Meski banyak telinga ga senang mendengarnya, namun
“pertanian kapitalis” sesungguhnya sudah eksis di tengah-tenngah kita. Bahkan sejak era kolonial pun
sudah, sebagai mana Boeke sudah melaporkannya. Perkebunan sawit di berbagai
wilayah saat ini adalah contoh pertanian kapitalis yang semakin kuat menekan
dan menyingkirkan hutan dan rakyat. Konflik petani kecil dengan perkebunan
sudah bukan berita lagi.
Pada acara Workshop “Resolusi Konflik Dan Expo CSR
Di Perkebunan dan Kehutanan” di Yogyakarta tanggal 20 November 2013, Menteri Pertanian
melaporkan bahwa 59
persen dari lebih kurang seribu perusahaan kelapa sawit di Indonesia terlibat
konflik dengan masyarakat. Konflik tersebut menyebar di 23 provinsi sebanyak
591 kasus. Kasus sengketa lahan masyarakat dengan perkebunan skala besar
mendominasi konflik agraria di Indonesia, termasuk sengketa lahan masyarakat
adat dengan perkebunan besar.
Mengapa pertanian
kapitalis tidak bisa harmonis dengan pertanian rakyat? Apa kah perbedaannya,
dan bagaimana menjembatani perbedaan tersebut? Perbedaan
ini sejalan dengan pertentangan antara “ekonomi kapitalis” dengan “ekonomi
kerakyatan”. Rasanya perbedaannya terlalu jauh, sehingga sulit jalan seiring.
Perbedaan karakter pertanian dengan basis ekonomi
kapitalis dengan ekonomi kerakyatan
|
Ekonomi
kapitalis (neo klasik)
|
Ekonomi
kerakyatan
|
Manusia adalah
|
Homo ekonomikus (makhluk ekonomi)
|
Homo moralis
atau homo socius, tidak semata hewan ekonomi
|
Ilmu yang digunakan
|
Ilmu
yang super spesialistik dan matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial
menjadi hilang
|
Masih
kental sebagai ilmu sosial, dimana manusia
adalah objek perhatiannya
|
Metode berfikirnya
|
Deduktif, diturunkan dari teori
industri, mengandalkan asumsi-asumsi yang tidak pernah diperbaharui
|
Induktif, dan analisis
ex-post, yaitu mempelajari setelah
sebuah peristiwa terjadi.
|
Pelaku yang terlibat
|
Pemodal
besar, pekerja adalah buruh sebagai tenaga upahan yang dapat diganti dan
dipertukarkan kapan saja
|
Pelakunya
adalah masyarakat banyak (bukan sebagai tenaga kerja), menggunakan sumber
daya ekonomi setempat, dan nilai tambahnya pun kembali kepada masyarakat
setempat
|
Kandungannya
|
Keuntungan,
efisiensi, eksploitasi manusia
|
Memilki
kandungan kemandirian, kemerataan, dan keswadayaan di dalamnya.
|
Pencetus
|
Pendiri
ekonomi neo klasik dan
ekonomi industri.
|
Bung Hatta dan Mubyarto
|
Penerapannya
|
Berlaku
general, untuk segala bidang aktivitas
manusia
|
Spesifik, sesuai dengan kondisi
sosial masyarakat
|
Ilmuwan
ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo
ekonomikus”, bukan sebagai ”homo
moralis” atau ”homo socius”. Ini terjadi karena ilmu ekonomi diajarkan
sebagai ilmu yang super spesialistik dan matematik, sehingga sifatnya sebagai
ilmu sosial menjadi hilang.
Paul
Ormerod dalam bukunya The Death of Economics menyatakan “tidak ada sebuah model
ekonomi yang bisa dipakai dimana saja”. Para forecaster telah beralih ke
pendekatan judgmental adjustmenst
(perkiraan pribadi) dari model-model ekonomi makro lama. Lebih jauh ia
menyarankan: “Ekonomi pelu menggunakan
analisis ex-post, yaitu mempelajari setelah sebuah peristiwa tejadi. Yaitu
seperti paleontologi (ilmu tentang fosil), astronomi dan klimatologi; yang
teorinya dibangun dari data-data yang dikumpulkan secara nyata bertahun-tahun”.
Konsep
“ekonomi kerakyatan dilahirkan oleh ekonom Indonesia asli. Mereka menyebut dengan
“ekonomi kerakyatan”, “ekonomi rakyat”, ataupun “ekonomi Pancasila”. Istilah
“ekonomi rakyat” pertama dirintis oleh Bung Hatta, untuk menunjuk kepada sektor
kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang sering kali disebut sebagai
sektor informal. Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) (dalam Mubyarto, 2004) menulis
artikel berjudul “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”, sedangkan Bung Karno 3 tahun
sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib
ekonomi rakyat sebagai berikut: “Ekonomi
Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan”
(Soekarno. 1930. “Indonesia Menggugat”. 1930. Hal. 31).
Secara
umum, ekonomi rakyat adalah suatu bentuk ekonomi yang pelakunya adalah
masyarakat banyak yang dicirikan dengan pemilikan sumber daya dan keterampilan
yang rendah, namun harus dimanajemen secara efisien, menguntungkan, dan berdaya
saing. Cirinya adalah masyarakat banyak sebagai pelakunya, bukan sebagai tenaga
kerja, tapi sebagai pemilik. Karakteristik yang lain adalah harus menggunakan
sumber daya ekonomi setempat, dan nilai tambahnya pun kembali kepada masyarakat
setempat tersebut. Jadi, disini terlihat ada kandungan kemandirian, kemerataan,
dan keswadayaan di dalamnya.
Ekonomi
Rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang
kecil (wong cilik), yang karena
merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak
secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam
perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor
informal, “underground economy”, atau “ekstralegal sector”.
Mubyarto menggunakan istilah “ekonomi rakyat” karena dirasa lebih
jelas dan tak akan membingungkan. Pada prinsipnya, ekonomi kerakyatan ataupun
ekonomi rakyat, adalah sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Sebagian menyebut dengan Sistem Ekonomi
Pancasila, dimana pemerintah dan masyarakat memihak pada
(kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam
kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis
yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati
oleh semua warga masyarakat. *******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar