Jika direnung-renung timbul pertanyaan: bagaimana sosok petani
dalam kepala para pemikir dan orang-orang yang duduk di pemerintahan saat ini? Apakah mereka
membayangkan petani-petani makmur, berbadan sehat, bersih, seperti yang ada di
Barat sana? Ataukah kurus, item, berkulit kasar, berbaju lusuh, betopi bolong,
celana tambalan?
Apakah petani yang kita bayangkan ke
depan adalah para petani besar dengan lahan luas, modern, penuh input modern?
Lalu, bagaimana dengan petani kurus, kumuh, dan kampungan? Mau kita singkirkan
saja. Ataukah, kita perkuat
petani-petani kecil ini menjadi petani baru dengan sosok makmur? Tapi,
bagaimana jika lahan yang digarap tetap saja sempit dan terbatas?
Tampaknya banyak yang tidak membedakan lagi antara mereka yang punya sawah banyak tetapi tidak pernah turun
menggarap lahan, dengan mereka yang punya sawah kecil tetapi sepenuhnya
menggantungkan hidup pada hasil sawah? Mereka tidak punya sawah tetapi setiap hari bekerja di sawah. Pagi di sawah, makan siang di sawah, mencuci
tangan di air sawah, sholat di pondok sawah, membersihkan kaki dan baju di kali
kecil di sawah, dan pulang melalui pematang sawah.
Untuk konteks Indonesia, yang relevan bukan mempertentangkan
antara “petani kecil” dengan “petani besar”, namun dengan “petani”. Mengapa? Karena
dalam alam sadar dan ketidaksadarannya penguasa Indonesia, tidak ada apa itu
yang disebut dengan “petani kecil”. Bagi mereka, sebagaimana terbaca dalam
puluhan regulasi pemerintah mulai dari undang-undang sampai peraturan menteri,
yang ada adalah “petani” saja. Dengan menyebut kata petani, mereka mengira
telah memasukkan “petani kecil”. Padahal itu jauh panggang dari api.
Yang hendak saya tegaskan disini
adalah: “petani kecil” bukanlah “petani” sebagai mana dipahami kebanyakan orang.
Petani kecil adalah petani dengan karakter yang khas, tidak sama; dan karena itu harus diperlakukan berbeda
pula.
Dulu petani dengan luas lahan di bawah
1000 m2 dianggap bukan petani. Ini terjadi pada pelaksanaan Sensus Pertanian
tahun 1963. Batasan ini
sesuatu yang serius,
karena dengan
tidak menggolongkan mereka sebagai petani, maka apapun bantuan pemerintah
kepada petani tidak akan menyentuh mereka. Kenapa? Ya, mereka bukan petani
menurut pemerintah. Ini yang terjadi sekarang, dimana bantuan pemerintah
tidak pernah menyentuh petani berlahan sangat kecil dan buruh tani, karena
mereka tidak masuk dalam kelompok tani. Bantuan pemerintah hanya boleh untuk
petani dalam organisasi, padahal mereka bukan anggota organisasi manapun. Dengan demikian,
maka kita perlu meredefinisikan
secara jelas. Definisi ini akan menjadi basis bagaimana memperlakukan dan
memposisikan petani dalam konteks kebijakan, politik, ekonomi, kultural, dan
seterusnya ke depan.
Konsep
“Small Farmer” sudah berkembang lama
sebagai sebuah wacana yang mendalam pada kalangan ilmuwan, sebagaimana juga
konsep “petani”. Kalangan antropolog berbeda dengan para ekonom
developmentalis. Antropolog begitu menghargai sifat dasar dan kekhasan petani,
dan kerja bertani sebagai pembentuk karakter dasar hidup mereka. Sisi
kemanusiaannya begitu diagungkan. Sebaliknya,
bagi kalangan perencana ekonomi nasional, petani hanyalah “sumber daya”, yakni
“sumber daya manusia”. Ia sejajar belaka dengan tanah, modal, dan teknologi. Ia
adalah faktor produksi. Petani bersama benih, pupuk, dan pestisida adalah
komponen sehingga padi bisa dipanen. Pembedaan
petani besar dan petani kecil lebih merujuk kepada luas lahan yang
dikuasai. Karena lahan merupakan faktor
pokok, maka ciri lain pun mengikutinya ke arah dua kutub yang semakin menjauh.
Perbandingan ciri petani besar dengan petani kecil
Petani
besar
|
Petani
kecil
|
Petani kaya, petani modern, pengusaha petani,
petani berdasi, petani korporasi (entrepreneurial and large-scale corporate), atau capitalist modes of agriculture
|
Petani
gurem, penyakap, buruh tani, small
farmer, peasant farming, family
farming, growers, sharecroppers, sharefarmers, smallholder, dan tenant farmer
|
Usahatani berbentuk monokultur (monocropping), sehingga biodiversitas rendah.
|
Menerapkan
intercroppingi dan alleycropping karena lahannya sempit, sehingga biodiversitas
tinggi.
|
Skala besar ekstensif dan bertipe industrial
|
Skala
intensif, bertipe pertanian organik ramah lingkungan karena tidak sanggup
beli pupuk kimia bikinan pabrik
|
Indeks pertanaman rendah
|
Indeks
pertanaman tinggi, bisa 500 persen setahun
|
Orientasi mutlak pada agribisnis.
Bertani adalah sebuah bisnis.
|
Orientasi
campuran, antara agribisnis terbatas dan ketahanan pangan rumah tangga.
Bertani adalah jalan hidup, panggilan hidup, suatu bentuk amalan terhadap
alam dan Tuhan (way of life).
|
Semua input dibeli dan menggunakan tenaga kerja upahan yang dibayar cash
misalnya secara bulanan.
|
Menggunakan
sumber daya sendiri (self-controlled resource base),
mengandalkan tenaga keluarga, sebagian mengupah buruh
(ada yang dibayar dengan natura).
|
Sangat bergantung kepada pihak lain, pemasok
benih, pupuk, TK dan pasar.
|
Lebih
mandiri, menggunakan sumberdaya sendiri dan mengkonsumsi sendiri. Pasar tidak
menjadi andalan.
|
Mandiri, bisa meminjam uang ke bank komersial
sendiri
|
Belum bankable. Jika meminjam
ke bank harus bergabung dalam satu kelompok, sehingga skala peminjamannya
cukup besar dan ada penjamin.
|
Sudah mampu langsung menjadi aktor dalam sistem
pasar. Meminjam uang dari bank dengan bunga pasar, membeli input denga harga
pasar, dan seterusnya.
|
Masih membutuhkan bantuan yang merupakan mekanisme nonpasar.
|
Agribisnis sesuai untuk mereka. Segala
kalkulasi bisnis modern dapat diterapkan pada
usaha mereka.
|
Agribisnis tidak selalu sesuai, bahkan dalam beberapa hal merugikan. Memproduksi komoditas pasar bisa mengancam ketahanan
pangan rumah tangga jika ada masalah di pasar.
|
Menurut International Assessment
of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development (IAASTD, 2008), pertanian skala
besar berupa model pertanian
ekspor-industrial-monokultur tidak dapat mengatasi kemiskinan dan kelaparan.
|
Laporan Tahunan PBB menyebutkan
bahwa “Small
farmer feed the world”. Mampu mengentaskan kemiskinan, setidak untuk dirinya sendiri. Menjadi harapan di masa mendatang.
|
Seragam, kaku dan cenderung
tidak ramah lingkungan.
|
Pertanian
skala kecil terdiversifikasi, mudah beradaptasi,
pejal, keberlanjutan tinggi, menghargai kearifan lokal dan keragaman hayati, serta ramah
terhadap perubahan iklim (Altieri, 2008). Bersifat “coproduction” (interaksi
alamiah antara manusia dan alam).
|
Menghasilkan pola usaha dan
ekonomi yang seragam, juga kultur yang sama dan seragam.
|
Menghasilkan keragaman yang besar dalam hal kepemilikan, sistem pertanaman, lanskap, biologis (biodiversitas),
serta kultural.
|
Kita di Indonesia, meskipun ga terus terang, inginnya semua petani gurem,
lemah dan kecil tersebut dihilangkan. Caranya? Sebagian didorong bekerja di
sektor lain, dan sebagian ditingkatkan sehingga bisa menjadi petani besar.
Namun ini tidak mudah. Di kalangan ilmuwan, bahkan banyak yang merasa bahwa
petani kecil tidak harus dihilangkan.
Menurut Van der Ploeg (2009), petani kecil (peasants) masih
tetap eksis sampai sekarang. Dan ia berkeyakinan bahwa petani kecil akan tetap
eksis.
Ia menulis paper: “The New Peasantries is Straightforward”.
Petani kecil sebenarnya sedang naik daun saat ini.
PBB pun mengakuinya dengan tegas dalam laporan
tahunannnya “Small Farmer Feed The World”. Penelitian Chappell dan Lavalle (Food
Security And Biodiversity: Can We Have Both? An Agroecological Analysis)
menemukan bahwa pertanian skala kecil dengan teknik-teknik pertanian
alternatif, 2-4 kali lebih efisien
daripada pertanian konvensional besar.
Pertanian skala kecil menghasilkan tingkat output yang lebih tinggi per
satuan luas dari pertanian yang lebih besar. Dalam “Agenda 21” (dokumen pembangunan berkelanjutan hasil KTT Bumi
di Rio tahun 1992)
disebutkan bahwa petani kecil, subsisten,
dan mengandalkan tenaga kerja keluarga merupakan basis untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan.
Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa pertanian skala kecil, terutama menggunakan metode
"organik", jauh lebih baik dalam hal dampak lingkungan dan
keanekaragaman hayati. Yang paling menarik dari penelitian Chappell dan Lavalle, bahwa
pertanian dengan skala kecil hampir selalu menghasilkan tingkat output yang
lebih tinggi per satuan luas dari pertanian yang lebih besar. Salah satu dari
penelitian mereka menyimpulkan bahwa “metode alternatif bisa menghasilkan cukup makanan secara
global untuk mempertahankan populasi manusia saat ini, dan berpotensi bagi
populasi lebih besar, tanpa meningkatkan basis lahan pertanian." Peneliti ini menyimpulkan bahwa pertanian skala kecil dapat menjadi solusi
terbaik untuk keamanan
makanan dan isu-isu keanekaragaman hayati.
Sebaliknya, menurut David Suzuki (“Pertanian Skala Kecil Lebih Baik untuk
Keamanan Pangan”. http://www.straight.com/....),
pertanian berskala besar menggunakan sejumlah besar
bahan bakar fosil untuk mesin, deforestasi dan pembajakan yang melepaskan
berton-ton karbondioksida ke atmosfer, memerlukan lebih banyak bahan kimia,
menurunkan keanekaragaman hayati global, menggunakan banyak air sehingga
berkontribusi pada erosi dan degradasi tanah. Ya, agribisnis hanya cocok untuk petani besar, namun tidak untuk semua petani (Mubyarto dan Santosa,
2003).
Industri
pertanian monokultur
dengan skala besar cenderung menggunakan bahan bakar fosil, input kimia dan juga air lebih banyak.
Pertanian
kecil lebih produktif,
melestarikan keanekaragaman hayati, dan menyelamatkan dari kehancuran ekologi. Ahli kebijakan pangan Peter Rosset menulis: “...we indeed find that small farms almost
always produce far more agricultural output per unit area than larger farms”. Satu studi pemerintah AS di bawah topik "Inverse
Relationship" tahun 1992 oleh US Agricultural Census, mendapatkan bahwa
petanian kecil mampu 2 sampai 10 kali lebih produktif dibandingkan pertanian
monokultur berskala besar. Pertanian dengan luasan 27 are atau kurang, sepuluh
kali lebih produktif dibandingkan pertanian dengan skala 6.000 are atau lebih. Bahkan pertanian dengan luas 4 are atau kurang dapat
seratus kali lebih produktif.
Lebih jauh,
pertanian monokultur berskala besar menghancurkan integritas genetik (genetic integrity) dari tanaman, dan
membuatnya semakin peka terhadap penyakit dan hama. Saat ini, sebagian besar
keragaman genetis pangan kita telah rusak. Kemiskinan genetis ini akan
membahayakan pangan di masa depan. Serangan hama yang lebih tinggi menuntut
pestisida lebih banyak, yang akhirnya menyebabkan kerusakan tubuh dan
lingkungan. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar