Kekeliruan
memaknai produktivitas telah menyebabkan pertanian kecil “tersingkir”
dari fikiran kita.
Secara umum, produktivitas
adalah hasil yang diperoleh dibandingkan dengan masukan yang telah
dipakai, yakni perbandingan hasil dengan biaya yang telah
dikeluarkan. Penghitungan tingkat produktivitas
hanya fokus pada satu macam dari sekian banyak hasil (output) yakni pada satu
komoditas yang diproduksi demi pasar. Ini sesungguhnya
produktivitas dalam makna “yield”. Jika yang dipakai
“output”, semestinya
semua faktor turut dihitung seperti berapa jumlah modal, benih, bahan-bahan
kimia, mesin, bahan bakar, tenaga kerja, tanah, dan air. Outputnya juga dihitung semua.
Kekeliruan menggunakan alat ukur inilah yang menjadi akar
penyebab pertanian skala kecil harus dihapus dan diganti dengan pertanian
industri berskala besar. Jika output yang
dipakai, maka pertanian kecil lebih produktif. Namun
jika pakai yield, pertanian kecil
kalah bersaing.
Pertanian besar
menggunakan yield, pertanian kecil
menggunakan output. Ketika pertanian besar membersihkan
lahan dari gulma, petani kecil memanfaatkannya dengan menanam tanaman pangan
lain. Mereka juga melakukan rotasi dan mengkombinasikan dengan ternak yang
memproduksi kotoran untuk memperbaiki kesuburan lahan. Pada
akhirnya: “… These small-scale integrated
farms produce far more per unit area than large farms. Though the yield per
unit area of one crop -- corn, for example -- may be lower, the total output
per unit area for small farms, often composed of more than a dozen crops and
numerous animal products, is virtually always higher than that of larger farms”.
Jika batasannya yield, cara menghitung produktivitas
adalah berapa ton jagung yang dipanen dari sehektar lahan (single crop).
Namun, jika output yang dipakai, selain jagung ada hasil yang lain yaitu
misalnya kacang panjang di antara jagung, ayam yang berkeliaran di lahan, serta
daging sapi yang hijauannya berasal dari gulma dan daun jagung. Memang jumlah produksi jagung menjadi lebih rendah. Jika dihitung dalam satu tahun, nilai produksi pertanian mix cropping ini tentu jauh lebih besar.
Jadi, meskipun yield per unit area
satu jenis tanaman, misalnya jagung lebih rendah, namun total output per unit
area, menjadi lebih besar. Karena di lahan yang sama masih ada banyak tanaman
lain misalnya kacang panjang, kacang tanah, cabe, sapi, telur ayam, telur
bebek, ikan, meskipun serba sedikit. Maka “total output” jelas lebih tinggi.
Petani kecil
menanam dalam format crop mixtures atau intercropping, dimana tidak ada
sumberdaya yang terbuang, baik sumber daya keruangan (space) dan waktu. Pola penanaman integrated farming systems memproduksi jauh lebih tinggi
dibandingkan monoculture. Satu
kelebihannya lagi yang nilainya sangat besar adalah ia memperbaiki lingkungan,
tidak merusaknya.
Perbedaan
penggunaan yield dibandingkan output dalam mengukur produktivitas
Yield
|
Output
|
Didefinisikan
sebagai “the production per unit of a
single crop”.
|
Adalah “…the sum of everything a small farmer produces -- various grains,
fruits, vegetables, fodder, and animal products”.
|
Lebih sempit, hanya menghitung input utama dan juga terbatas pada satu
output pokok saja.
|
Lebih luas.
Menghitung berbagai input langsung dan tak langsung, dan juga berbagai output
termasuk output ikutan.
|
Digunakan kalangan
agribisnis dan ekonomi. Yakni mereka yang pro pertanian skala besar.
|
Digunakan oleh mereka yang pro lingkungan dan pro petani kecil. Jika output yang dipakai untuk mengukur produktivitas,
maka pertanian kecil lebih produktif.
|
Input yang dihitung hanya input yang dibeli, sehingga nilainya rendah.
Jika kerusakan alam semua dihitung angkanya akan besar. Biaya produksi terus
meningkat namun tidak dimasukkan dalam perhitungan.
|
Nilai produksi lebih tinggi, karena
kerusakan lingkungan sebagai pembagi kecil bahkan semakin positif. Biaya
produksi terus dan terus menurun.
|
Menghitung hasil total
produksi saja. Kerusakan lingkungan dan kesehatan tidak dihitung.
|
Menghitung
output yang lain selain tanaman utama. Menghitung perbaikan kondisi lingkungan
yang dihasilkannya dan menjaga kesehatan konsumen.
|
Jika yield yang dipakai, yakni single crop, hasilnya lebih tinggi.
|
Jika yang dihitung adalah “output”, maka pertanian kecil lebih efisien, lebih tinggi, dan lebih
ramah lingkungan.
|
Implikasi
tak langsungnya adalah pro pertanian besar, usaha skala besar, dan petani
besar serta investor besar.
|
Pro pada landreform dan distribusi tanah untuk petani-petani kecil. Pro pada pemerataan dan pertanian rakyat.
|
Kalangan pro agribisnis tidak hanya
mempromosikan pertanian berskala besar namun juga mendorong teknologi-teknologi
maju berskala besar (big technology).
Mereka memilih menerapkan teknologi yang sangat kimiawi, mesin-mesin,
komputerisasi, dan rekayasa genetik; yang hanya dapat diimplementasikan pada pertanian berskala
besar. Perkawinan dari pertanian yang luar biasa (huge farms) dengan "mega-technology"
dipropogandakan ke publik sebagai kebutuhan yang tak terelakkan untuk memproduksi pangan
secara efisien. Jadi, tekanannya adalah pada ukuran dan teknologi. Ukuran yang besar dan penggunaan mekanisasi
dipandang lebih efisien. Mitos ini dipegang oleh pengambil kebijakan dan
kalangan teknis yang berpendapat bahwa pertanian komersial tergantung
pada mekanisasi, tenaga kerja upahan, large collectives atau bahkan state farms dibandingkan pertanian
keluarga yang kecil-kecil.
Penelitian ekonomi secara detail membuktikan
bahwa itu hanya ilusi. Menurut Swaminathan (Aiyer et al., 1995), “… Large farms typically have lower total
productivity, while small family-operated farms utilize inputs more
productively . Karena itu, landreform
dengan membagi-bagikan lahan-lahan luas dari pertanian kolektif, tanah hacienda yang besar-besar, pertanian
negara dan pertanian komersial berskala luas kepada usahatani kecil (smaller family-operated farms); dapat
meningkatkan efisiensi dan juga pemerataan (equity).
Sanggahan yang paling mantap dari konsep “Small is Beautiful”. Banyak kalangan mendukung ini. Mereka meyakini bahwa pertanian usaha
kecil lebih dermawan. Petani-petani kecil terbukti telah memberi makan pada
dunia, kenapa kita harus menghinanya? (Monbiot, 2008).
Sejalan dengan
ini, di tahun 1962 Nobelis Amartya Sen telah mempelajari puluhan hasil riset.
Ia mendapatkan ada hubungan yang terbalik antara ukuran usahatani dengan hasil
per hektar. Semakin kecil pertanian, semakin besar hasilnya. ”There is an
inverse relationship between the size of farms and the amount of crops they
produce per hectare. The smaller they are, the greater the yield” (Amartya Sen,
1962). Sebuah studi di Turki menemukan bahwa hasil yang diperoleh dari
pertanian di bawah satu hektar mampu sama dengan 20 kali produktivitas dari
usaha yang per unitnya lebih dari 10 ha (Fatma Gul Unal, 2006). Ini sejalan
dengan penelitian-penelitian lain di India, Pakistan, Nepal, Malaysia,
Thailand, Filipina, Brazil, Colombia and Paraguay
Kenapa bisa demikian? Karena, petani kecil sangat sedikit
menggunakan mesin sendiri, sedikit sekali menggunakan kredit dari luar dan
tidak perlu membeli mesin-mesin pertanian mutakhir. Beberapa peneliti mencoba
menolak hubungan yang aneh ini dengan mencari alasan mungkin karena lahan-lahan
mereka lebih subur. Namun ini tidak terbukti, karena petani-petani gurem
tersebut berusaha di atas tanah-tanah yang tidak dapat dikategorikan subur.
Fakta ini bahkan terjadi juga di Brazil, yang merupakan negara dimana
lahan-lahan terbaik telah dikuasai para pengusaha pertanian besar (Giovanni, 1985).
Alasan
paling masuk akal untuk menjelaskan ini adalah karena pertanian kecil
menggunakan tenaga kerja per ha lebih banyak dibandingkan pertanian besar (Hazell, 2005).
Tenaga kerja ini datang dari keluarga sendiri. Artinya, biaya usaha tani lebih
rendah, karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar tenaga kerja.
Dengan tenaga kerja keluarga yang banyak, mereka menggarap lahan lebih
intensif. Mereka lebih berkesempatan memperbaiki teras menjadi lebih baik,
membangun saluran irigasi lebih baik, dan
mereka segera menanam kembali langsung sehabis panen. Mereka pun dapat menanam sebidang lahan dengan berbagai jenis tanaman.
Secara total, maka produktivitas per ha lahan menjadi sangat besar. Pada awal-awal revolusi hijau memang pertanian besar
kelihatan sangat membanggakan. Namun ketika teknologi-teknologi ini mulai
menyebar ke petani kecil, maka mereka mampu membalikkan
keadaan (Heltberg,
1998).
Dari tujuh mitos yang melekat pada
pertanian industrial, pada mitos keempat Fatal Harvest (2002) menyebutkan adanya mitos bahwa
pertanian industrial lebih efisien. Faktanya, pertanian kecil memproduksi output
per unit lebih besar dari pertanian skala besar. Sebagaimana
dinyatakan Harvest bahwa: “Small farms produce
more agricultural output per unit area than large farms. Moreover, larger, less
diverse farms require far more mechanical and chemical inputs. These ever
increasing inputs are devastating to the environment and make these farms far
less efficient than smaller, more sustainable farms”. Mitos "bigger is
better" merupakan suatu kekeliruan (fallacy). Pertanian skala besar membutuhkan biaya produksi per unit
lebih besar dan terus meningkat, karena membutuhkan teknologi maju dan bahan
kimia yang mahal.
Suatu studi tahun 1989 oleh U.S.
National Research Council mempelajari efisiensi sistem produksi pangan dan
membandingkan dengan berbagai metode alternatif. ”The conclusion was exactly contrary to the "bigger is
better" myth: "Well-managed alternative farming systems nearly always
use less synthetic chemical pesticides, fertilizers, and antibiotics per unit
of production than conventional farms. Reduced use of these inputs lowers
production costs and lessens agriculture's potential for adverse environmental and
health effects without decreasing -- and in some cases increasing -- per acre
crop yields and the productivity of livestock management systems." Rosset (1999) juga menolak pandangan
bahwa petani kecil backward dan tidak
produktif. Dari data di berbagai wilayah di Amerika ia menyatakan bahwa: “…..small farms are
"multi-functional" —more productive, more efficient, and contribute
more to economic development than large farms. Small farmers can also make
better stewards of natural resources, conserving biodiversity and safe-guarding
the future sustainability of agricultural production”.
Departemen
Pertanian AS (The United States Department of
Agriculture's/USDA) membuat rumusan
yang tegas tentang petani kecil tahun
1998 di bawah judul “A Time to Act”.
Petani kecil sangat berharga dalam konteks diversitas, empowerment and community responsibility, places for families, personal
connection to food, dan economic
foundations. Di AS, telah diakui dalam ratusan tahun
secara historik dan politik. …small
farmers frequently produce with minimal recourse to expensive external inputs
(Netting, 1993). Menurut FAO (United Nations, 1999): “…small farms play multiple key functions in rural economies, cultures
and ecosystems worldwide”. Nilai
produktivitas yang tinggi datang dari multiple cropping, land use intensity, output composition, efficient use of irrigation, labor quality, labor intensity, input use dan resource use (Netting, 1993; Lappé et al.,
1998).******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar