Kamis, 26 Januari 2017

Perdagangan Oleh Petani vs Pemerintah vs Tengkulak

Banyak sekali kalangan prihatin terhadap kemampuan Indonesia dalam pemasaran hasil-hasil produksi pertaniannya. Permasalahan pemasaran yang selalu diulang-ulang adalah rantai yang panjang, margin pemasaran yang terlalu besar, harga yang tidak berpihak pada petani, posisi tawar petani rendah, dan fluktuasi harga yang besar.

Posisi petani yang lemah diyakini akan terangkat jika petani punya fasilitas dan modal. Padahal ada masalah “social relation” antar pelaku yang sesungguhnya lebih esensial. Dengan fasilitas dan modal cukup, maka petani akan mampu menguasai pasar. Pemerintah paling senang dengan usulan ini. Maka segeralah petani dibantu dengan memberikan alat pengering, membangunkan los-los pasar, memberi kredit untuk berdagang, dan seterusnya.

Lalu disepakati sebuah mitos bahwa sebaiknya petani sendiri yang berdagang. Maka, berbagai cara telah dilakukan untuk memungkinkan petani terlibat langsung dalam perdagangan. Pemerintah menggelontorkan bantuan ke individual atau ke organisasi milik petani. Kelompok tani dan koperasi paling sering ketiban rezeki. Bantuan prasarana, modal, bahkan teknologi ke koperasi atau kelompok tani diharapkan akan meningkatkan kemandirian petani dan kelompoknya. Digulirkanlah program LUEP, pinjaman modal,  dan kemudahan sistem resi gudang.

Sikap ini diperkuat pula oleh mitos tentang tengkulak yang jahat. Banyak sekali perkataan-perkataan buruk yang dialamatkan kepada tengkulak selama ini. Tengkulak paling sering disebut telah memeras petani dan menghisap petani. Buruknya imej tentang tengkulak, terutama di kalangan ”kaum terdidik”, sebenarnya karena keliru memahami mereka. Sedikit banyak mungkin pula hasil dari jargon era PKI dulu bahwa tengkulak adalah satu dari ”tujuh setan desa”. Namun faktanya, sampai saat ini tengkulak tetap eksis. Bahkan ia lah satu-satunya orang yang tetap hadir di hadapan petani ketika situasi yang dihadapi petani sangat-sangat berat. Tengkulak masih tetap menjadi andalan utama bagi petani.

Apa dan kenapa tengkulak tetap bertahan? Pertama adalah pelayanannya. Tanpa harus mengangkut gabah, petani sudah menerima uang di sawah. Lebih hebatnya lagi, tengkulak bahkan sudah membeli padi sejak sebelum dipanen. Di berbagai wilayah pertanian pasti ada tengkulak. Sebagian petani melihat tengkulak bagaikan “dewa penolong” meskipun petani tahu harga jual ke tengkulak jauh di bawah harga pasar.

Setelah terbukti bahwa petani sulit untuk akses ke “dunia pedagang”, maka dilahirkan program “kemitraan”. Program ini pun kurang menggembirakan, karena rancang bangun kelembagaannya tidak mampu memadukan dua dunia tersebut, yaitu antara “dunia petani” yang cenderung sosial dan equity dengan “dunia pedagang” yang berprinsip bisnis dan akumulasi kapital (Evers, 1993).

Matrik perbandingan karakteristik perdagangan hasil-hasil pertanian oleh petani, pemerintah dan pedagang tradisional
Petani
Pemerintah
Tengkulak
Petani menjual langsung ke konsumen, sehingga rantai pemasaran pendek
Pemerintah membeli hasil petani, lalu memasarkan ke konsumen
Pedagang membeli hasil petani lalu menjual ke konsumen
Pelakunya petani, koperasi dan Gapoktan
Badan Usaha Milik Daerah
Pedagang pengumpul, pedagang kecamatan, pedagang besar, broker, pedagang antar pulau, pedagang di pasar induk, dll
Tujuannya adalah agar seluruh nilai tambah menjadi milik petani
Bertujuan membantu petani, dengan harga beli yang lebih tinggi, dan jaminan membeli saat panen raya
Belum dan tidak menjadi sasaran pembangunan selama ini, justeru dianggap sebagai pihak yang harus disingkirkan
Bentuknya adalah “Pasar Petani”. Masih tahap uji coba.
Pameran dan ekspo pembangunan dengan menjual hasil-hasil pertanian. Skalanya sangat terbatas.
Perdagangan tradisional, sebagaimana saat ini banyak berjalan. Sangat riel, luas, dan massal.
Program yang dijalankan berupa bantuan modal, bikin STA, dan sistem resi gudang
Pemerintah daerah diberi anggaran misalnya dari APBD (contoh di Kab. Bantul)
Sampai saat ini tidak ada skim kredit khusus untuk pedagang
Jika dijadikan program, maka yang dibutuhkan adalah pelatihan, pendampingan melalui farm business school (FBS), skim kredit, dll
Kemudahan pendirian BUMD, dukungan modal, alokasi anggaran daerah, alokasi staf Pemda, bantuan manajemen, dll
Yang dibutuhkan adalah penyediaan dan penyebaran informasi pasar (harga, kualitas, besar permintaan), dukungan permodalan melalui skim kredit khusus, pendampingan manajemen, dan bantuan hukum.

Setelah diurai seperti di atas, maka tersedia pilihan siapa yang semestinya menjadi pelaku perdagangan yang ideal. Tiap opsi ada plus minusnya. Namun, kuncinya bukan pada siapa pedagangnya, tapi bagaimana caranya menekan biaya perdagangan serendah mungkin. Bantu lah pelaku perdagangan menghadapi kerasnya dunia pasar, resiko kerusakan barang, resiko harga, hutang tidak dibayar (institutional failure), dan lain-lain. Meskipun petani yang berdagang, ketika menjalankan perdagangan ia mestilah “bersosok pedagang”. Ia harus juga cerdik, terampil mengkalkulasi, dan harus pula mencari margin sebesar-besarnya. Ia pun pedagang juga, yang harus pandai pula “tipu-tipu” sedikit.

Di samping hal di atas, saat ini tanpa sadar kita memitoskan bahwa pasar swalayan adalah mitra dagang yang ideal bagi petani. Perdagangan eceran modern dan pasar swalayan sedang marak di Indonesia, bertumbuh sebanyak 20 persen per tahun sejak dicabutnya pembatasan pada tahun 1998. Malahan, pasar swalayan menguasai 30 persen dari usaha ritel makanan. Namun, relasi dengan swalayan sebenarnya banyak merugikan petani. Pembayaran dari pasar swalayan pada umumnya ditunda hingga 40 hari, atau setelah mengirim barang beberapa kali. Akibatnya  pemasok, yaitu petani dan pedagang mengalami kesulitan arus kas. Di awal kerjasama bahkan pemasok harus membayar uang jaminan, dan juga ada yang harus “menyewa” rak yang ada di swalayan tadi. Inilah bentuk the power of money, yang kaya yang berkuasa. ******


Tidak ada komentar:

Posting Komentar