Minggu, 15 Januari 2017

Pertanian kontinetal vs pertanian maritim



Kita baru mengembangkang pertanian kontinental, namun belum melirik dengan optimal “pertanian maritim”. Kita perlu mengembangkan sendiri pembangunan pertanian yang spesifik sesuai kondisi wilayah kita. Maka kita juga mesti mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan karakter sumber daya alam, iklim, dan ekosistem Indonesia. Kita akan lebih berdaya bila mengembangkan pangan dan pertanian yang basisnya keunggulan sumber daya alam dan iklim serta kondisi wilayah geografis kita.

Satu kesadaran yang penting adalah, Indonesia adalah negara kepulauan, bukan “Negara Benua”. Kita memiliki banyak pulau. Tiap pulau memiliki kondisi sumber daya alam dan iklim yang khas, demikian pula kultur masyarakat yang mendiaminya. Kalimantan misalnya didominasi lahan pasang surut dan gambut yang sangat luas, demikian pula Nusa Tenggara yang dominan lahan kering beriklim kering.

Perbedaan antara pertanian kontinental dengan pertanian maritim

Pertanian kontinental
Pertanian maritim

Pertanian yang basis ilmu dan aktivitasnya berbasiskan daratan. Cirinya adalah pertanian dengan skala luas-luas yang menanam satu jenis komoditas. Karena sangat luas, misalnya pertanian kapas di AS, maka dibutuhkan alat dan mesin secara intensif.

Disebut juga “agro maritim”, yaitu pertanian dalam arti luas yang berbasis kepulauan sehingga menjadikan laut dan kekhasan sumber daya pulau sebagai pertimbangan utama.
Karena hanya satu daratan, maka kondisi agroekologinya cenderung sama di semua tempat.
Karateristik keanekaragaman hayati antara pulau satu dengan pulau lain berbeda.
Dapat dikembangkan secara luas, dengan satu manajemen.
Tidak dapat dikembangkan secara luas, karena tidak ada daratan yang terhampar rata, sehingga jika mengembangkan mesin haruslah dengan format yang berbeda. 
Cocok untuk negara benua, misalnya AS dan Autralia.
Cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia.
Ilmu pertanian nya berasal dari pola berpikir negara maju, yang pada umumnya berada di wilayah beriklim empat musim dan berstruktur geografis benua (kontinen). Semua teknologi dan manajemen pertanian yang ada saat ini dikembangkan dari tipe pertanian kontinental ini.
Kesadaran terhadap ini belum muncul, sehingga ilmunya saat ini belum terwujud. Kalangan perencana pembangunan pun belum mengenal ide ini. Indonesia berkesempatan mengembangkan keilmuan pertanian maritim, karena tidak ada negara lain yang karakter geografisnya seluas dan sehebat Indonesia.
Kita mentargetkan swasembada pangan berbasis komoditas yaitu beras, jagung, kedelai, dan daging sapi; bukan berdasarkan kandungan seperti karbohidrat, protein, lemak, dan lainnya. 
Swasembada bisa diperoleh dari pangan yang beragam, karena apa yang tumbuh bagus di tiap pulau berbeda. Karbohidrat misalnya bisa dari singkong, sagu, dan ubi jalar; karena tidak banyak tempat yang cocok untuk padi.
Sudah dijalankan, tapi agak keliru.
Sangat potensial dan sesuai, tapi belum dijalankan, bahkan beluk terpikirkan.


Sebuah organisasi yang menyebut diri “Indonesia Maritime Institute (IMI) telah mencoba menawarkan konsep baru pertanian yang dirasa cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia. Mereka menyebutnya “Agro Maritim”. Ajakan ini pantas disambut, karena memang pola pertanian antara satu pulau dengan pulau lainnya sangat pantas berbeda. Ada pulau yang baik ditanami padi, namu di pulau lain mungkin jagung dan sorgum.

Selain itu, Indonesia adalah negara kepulauan dengan dua pertiga luas wilayahnya berupa laut, sehingga menyimpan potensi sumberdaya hayati yang besar. Ditambah panjang garis pantai 81.000 km atau 14 persen garis pantai seluruh dunia. Bahkan potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan mencapai Rp7.600 triliun per tahun. Namun hal tersebut belum mendapatkan pengelolaan secara baik. ********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar