Banyak sekali kalangan prihatin terhadap kemampuan Indonesia dalam
pemasaran hasil-hasil produksi pertaniannya. Permasalahan pemasaran yang selalu
diulang-ulang adalah rantai yang panjang, margin pemasaran yang terlalu besar,
harga yang tidak berpihak pada petani, posisi tawar petani rendah, dan
fluktuasi harga yang besar.
Posisi petani yang lemah diyakini akan terangkat jika petani punya fasilitas dan modal. Padahal ada masalah “social relation” antar pelaku yang
sesungguhnya lebih esensial. Dengan fasilitas dan
modal cukup, maka petani akan mampu
menguasai pasar. Pemerintah paling senang dengan usulan ini. Maka segeralah petani dibantu dengan memberikan alat pengering,
membangunkan los-los pasar, memberi kredit untuk berdagang, dan seterusnya.
Lalu disepakati sebuah mitos bahwa sebaiknya petani sendiri yang berdagang. Maka, berbagai cara telah dilakukan
untuk memungkinkan petani terlibat langsung dalam perdagangan. Pemerintah
menggelontorkan bantuan ke individual atau
ke organisasi
milik petani. Kelompok tani dan koperasi paling sering ketiban
rezeki. Bantuan prasarana, modal, bahkan teknologi ke koperasi atau kelompok
tani diharapkan akan meningkatkan kemandirian petani dan kelompoknya. Digulirkanlah program LUEP,
pinjaman modal, dan kemudahan sistem resi gudang.
Sikap ini
diperkuat pula oleh mitos tentang
tengkulak yang jahat. Banyak sekali perkataan-perkataan buruk yang dialamatkan
kepada tengkulak
selama ini. Tengkulak paling sering disebut telah memeras petani dan menghisap petani. Buruknya imej tentang tengkulak, terutama di kalangan ”kaum terdidik”, sebenarnya karena keliru
memahami mereka. Sedikit banyak mungkin pula hasil dari jargon era PKI dulu
bahwa tengkulak adalah satu dari ”tujuh setan desa”. Namun faktanya, sampai
saat ini tengkulak tetap eksis. Bahkan ia lah satu-satunya orang yang tetap
hadir di hadapan
petani ketika situasi yang dihadapi petani sangat-sangat
berat. Tengkulak masih tetap menjadi andalan utama bagi petani.
Apa dan kenapa tengkulak tetap bertahan? Pertama adalah pelayanannya. Tanpa
harus mengangkut gabah, petani sudah menerima uang di sawah. Lebih hebatnya
lagi, tengkulak bahkan sudah membeli padi sejak sebelum dipanen. Di berbagai wilayah pertanian pasti ada tengkulak. Sebagian petani melihat tengkulak bagaikan “dewa
penolong” meskipun petani tahu harga jual ke tengkulak jauh di bawah harga
pasar.
Setelah terbukti bahwa petani sulit untuk akses ke “dunia
pedagang”, maka dilahirkan program “kemitraan”. Program ini pun kurang
menggembirakan, karena rancang bangun kelembagaannya tidak mampu memadukan dua
dunia tersebut, yaitu antara “dunia petani” yang cenderung sosial dan equity
dengan “dunia pedagang” yang berprinsip bisnis dan akumulasi kapital
(Evers, 1993).
Matrik
perbandingan karakteristik perdagangan hasil-hasil pertanian oleh petani,
pemerintah dan pedagang tradisional
Petani
|
Pemerintah
|
Tengkulak
|
Petani
menjual langsung ke konsumen, sehingga rantai pemasaran pendek
|
Pemerintah membeli hasil
petani, lalu memasarkan ke konsumen
|
Pedagang membeli hasil petani
lalu menjual ke konsumen
|
Pelakunya
petani, koperasi dan Gapoktan
|
Badan Usaha Milik Daerah
|
Pedagang pengumpul, pedagang
kecamatan, pedagang besar, broker,
pedagang antar pulau, pedagang di pasar induk, dll
|
Tujuannya
adalah agar seluruh nilai tambah menjadi milik petani
|
Bertujuan membantu petani,
dengan harga beli yang lebih tinggi, dan jaminan membeli saat panen raya
|
Belum dan tidak menjadi
sasaran pembangunan selama ini, justeru dianggap sebagai pihak yang harus
disingkirkan
|
Bentuknya
adalah “Pasar Petani”. Masih tahap uji coba.
|
Pameran dan ekspo pembangunan
dengan menjual hasil-hasil pertanian. Skalanya sangat terbatas.
|
Perdagangan tradisional,
sebagaimana saat ini banyak berjalan. Sangat riel, luas, dan massal.
|
Program
yang dijalankan berupa bantuan modal, bikin STA, dan sistem resi gudang
|
Pemerintah daerah diberi
anggaran misalnya dari APBD (contoh di Kab. Bantul)
|
Sampai saat ini tidak ada
skim kredit khusus untuk pedagang
|
Jika
dijadikan program, maka yang dibutuhkan adalah pelatihan, pendampingan
melalui farm business school (FBS),
skim kredit, dll
|
Kemudahan pendirian BUMD,
dukungan modal, alokasi anggaran daerah, alokasi staf Pemda, bantuan manajemen,
dll
|
Yang dibutuhkan
adalah penyediaan dan penyebaran informasi pasar
(harga, kualitas, besar permintaan), dukungan permodalan melalui skim kredit
khusus, pendampingan manajemen, dan bantuan hukum.
|
Setelah diurai seperti di atas, maka tersedia pilihan
siapa yang semestinya menjadi pelaku perdagangan yang ideal. Tiap opsi ada plus
minusnya. Namun, kuncinya bukan pada siapa
pedagangnya, tapi bagaimana caranya menekan
biaya perdagangan serendah mungkin. Bantu lah pelaku
perdagangan menghadapi kerasnya dunia pasar, resiko kerusakan barang, resiko
harga, hutang tidak dibayar (institutional
failure), dan lain-lain. Meskipun petani yang
berdagang, ketika menjalankan perdagangan ia mestilah “bersosok pedagang”. Ia
harus juga cerdik, terampil mengkalkulasi, dan harus pula mencari margin sebesar-besarnya. Ia pun pedagang juga,
yang harus pandai pula “tipu-tipu” sedikit.
Di samping hal di atas, saat ini tanpa sadar kita
memitoskan bahwa pasar swalayan adalah mitra dagang yang ideal bagi petani. Perdagangan eceran modern dan
pasar swalayan sedang marak di Indonesia, bertumbuh sebanyak 20 persen per
tahun sejak dicabutnya pembatasan pada tahun 1998. Malahan, pasar swalayan
menguasai 30 persen dari usaha ritel makanan. Namun,
relasi dengan swalayan sebenarnya banyak merugikan petani. Pembayaran dari pasar swalayan pada umumnya ditunda
hingga 40 hari, atau setelah mengirim barang beberapa kali. Akibatnya
pemasok, yaitu petani dan pedagang mengalami kesulitan arus kas. Di awal kerjasama bahkan pemasok harus membayar uang jaminan, dan juga ada
yang harus “menyewa” rak yang ada di swalayan tadi. Inilah bentuk the power of money,
yang
kaya yang berkuasa. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar