Minggu, 15 Januari 2017

Petani Besar vs Petani Kecil



Jika direnung-renung  timbul pertanyaan: bagaimana sosok petani dalam kepala para pemikir dan orang-orang yang duduk di pemerintahan saat ini? Apakah mereka membayangkan petani-petani makmur, berbadan sehat, bersih, seperti yang ada di Barat sana? Ataukah kurus, item, berkulit kasar, berbaju lusuh, betopi bolong, celana tambalan?
Apakah petani yang kita bayangkan ke depan adalah para petani besar dengan lahan luas, modern, penuh input modern? Lalu, bagaimana dengan petani kurus, kumuh, dan kampungan? Mau kita singkirkan saja. Ataukah,  kita perkuat petani-petani kecil ini menjadi petani baru dengan sosok makmur? Tapi, bagaimana jika lahan yang digarap tetap saja sempit dan terbatas?

Tampaknya banyak yang tidak membedakan lagi antara mereka yang punya sawah banyak tetapi tidak pernah turun menggarap lahan, dengan mereka yang punya sawah kecil tetapi sepenuhnya menggantungkan hidup pada hasil sawah? Mereka tidak punya sawah tetapi setiap hari bekerja di sawah. Pagi di sawah, makan siang di sawah, mencuci tangan di air sawah, sholat di pondok sawah, membersihkan kaki dan baju di kali kecil di sawah, dan pulang melalui pematang sawah.

Untuk konteks Indonesia, yang relevan bukan mempertentangkan antara “petani kecil” dengan “petani besar”, namun dengan “petani”. Mengapa? Karena dalam alam sadar dan ketidaksadarannya penguasa Indonesia, tidak ada apa itu yang disebut dengan “petani kecil”. Bagi mereka, sebagaimana terbaca dalam puluhan regulasi pemerintah mulai dari undang-undang sampai peraturan menteri, yang ada adalah “petani” saja. Dengan menyebut kata petani, mereka mengira telah memasukkan “petani kecil”. Padahal itu jauh panggang dari api.

Yang hendak saya tegaskan disini adalah: “petani kecil” bukanlah “petani” sebagai mana dipahami kebanyakan orang. Petani kecil adalah petani dengan karakter yang khas, tidak sama;  dan karena itu harus diperlakukan berbeda pula.

Dulu petani dengan luas lahan di bawah 1000 m2 dianggap bukan petani. Ini terjadi pada pelaksanaan Sensus Pertanian tahun 1963. Batasan ini sesuatu yang serius, karena dengan tidak menggolongkan mereka sebagai petani, maka apapun bantuan pemerintah kepada petani tidak akan menyentuh mereka. Kenapa? Ya, mereka bukan petani menurut pemerintah. Ini yang terjadi sekarang, dimana bantuan pemerintah tidak pernah menyentuh petani berlahan sangat kecil dan buruh tani, karena mereka tidak masuk dalam kelompok tani. Bantuan pemerintah hanya boleh untuk petani dalam organisasi, padahal mereka bukan anggota organisasi manapun. Dengan demikian, maka kita perlu meredefinisikan secara jelas. Definisi ini akan menjadi basis bagaimana memperlakukan dan memposisikan petani dalam konteks kebijakan, politik, ekonomi, kultural, dan seterusnya ke depan.

Konsep “Small Farmer” sudah berkembang lama sebagai sebuah wacana yang mendalam pada kalangan ilmuwan, sebagaimana juga konsep “petani”. Kalangan antropolog berbeda dengan para ekonom developmentalis. Antropolog begitu menghargai sifat dasar dan kekhasan petani, dan kerja bertani sebagai pembentuk karakter dasar hidup mereka. Sisi kemanusiaannya begitu diagungkan. Sebaliknya, bagi kalangan perencana ekonomi nasional, petani hanyalah “sumber daya”, yakni “sumber daya manusia”. Ia sejajar belaka dengan tanah, modal, dan teknologi. Ia adalah faktor produksi. Petani bersama benih, pupuk, dan pestisida adalah komponen sehingga padi bisa dipanen. Pembedaan petani besar dan petani kecil lebih merujuk kepada luas lahan yang dikuasai.  Karena lahan merupakan faktor pokok, maka ciri lain pun mengikutinya ke arah dua kutub yang semakin menjauh.

Perbandingan ciri petani besar dengan petani kecil

Petani besar
Petani kecil

Petani kaya, petani modern, pengusaha petani, petani berdasi, petani korporasi (entrepreneurial and large-scale corporate), atau capitalist modes of agriculture

Petani gurem, penyakap, buruh tani, small farmer, peasant farming, family farming, growers, sharecroppers, sharefarmers, smallholder, dan tenant farmer
Usahatani berbentuk monokultur (monocropping), sehingga biodiversitas rendah.
Menerapkan intercroppingi dan alleycropping  karena lahannya sempit, sehingga biodiversitas tinggi.
Skala besar ekstensif dan bertipe industrial
Skala intensif, bertipe pertanian organik ramah lingkungan karena tidak sanggup beli pupuk kimia bikinan pabrik
Indeks pertanaman rendah
Indeks pertanaman tinggi, bisa 500 persen setahun
Orientasi mutlak pada agribisnis. Bertani adalah sebuah bisnis.
Orientasi campuran, antara agribisnis terbatas dan ketahanan pangan rumah tangga. Bertani adalah jalan hidup, panggilan hidup, suatu bentuk amalan terhadap alam dan Tuhan (way of life).
Semua input dibeli dan menggunakan tenaga kerja upahan yang dibayar cash misalnya secara bulanan.
Menggunakan sumber daya sendiri (self-controlled resource base), mengandalkan tenaga keluarga, sebagian mengupah buruh (ada yang dibayar dengan natura).
Sangat bergantung kepada pihak lain, pemasok benih, pupuk, TK dan pasar.
Lebih mandiri, menggunakan sumberdaya sendiri dan mengkonsumsi sendiri. Pasar tidak menjadi andalan.
Mandiri, bisa meminjam uang ke bank komersial sendiri
Belum bankable. Jika meminjam ke bank harus bergabung dalam satu kelompok, sehingga skala peminjamannya cukup besar dan ada penjamin.
Sudah mampu langsung menjadi aktor dalam sistem pasar. Meminjam uang dari bank dengan bunga pasar, membeli input denga harga pasar, dan seterusnya.
Masih membutuhkan bantuan yang merupakan mekanisme nonpasar.
Agribisnis sesuai untuk mereka. Segala kalkulasi bisnis modern dapat diterapkan pada  usaha mereka.
Agribisnis tidak selalu sesuai, bahkan dalam beberapa hal merugikan. Memproduksi komoditas pasar bisa mengancam ketahanan pangan rumah tangga jika ada masalah di pasar.
Menurut International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development (IAASTD, 2008), pertanian skala besar  berupa model pertanian ekspor-industrial-monokultur tidak dapat mengatasi kemiskinan dan kelaparan.
Laporan Tahunan PBB menyebutkan bahwa “Small farmer feed the world”. Mampu mengentaskan kemiskinan, setidak untuk dirinya sendiri. Menjadi harapan di masa mendatang.
Seragam, kaku dan cenderung tidak ramah lingkungan.
Pertanian skala kecil terdiversifikasi, mudah beradaptasi, pejal, keberlanjutan tinggi, menghargai kearifan lokal dan keragaman hayati, serta ramah terhadap perubahan iklim (Altieri, 2008). Bersifat “coproduction” (interaksi alamiah antara manusia dan alam).
Menghasilkan pola usaha dan ekonomi yang seragam, juga kultur yang sama dan seragam.
Menghasilkan keragaman yang besar dalam hal kepemilikan, sistem pertanaman, lanskap, biologis (biodiversitas), serta kultural.


Kita di Indonesia, meskipun ga terus terang, inginnya semua petani gurem, lemah dan kecil tersebut dihilangkan. Caranya? Sebagian didorong bekerja di sektor lain, dan sebagian ditingkatkan sehingga bisa menjadi petani besar. Namun ini tidak mudah. Di kalangan ilmuwan, bahkan banyak yang merasa bahwa petani kecil tidak harus dihilangkan.

Menurut Van der Ploeg (2009), petani kecil (peasants) masih tetap eksis sampai sekarang. Dan ia berkeyakinan bahwa petani kecil akan tetap eksis. Ia menulis paper: “The New Peasantries is Straightforward”. Petani kecil sebenarnya sedang naik daun saat ini. PBB pun mengakuinya dengan tegas dalam laporan tahunannnya “Small Farmer Feed The World”. Penelitian Chappell dan Lavalle (Food Security And Biodiversity: Can We Have Both? An Agroecological Analysis) menemukan bahwa pertanian skala kecil dengan teknik-teknik pertanian alternatif,  2-4 kali lebih efisien daripada pertanian konvensional besar.  Pertanian skala kecil menghasilkan tingkat output yang lebih tinggi per satuan luas dari pertanian yang lebih besar. Dalam “Agenda 21” (dokumen pembangunan berkelanjutan hasil KTT Bumi di Rio tahun 1992) disebutkan bahwa petani kecil, subsisten, dan mengandalkan tenaga kerja keluarga merupakan basis untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pertanian skala kecil, terutama menggunakan metode "organik", jauh lebih baik dalam hal dampak lingkungan dan keanekaragaman hayati. Yang paling menarik dari penelitian Chappell dan Lavalle, bahwa pertanian dengan skala kecil hampir selalu menghasilkan tingkat output yang lebih tinggi per satuan luas dari pertanian yang lebih besar. Salah satu dari penelitian mereka menyimpulkan bahwa metode alternatif bisa menghasilkan cukup makanan secara global untuk mempertahankan populasi manusia saat ini, dan berpotensi bagi populasi lebih besar, tanpa meningkatkan basis lahan pertanian." Peneliti ini menyimpulkan bahwa pertanian skala kecil dapat menjadi solusi terbaik untuk keamanan makanan dan isu-isu keanekaragaman hayati.

Sebaliknya, menurut David Suzuki (Pertanian Skala Kecil Lebih Baik untuk Keamanan Pangan”. http://www.straight.com/....), pertanian berskala besar menggunakan sejumlah besar bahan bakar fosil untuk mesin, deforestasi dan pembajakan yang melepaskan berton-ton karbondioksida ke atmosfer, memerlukan lebih banyak bahan kimia, menurunkan keanekaragaman hayati global, menggunakan banyak air sehingga berkontribusi pada erosi dan degradasi tanah. Ya, agribisnis hanya cocok untuk petani besar, namun tidak  untuk semua petani (Mubyarto dan Santosa, 2003).

Industri pertanian monokultur dengan skala besar cenderung menggunakan bahan bakar fosil, input kimia dan juga air lebih banyak. Pertanian kecil lebih produktif, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menyelamatkan dari kehancuran ekologi. Ahli kebijakan pangan Peter Rosset menulis:  “...we indeed find that small farms almost always produce far more agricultural output per unit area than larger farms. Satu studi pemerintah AS di bawah topik "Inverse Relationship" tahun 1992 oleh US Agricultural Census, mendapatkan bahwa petanian kecil mampu 2 sampai 10 kali lebih produktif dibandingkan pertanian monokultur berskala besar. Pertanian dengan luasan 27 are atau kurang, sepuluh kali lebih produktif dibandingkan pertanian dengan skala 6.000 are atau lebih. Bahkan pertanian dengan luas 4 are atau kurang dapat seratus kali lebih produktif.

Lebih jauh, pertanian monokultur berskala besar menghancurkan integritas genetik (genetic integrity) dari tanaman, dan membuatnya semakin peka terhadap penyakit dan hama. Saat ini, sebagian besar keragaman genetis pangan kita telah rusak. Kemiskinan genetis ini akan membahayakan pangan di masa depan. Serangan hama yang lebih tinggi menuntut pestisida lebih banyak, yang akhirnya menyebabkan kerusakan tubuh dan lingkungan. ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar