Selama ini, untuk kepentingan memahami
dan menganalisis dengan tajam fenomena di masyarakat, maka kita membedakan
antara lembaga, organisasi, dan pasar. Kita mengembangkan berbagai pengetahuan
tentang ketiganya, karakternya, sifat serta pola-pola di dalamnya. Padahal, di
tengah masyarakat misalnya, sebutlah petani, tidak repot-repot membedakannya.
Bagi mereka, mau dalam organisasi atau bukan, yang penting mau jual sayurnya
bisa dengan mudah, harga bagus, dan dibayar tunai.
Mau sistem dan mekanismenya lembaga,
organisasi, ataupun pasar; petani mencampurkan saja semuanya. Maka itulah, ada
petani bersedia saja disuruh masuk koperasi, dan tidak mengeluh pula jika kemudian koperasi tersebut tidak bisa
membantunya apa-apa.
Sebenarnya, jika difikir-fikir lagi,
antara ketiga ini tidak bisa kita hakimi yang ini lebih baik yang itu lebih
jelek. Pasar pun tidak bisa dipandang selalu jelek. Ketika organisasi manapun
tidak ada yang eksis, maka pasar adalah pilihan yang rasional. Bahkan, pasar
pun secara sosiologi bisa dipandang sebagai sebuah pengorganisasian. Ketiga
objek ini pada hakekatnya adalah upaya untuk mengorganisasikan hidup. Ketiganya punya
ciri tersendiri yang sesuai digunakan untuk kondisinya masing-masing.
Petani selalu mengorganisasikan
dirinya dengan aktif dan rasional. Pengorganisasian diri petani
pada hakekatnya adalah suatu jejaring yang berisi sejumlah
”relasi sosial” yang saling terhubung di sekitar diri seorang
petani. Jejaring seorang petani mungkin sama polanya dengan
petani lain, namun orang-orang yang berada dalam jejaringnya dapat sebagian
sama dan sebagian berbeda,
atau berbeda sama sekali. Dalam setiap relasi sosial terkandung materi, dimana setiap
relasi merupakan satu yang
berpola, dijaga, diulang, dan dimantapkan oleh petani dalam kesehariannya.
Pola ini
sama-sama berlaku sebenarnya baik dalam organisasi maupun di luar organisasi,
yakni pada sistem pasar. Pada seorang petani yang masuk ke dalam organisasi
formal sekalipun, ia tidak hanya berhubungan dengan sesama anggota dan pengurus
dalam organisasi tersebut. Ia juga tetap menjalin relasi dengan orang-orang
lain. Tidak ada petani di Indonesia yang seluruh hidupnya dijalankan dan
digantungkan hanya pada organisasi formal. Yang terjadi justeru sebaliknya, meskipun
seorang petani telah masuk dalam organisasi formal, namun hampir seluruh
aktivitas agribisnisnya dijalankan dari relasi dengan orang-orang di luar
organisasi. Artinya, ia tetap mengandalkan pada individual action, bukan pada collective
action.
Meskipun
secara administratif sudah jutaan petani masuk ke dalam organisasi, namun
sesungguhnya organisasi tadi tidak aktif (Bourgeois et al., 2003). Hampir
semua urusan pertanian mulai dari memperoleh sarana usaha sampai dengan
pemasaran, lebih sebagai tindakan-tindakan individual saja. Meskipun
menjadi anggota, mereka tidak mengandalkan organisasi, karena tahu tidak banyak
yang bisa diharapkan dari kemampuan organisasi selama ini.
Perbedaan karakter relasi dalam
lembaga, organisasi dan pasar
|
Lembaga
|
Organisasi
|
Pasar
|
Keterlibatan aktor
|
Bebas, namun berpola
|
Tertentu, terbatas anggota saja
|
Bebas, asalkan menyediakan barang dan jasa yang
dibutuhkan pasar
|
Struktur
|
Cair, longgar, berpola, terbentuk karena proses,
bercampur, multi-struktur
|
Ditetapkan, disepakati, ditulis dalam aturan
organisasi
|
Cair, sesuai kepentingan, terbentuk karena fungsinya
yaitu mengantarkan barang dari produsen ke konsumen
|
Norma yang berlaku
|
Kepentingan, termasuk norma sosial. Jika melanggar
ada sanksi sosial.
|
Ditulis dalam aturan-aturan, bersifat mengikat. Yang
melanggar aturan dikeluarkan.
|
Keuntungan, kepentingan. Yang penting untung. Yang
dapat untung dipandang pintar dan bisa terus bertahan di pasar.
|
Tujuan
|
Lebih lebar, mencakup ekonomi, sosial, religi, dan lain-lain.
|
Tidak terlalu banyak, ditulis, ditetapkan, spesifik.
|
Mendapatkan keuntungan, saling menguntungkan. Semua
pelaku mesti dapat keuntungan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar