hanya dapat  diimplementasikan pada pertanian berskala besar. Perkawinan dari pertanian yang luar biasa (huge farms) dengan "mega-technology" dipropogandakan ke publik sebagai kebutuhan yang tak terelakkan untuk memproduksi pangan secara efisien. Jadi, tekanannya adalah pada ukuran dan teknologi. Ukuran yang besar dan penggunaan mekanisasi dipandang lebih efisien. Mitos ini dipegang oleh pengambil kebijakan dan kalangan teknis yang berpendapat bahwa pertanian komersial tergantung pada  mekanisasi, tenaga kerja upahan, large collectives atau bahkan state farms dibandingkan pertanian keluarga yang kecil-kecil.

Penelitian ekonomi secara detail membuktikan bahwa itu hanya ilusi. Menurut Swaminathan (Aiyer et al., 1995),  “… Large farms typically have lower total productivity, while small family-operated farms utilize inputs more productively . Karena itu, landreform dengan membagi-bagikan lahan-lahan luas dari pertanian kolektif, tanah hacienda yang besar-besar, pertanian negara dan pertanian komersial berskala luas kepada usahatani kecil (smaller family-operated farms); dapat meningkatkan efisiensi dan juga pemerataan (equity).

Sanggahan yang paling mantap dari konsep  “Small is Beautiful”. Banyak kalangan mendukung ini. Mereka meyakini bahwa pertanian usaha kecil lebih dermawan. Petani-petani kecil terbukti telah memberi makan pada dunia, kenapa kita harus menghinanya? (Monbiot, 2008).
Sejalan dengan ini, di tahun 1962 Nobelis Amartya Sen telah mempelajari puluhan hasil riset. Ia mendapatkan ada hubungan yang terbalik antara ukuran usahatani dengan hasil per hektar. Semakin kecil pertanian, semakin besar hasilnya. ”There is an inverse relationship between the size of farms and the amount of crops they produce per hectare. The smaller they are, the greater the yield” (Amartya Sen, 1962). Sebuah studi di Turki menemukan bahwa hasil yang diperoleh dari pertanian di bawah satu hektar mampu sama dengan 20 kali produktivitas dari usaha yang per unitnya lebih dari 10 ha (Fatma Gul Unal, 2006). Ini sejalan dengan penelitian-penelitian lain di India, Pakistan, Nepal, Malaysia, Thailand, Filipina, Brazil, Colombia and Paraguay
Kenapa bisa demikian? Karena, petani kecil sangat sedikit menggunakan mesin sendiri, sedikit sekali menggunakan kredit dari luar dan tidak perlu membeli mesin-mesin pertanian mutakhir. Beberapa peneliti mencoba menolak hubungan yang aneh ini dengan mencari alasan mungkin karena lahan-lahan mereka lebih subur. Namun ini tidak terbukti, karena petani-petani gurem tersebut berusaha di atas tanah-tanah yang tidak dapat dikategorikan subur. Fakta ini bahkan terjadi juga di Brazil, yang merupakan negara dimana lahan-lahan terbaik telah dikuasai para pengusaha pertanian besar (Giovanni, 1985).
Alasan paling masuk akal untuk menjelaskan ini adalah karena pertanian kecil menggunakan tenaga kerja per ha lebih banyak dibandingkan pertanian besar (Hazell, 2005). Tenaga kerja ini datang dari keluarga sendiri. Artinya, biaya usaha tani lebih rendah, karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar tenaga kerja. Dengan tenaga kerja keluarga yang banyak, mereka menggarap lahan lebih intensif. Mereka lebih berkesempatan memperbaiki teras menjadi lebih baik, membangun saluran irigasi lebih baik, dan mereka segera menanam kembali langsung sehabis panen. Mereka pun dapat menanam sebidang lahan dengan berbagai jenis tanaman. Secara total, maka produktivitas per ha lahan menjadi sangat besar. Pada awal-awal revolusi hijau memang pertanian besar kelihatan sangat membanggakan. Namun ketika teknologi-teknologi ini mulai menyebar ke petani kecil, maka mereka mampu membalikkan keadaan (Heltberg, 1998).

Dari tujuh mitos yang melekat pada pertanian industrial, pada mitos keempat Fatal Harvest (2002) menyebutkan adanya mitos bahwa pertanian industrial lebih efisien. Faktanya, pertanian kecil memproduksi output per unit lebih besar dari pertanian skala besar. Sebagaimana dinyatakan Harvest bahwa: “Small farms produce more agricultural output per unit area than large farms. Moreover, larger, less diverse farms require far more mechanical and chemical inputs. These ever increasing inputs are devastating to the environment and make these farms far less efficient than smaller, more sustainable farms”.             Mitos "bigger is better" merupakan suatu kekeliruan (fallacy). Pertanian skala besar membutuhkan biaya produksi per unit lebih besar dan terus meningkat, karena membutuhkan teknologi maju dan bahan kimia yang mahal.

Suatu studi tahun 1989 oleh U.S. National Research Council mempelajari efisiensi sistem produksi pangan dan membandingkan dengan berbagai metode alternatif. ”The conclusion was exactly contrary to the "bigger is better" myth: "Well-managed alternative farming systems nearly always use less synthetic chemical pesticides, fertilizers, and antibiotics per unit of production than conventional farms. Reduced use of these inputs lowers production costs and lessens agriculture's potential for adverse environmental and health effects without decreasing -- and in some cases increasing -- per acre crop yields and the productivity of livestock management systems." Rosset (1999) juga  menolak pandangan bahwa petani kecil backward dan tidak produktif. Dari data di berbagai wilayah di Amerika ia menyatakan bahwa: “…..small farms are "multi-functional" —more productive, more efficient, and contribute more to economic development than large farms. Small farmers can also make better stewards of natural resources, conserving biodiversity and safe-guarding the future sustainability of agricultural production”.

Departemen Pertanian AS (The United States Department of Agriculture's/USDA) membuat rumusan yang tegas tentang petani kecil  tahun 1998 di bawah judul “A Time to Act.  Petani kecil sangat berharga dalam konteks diversitas, empowerment and community responsibility, places for families, personal connection to food, dan economic foundations. Di AS, telah diakui dalam ratusan tahun secara historik dan politik. …small farmers frequently produce with minimal recourse to expensive external inputs (Netting, 1993). Menurut FAO (United Nations, 1999): “…small farms play multiple key functions in rural economies, cultures and ecosystems worldwide”.  Nilai produktivitas yang tinggi datang dari multiple cropping, land use intensity, output composition, efficient use of irrigation, labor quality, labor intensity, input use dan resource use (Netting, 1993; Lappé et al., 1998).******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar