Ilmu kelembagaan (= institution + organization) sesungguhnya bertolak dari pertanyaan
dasar: mengapa manusia berperilaku begini atau begitu? Mengapa sekelompok orang
menata hidupnya demikian, namun kelompok lain tidak? Apa motif seseorang
bertindak? Apa alasan seorang atau sekelompok manusia sehingga mau dan senang
melakukan sesuatu?
Sebenarnya ini juga dasar pertanyaan ilmu
sosiologi, sehingga ada ahli yang mengatakan bahwa ilmu kelembagaan seluas ilmu
sosiologi itu sendiri. Namun ilmu lain, misalnya psiklogi dan antropologi juga
bertolak atas ketertarikan yang sama. Bahkan ahli binatang liar sekalipun juga
berupaya menjawab pertanyaan yang sama: kemana saja seekor rubah bergerak
sepanjang hari, dan apa saja yang dilakukannya? Mengapa si rubah demikian, apa
motifnya?
Dalam bukunya “Institution
and Organization”, Richard Scott (2008) menyebut ada 3 pilar dalam
kelembagaan yaitu pilar regulatif, normatif, dan kultural-kognitif. Ia
memisahkan lembaga yang terdiri atas 3 pilar itu dengan organisasi. Nah,
menurut saya, sebenarnya organisai pun bisa dianggap satu pilar pula, karena organisasi
didirikan dalam konteks sama yaitu sebagai upaya untuk mengendalikan perilaku manusia (Syahyuti, 2013). Norma dan
aturan disepakati juga untuk mengendalikan perilaku manusia. Jadi, saya berani
mengatakan bahwa kelembagaan terdiri atas empat pilar yaitu pilar regulatif,
normatif, dan kultural-kognitif, ditambah pilar organisasi.
Perbandingannya keempat pilar dalam kelembagaan
Pilar Regulatif
|
Pilar Normatif
|
Pilar Kultural-Kognitif
|
Pilar Organisasi
|
Disebut juga dengan regulative
institution atau
rational choice institutionalism
|
Genuine institutionalism, normatif
institution, atau historical
institutionalism
|
Social institution
|
Social organization
|
Objek yang diperhatikan adalah aturan (rule) yang ada, “keuntungan
apa” yg akan diperoleh aktor.
|
Norma-norma yang
hidup dan disepakati di tengah masyarakat
|
Pengetahuan kultural
yang dimiliki individu dan masyarakat
|
Organisasi, yaitu
tujuan organisasi, kepemimpinan,
anggota, komunikasi dalam organisasi, kapasitas organisasi, relasi
dengan luar, dll.
|
Perspektif ilmu yang digunakan adalah sosiologi ekonomi, khususnya perspektif rational
choice.
|
Sosiologi dan antropologi
|
Sosiologi pengetahuan
|
Sosiologi organisasi
|
Tokohnya Binswanger dan Rutran, Douglass North,
Lionel Robin, Brinton, Ostrom,
Vistor Nee, dan Portes.
|
Spencer, WG Sumner, Cooleys dan
Hughes, Parsons, Selznick, Soeryono Soekanto, Durkheim, Norman Uphoff, dan Fowler.
|
Meyer dan Rowan, Zucker, Berger
dan Luckmann, Powell and DiMaggio, Bourdieu, Thornton and Ocasio.
|
Max Weber, Henry Fayol, “Hawthorn Studies”, Parsons, Selznick, Harry M. Johnson, Berelson dan Steiner, Beals, DiMaggio, Friedland and Alford, Casey, Powell, Walter, dan Colyvas.
|
Intinya bahwa masyarakat dipenuhi oleh berbagai aturan, dan manusia berperilaku
dengan melihat pada aturan-aturan tersebut.
Manusia akan berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya, dengan
menggunakan atau berkelit dari aturan-aturan yang ada tadi.
|
Perilaku manusia, baik sebagai individu atau sebagai group ditentukan
oleh norma yang hidup di masyarakat bersangkutan. Manusia adalah aktor yang
tunduk patuh pada norma.
|
Manusia memaknai segala hal di seputarnya,
termasuk norma dan regulasi, namun ia tidak langsung patuh sepenuhnya. Ia
memaknai lagi norma
dan aturan yang ada, lalu memilih sikap
dan perilakunya sendiri.
|
Diyakini bahwa untuk mengefektifkan hidupnya, manusia
dengan sadar membentuk
organisasi, lalu berkomitmen
bersama-sama mencapai tujuan dengan mengikuti aturan yang disepakati.
Disini reward dan sanksi lebih
tegas.
|
Meyakini bahwa manusia
adalah makhluk yang rasional
|
Manusia adalah makhluk yang pasif.
|
Manusia adalah aktor yang aktif
|
Manusia adalah
makhluk yang perilakunya tergantung di
organisasi mana ia menjadi anggota.
|
Kalau kajian isomporphism pak?.. kesimpulannya biasanya jenis isomphis nya, itu termasuk analisi kelembagaan atau hanya organisasi. puyeng.
BalasHapusterima kasih.
Hapus