Minggu, 15 Januari 2017

Pertanian Kapitalis Vs Pertanian Rakyat



Meski banyak telinga ga senang mendengarnya, namun “pertanian kapitalis” sesungguhnya sudah eksis di tengah-tenngah kita. Bahkan sejak era kolonial pun sudah, sebagai mana Boeke sudah melaporkannya. Perkebunan sawit di berbagai wilayah saat ini adalah contoh pertanian kapitalis yang semakin kuat menekan dan menyingkirkan hutan dan rakyat. Konflik petani kecil dengan perkebunan sudah bukan berita lagi.

Pada acara Workshop “Resolusi Konflik Dan Expo CSR Di Perkebunan dan Kehutanan” di Yogyakarta tanggal 20 November 2013, Menteri Pertanian melaporkan bahwa 59 persen dari lebih kurang seribu perusahaan kelapa sawit di Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat. Konflik tersebut menyebar di 23 provinsi sebanyak 591 kasus. Kasus sengketa lahan masyarakat dengan perkebunan skala besar mendominasi konflik agraria di Indonesia, termasuk sengketa lahan masyarakat adat dengan perkebunan besar.

Mengapa pertanian kapitalis tidak bisa harmonis dengan pertanian rakyat? Apa kah perbedaannya, dan bagaimana menjembatani perbedaan tersebut? Perbedaan ini sejalan dengan pertentangan antara “ekonomi kapitalis” dengan “ekonomi kerakyatan”. Rasanya perbedaannya terlalu jauh, sehingga sulit jalan seiring.

Perbedaan karakter pertanian dengan basis ekonomi kapitalis dengan ekonomi kerakyatan


Ekonomi kapitalis (neo klasik)
Ekonomi kerakyatan

Manusia adalah

Homo ekonomikus (makhluk ekonomi)

Homo moralis atau homo socius, tidak semata hewan ekonomi
Ilmu yang digunakan
Ilmu yang super spesialistik dan matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang
Masih kental sebagai ilmu sosial, dimana manusia adalah objek perhatiannya
Metode berfikirnya
Deduktif, diturunkan dari teori industri, mengandalkan asumsi-asumsi yang tidak pernah diperbaharui
Induktif, dan  analisis ex-post, yaitu mempelajari setelah sebuah peristiwa terjadi.
Pelaku yang terlibat
Pemodal besar, pekerja adalah buruh sebagai tenaga upahan yang dapat diganti dan dipertukarkan kapan saja
Pelakunya adalah masyarakat banyak (bukan sebagai tenaga kerja), menggunakan sumber daya ekonomi setempat, dan nilai tambahnya pun kembali kepada masyarakat setempat
Kandungannya
Keuntungan, efisiensi, eksploitasi manusia
Memilki kandungan kemandirian, kemerataan, dan keswadayaan di dalamnya.
Pencetus
Pendiri ekonomi neo klasik dan ekonomi industri.
Bung Hatta dan Mubyarto
Penerapannya
Berlaku general, untuk segala bidang aktivitas manusia
Spesifik, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat

Ilmuwan ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius”.  Ini terjadi karena ilmu ekonomi diajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik dan matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang.

Paul Ormerod dalam bukunya The Death of Economics menyatakan “tidak ada sebuah model ekonomi yang bisa dipakai dimana saja”. Para forecaster telah beralih ke pendekatan judgmental adjustmenst (perkiraan pribadi) dari model-model ekonomi makro lama. Lebih jauh ia menyarankan: “Ekonomi pelu menggunakan analisis ex-post, yaitu mempelajari setelah sebuah peristiwa tejadi. Yaitu seperti paleontologi (ilmu tentang fosil), astronomi dan klimatologi; yang teorinya dibangun dari data-data yang dikumpulkan secara nyata bertahun-tahun”.

Konsep “ekonomi kerakyatan dilahirkan oleh ekonom Indonesia asli. Mereka menyebut dengan “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi rakyat”, ataupun “ekonomi Pancasila”. Istilah “ekonomi rakyat” pertama dirintis oleh Bung Hatta, untuk menunjuk kepada sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang sering kali disebut sebagai sektor informal. Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) (dalam Mubyarto, 2004) menulis artikel berjudul “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut: “Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan” (Soekarno. 1930. “Indonesia Menggugat”. 1930. Hal. 31).

Secara umum, ekonomi rakyat adalah suatu bentuk ekonomi yang pelakunya adalah masyarakat banyak yang dicirikan dengan pemilikan sumber daya dan keterampilan yang rendah, namun harus dimanajemen secara efisien, menguntungkan, dan berdaya saing. Cirinya adalah masyarakat banyak sebagai pelakunya, bukan sebagai tenaga kerja, tapi sebagai pemilik. Karakteristik yang lain adalah harus menggunakan sumber daya ekonomi setempat, dan nilai tambahnya pun kembali kepada masyarakat setempat tersebut. Jadi, disini terlihat ada kandungan kemandirian, kemerataan, dan keswadayaan di dalamnya.

Ekonomi Rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy”, atau “ekstralegal sector”.

Mubyarto menggunakan istilah “ekonomi rakyat” karena dirasa lebih jelas dan tak akan membingungkan. Pada prinsipnya, ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi rakyat, adalah sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Sebagian menyebut dengan Sistem Ekonomi Pancasila, dimana pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat. *******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar