Selasa, 17 Juni 2014

Buku Baru @ 2014




Judul:
MAU INI APA ITU?
Komparasi Konsep, Teori, dan Pendekatan
dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: (125 versus 125)
© Syahyuti

Cetakan I, Mei 2014
Ukuran : 15 x 23 cm
Halaman : xxx+396
ISBN : 978-602-1379-04-2

Diterbitkan oleh :
Pt. Nagakusuma Media Kreatif
(Amplitudo Media Science)
Anggota IKAPI No.469/DKI/XI/2013
Menara Cawang Lantai Dasar Blok A No.1
Jl. SMA 14 Cawang Kramat Jati Jakarta Timur 13630
Telepon: +62-21-36501501
E-Mail: penerbit@nagamedia.co.id
Website: www.nagamedia.co.id


Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Syahyuti
MAU INI APA ITU?; Komparasi Konsep, Teori, dan Pendekatan dalam Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan: (125 versus 125)/Syahyuti.
—Jakarta: PT. Nagakusuma Media Kreatif, 2014.
426 hlm.; 23 cm
Bibliografi: hlm. 379.
ISBN : 978-602-1379-04-2
1. Sains I. Judul

Harga cukup Rp. 100.000 (+ ongkos kirim)
Pemesanan melalui email ke: syahyuti@gmail.com. Pembayaran boleh setelah buku sampai di tangan. Terima kasih.

******

Ekonomi Hijau vs Ekonomi Biru


Antara ekonomi hijau (EH) dan ekonomi biru (EB) lebih banyak kesamaannya dibandingkan perbedaan. Ekonomi biru (Blue Economy) adalah bagian integral dari ekonomi hijau. Hal itu diungkapnya dalam KTT Rio+20 di Brazil (http://www.dualcitizeninc.com/ggei2011.pdf). Keduanya bicara soal keberlanjutan, dan sangat peduli kepada lingkungan. Awalnya orang mengira eknomi biru adalah wujud ekonomi hijau di sektor kelautan dan perikanan. Namun, ternyata ada perbedaan mendasar meski keduanya bicara soal keberlanjutan. Pada EB, masalah lingkungan diatasi dengan mendesain pembangunan sebagaimana ekosistem bekerja. Jadi, bisa disebut bahwa pemikiran EB lebih melengkapi kekurangan  pada EH. EB lebih fokus kepada sumber daya perairan, penciptaan lapangan kerja, dan lebih peduli pula pada pengentasan kemiskinan.
Apa yang dipikirkan Gunter Pauli (yang menciptakan konsep EB), sebenarnya mirip dengan yang diungkapkan ahli pertanian Jepang, Fukuoka dalam bukunya Revolusi Sebatang Jerami. Contohnya, usaha perikanan mestinya tak hanya menghasilkan produk ikan, tetapi mampu menghasilkan produk turunan yang dapat diambil dari “limbah” produk awal. Artinya, EB menekankan pentingnya multiple cashflow.
UNEP mendefinisikan ekonomi hijau sebagai  “one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities.”  Definisi ini sejalan dengan tiga pilar pembangunan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan; sebagaimana dibicarakan dalam Earth Summits. Indeks Global Green Economy tahun 2011 mencakup 4 dimensi dan 12 sub-kategori, yang disusun dari 35 datasets. Dimensi dimaksud adalah kepemimpinan, kebijakan domestik, investasi bersih,  dan pariwista hijau. Dimensi kebijakan domestik mencakup target energi terbarukan, politik energi bersih, dan trend emisi. Kemitraan untuk Aksi Ekonomi Hijau (PAGE) merupakan langkah lanjut dokumen ”The Future We Want” keluaran dari KTT Bumi Rio+20, Juni 2012.

Perbedaan paradigmatik antara eknomi hijau dengan ekonomi biru

Ekonomi hijau
Ekonomi biru
 
Ide ini lahir pada pertemuan di Rio tahun 1992, lalu dilanjutkan di Johannesburg tahun 2002, dan terakhir pertemuan Rio +20 Juni 2012 di Rio.
 
Konsep Blue Economy diinisiasi pertama kali oleh Gunter Pauli sejak 30 tahun lalu, dan menjadi isu pokok dalam Expo Mei - Agustus 2012 di Yeosu (Korea Selatan) dengan tema “The Living Ocean and Coast”.
Dokumen pentingnya adalah “The Transition to a Green Economy: Benefits, Challenges and Risks from a Sustainable Development Perspective”.
Buku Gunter Pauli “The Blue Economy 10 Years - 100 Innovations - 100 Million Jobs”.
Ekonomi hijau lebih komprehensif
Bagian dari ekonomi hijau, tidak bertentangan
Perhatian utama pada ekosistem bumi dan pengentasan kemiskinan
Lebih holistik, produk turunan diambil dari ”limbah” produk sebelumnya. Setiap sisa dan emisi dari satu sistem adalah input untuk sistem yang lain.
Mendorong ekonomi ke arah investasi ramah lingkungan, karbon rendah, efisiensi sumber daya, kesejahteraan sosial, serta mendorong konsumsi dan produksi berkelanjutan.
EB menekankan produk ganda sehingga tidak bergantung pada satu produk (core business). Aliran ini menekankan pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak menempatkan alam sebagai obyek. Menerapkan prinsip bagaimana alam bekerja, atau populer dengan istilah kembali ke alam (back to nature). Aliran ini lebih konstruktivistik dan nonlinier sehingga kekhasan lokasi sangat diperhatikan.
Pada level paradigma, dipengaruhi aliran modernisasi ekologi. Mensinergikan ekonomi dan lingkungan dengan pendekatan positivistik. Menghasilkan produk yang mahal (ekolabel) sehingga tidak terjangkau kaum miskin, perdagangan karbon yang tidak adil untuk dunia ketiga, dan hanya menyentuh solusi permukaan saja. Bookchin (1991) menyebutnya sebagai shallow ecology.
Gunter Pauli berusaha mengoreksi praktik EH ini dan mengembangkannya menjadi Ekonomi Biru. Ia bermimpi menciptakan langit dan laut yang tetap biru dan mensejahterakan. Laut dan langit biru itulah simbol lingkungan yang bersih. Secara paradigmatik, Pauli terinsipirasi oleh aliran ekologi-dalam (deep ecology) sebagaimana diperkenalkan Arne Naess tahun 1970-an.
Ekonomi yang ramah pada dua hal, ekosistem bumi (earth’s ecosystems) dan pengentasan kemiskinan (poverty alleviation)
Berkaitan dengan aspek oceans and coasts dalam pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Lebih fokus kepada sumber daya perairan, laut dan pesisir.
Prinsipnya berupaya mengurangi karbon, efisiensi sumber daya alam, tenaga kerja efisien, dan perbaikan aspek-aspek sosial.
Ada 21 prinsip, di antaranya adalah mengelola SDA secara berkelanjutan, sistem produksi efisien dan bersih tanpa merusak lingkungan, belajar dari alam dan menggunakan proses-proses yang terjadi di alam, nirlimbah (zero waste), menekankan sistem siklikal dalam proses produksi, inklusi sosial (pemerataan sosial dan kesempatan kerja yang banyak untuk kaum miskin), inovasi dan adaptasi dengan prinsip hukum fisika dan sifat alam yang adaptif, dan efek ekonomi pengganda. (Pauli, 2010)
Indikatornya adalah  investasi yang tinggi untuk membersihkan lingkungan, rendah karbon, bersih, mengurangi sampah, dan menggunakan tenaga kerja terbatas.
Membantu para pengusaha, memberikan keuntungan kepada perusahaan bersamaan dengan lingkungan bersih, dan penggunaan tenaga kerja efisien. Indikator lingkungan menyatu dalam proses ekonomi.

Pemerintah kita langsung merespon IDE INI, sehinga Presiden SBY melontarkan bahwa pendekatan pembangunan Indonesia adalah pro-growth, pro-jobs, pro-poor, dan pro-green. Cirinya  dengan memasang target 7 persen pertumbuhan ekonomi nasional, juga target menurunkan 26 persen emisi rumah kaca pada tahun 2020. Kalimantan Timur misalnya telah menyatakan menerima konsep ekonomi hijau pada Desember 2009 dalam strategi “low-carbon growth strategy” (LCGS)  dalam kerangka konsep pertumbuhan hijau (green growth).
Sementara, ekonomi biru adalah “….relates to the aspect of the oceans and coasts in sustainable development and poverty eradication”. Dasarnya adalah fakta bahwa laut melingkupi 71 persen permukaan bumi, yang mengandung sumber daya yang sangat kaya berupa “repository of marine life, sea-based food, sea-embedded minerals, and coral reefs, the oceans’ equivalent to the tropical rainforests”. Saat ini, lebih dari 30 produk di pasaran merupakan turunan dari kekayaan laut yaitu pasta gigi, kosmetik, makanan  bayi, pupuk, dan obat-obatan. Gunter Pauli melihat bahwa banyak inovasi EH memiliki kelemahan dalam desainnya karena kurang mendekatan solusi-solusi yang lebih holistik. Akibatnya Produk Hijau menjadi lebih mahal di pasaran.
EH dan EB memiliki banyak kesamaan prinsip. Namun, tetap ada kekhawatiran bahwa keduanya dibajak lagi oleh perusahaan-perusahaan kapitalis besar. Jika sudah dikuasai mereka, semua prinsip akan buyar. Dikhawatirkan mereka akan tetap memberi gaji rendah kepada buruh-buruhnya, jumlah pekerja akan dikurangi, dan manfaat bagi konsumen dan masyarakat sekitar tidak bisa dijamin. Keuntungan bisnis yang dituhankan mereka akan menghilangkan sifat-sifat baik EH dan EB ini.
WWF bergabung dengan lebih dari 80 negara, kelompok masyarakat sipil, perusahaan swasta dan organisasi internasional menyatakan dukungan untuk Kemitraan Global baru untuk Oceans. Ini menandakan komitmen untuk bekerja sama untuk memulihkan lautan di dunia. Mereka melemparkan dukungan ini pada Deklarasi Kelautan Sehat dan Produktif untuk Membantu Mengurangi Kemiskinan pada konferensi Rio+20.
Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai tahun 2013 telah berupaya menerapkan paradigma ekonomi biru di beberapa titik di provinsi Indonesia Timur dan Barat sebagai langkah dalam percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan. KKP bekerja sama dengan Presiden Holdings Ekonomi Biru (KK Gunter Pauli). Bertolak atas konsep EB, digulirkan “Minawisata” sebagai satu terobosan kegiatan yang diinisiasi tahun 2012 yang mengkombinasikan kegiatan yang mendorong investasi di pulau-pulau kecil, khususnya untuk pariwisata dan upaya perlindungan ekosistem melalui kegiatan konservasi. Salah satu cara untuk menjaga agar masyarakat Indonesia mencintai laut adalah meningkatkan peran perairan sebagai sumber kesejahteran untuk lingkungannya. Makin penting perairan bagi masyarakat, makin rajin mereka memperhatikan dan mengurus perairannya.
Konsep EB merupakan tawaran untuk memberikan solusi yang lebih holistik untuk mengembangkan manajemen sumber daya secara efektif. EB adalah ekonomi yang merupakan bisnis model yang memberikan peluang untuk pengembangan investasi dan bisnis yang lebih menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan, namun langit dan laut tetap biru. EB dikembangkan untuk menjawab tantangan, bahwa sistem ekonomi dunia cenderung ekploitatif dan merusak lingkungan. Inti dari EB adalah Sustainable Development yang merupakan koreksi sekaligus perkayaan dari EH dengan semboyan “Blue Sky – Blue Ocean”. Ekonomi tumbuh, rakyat sejahtera, namun langit dan laut tetap Biru.
Cara kerja ekosistem dijadikan model EB, yaitu seperti air mengalir dari gunung membawa nutrien dan energi untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan seluruh komponon ekosistem. Hanya dengan gravitasi energi didistribusikan secara fisien dan merata tanpa ekstraksi energi eksternal.  Gunter Pauli telah membuktikannya dalam pengalamannya dalam menjalankan proyek dengan konsep ekonomi biru di berbagai belahan dunia, sebagai pendiri dan direktur Zero Emissions Research and Initiatives tahun 1994. *******

Peasant vs Farmer


Dalam literatur lama, dibahas dengan serius siapa “peasant” dan siapa “farmer”. Membandingkan petani kecil dengan petani besar, tidaklah kongruen dengan membandingkan antara peasant dengan farmer. Wilayah pembentukannya berbeda sehingga alam yang membentuknya berbeda pula. Pada yang pertama, kesadaran adanya “petani kecil” lahir setelah konsep “petani besar” dan pertanian modern ada. Dunia akademis yang telah “melahirkan” mereka, walau faktanya sejak dulu sudah eksis.  Sementara pada peasant vs farmer beda. Keberadaan peasant telah dikenali dan dipahami terlebih dahulu, baru kemudian farmer. Sementara kalangan ekonomi hanya membagi petani atas skalanya saja: petani besar dan petani kecil.

Ada perdebatan yang cukup dalam tentang bagaimana sesungguhnya antara peasant dan farmer. Cukup berat usaha yang telah dilakukan untuk membangun pengetahuan apa yang dimaksud dengan peasant tersebut. Menurut Wolf, seorang antroplog, peasant adalah suatu kelompok masyarakat dengan kegiatan utama bertani, sebagai bentuk transisi antara masyarakat primitif (tribe) ke masyarakat modern. Tampak bahwa ia menggunakan pendekatan evolutif dalam pengkategorian ini. Merujuk pada kalangan antropologi dan sosiologi, kita akan temukan ada banyak ragam arti “petani” yang pernah dikemukakan. Menurut Kurtz (2000), ada  empat dimensi pokok yang diacu dalam beragam kombinasi oleh pakar berbeda-beda dalam upaya mendefinisikan arti petani (sebagai “peasant”). Ada lima dimensi - dan lima kelompok ahli -  berbeda yang digunakan untuk melihat petani, yaitu: yang melihat petani sebagai pengolah tanah di pedesaan (“rural cultivators”) dengan berpegang pada “teori pilihan rasional”; dimensi yang melihat “komunitas petani”sebagai “lawan dari pola budaya “urban”; petani merupakan elemen pokok yang menghidupi komunitas desa meskipun mereka tersubordinasi oleh kekuasaan luar;  dari pengikut Marx yang melihat petani sebagai pihak yang menguasai dan memiliki tanah; serta para ahli yang mengacu pada keempat dimensi sekaligus mengikuti teladan Max Weber. Contoh ahli untuk tiap kategori secara berturut-turut adalah Samuel L. Popkin, Robert Redfield, James C. Scott, E. Wolf, dan Moore.

Peasant” dan “farmer”  memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda. Secara mudahnya, “peasant” adalah gambaran dari petani yang subsisten, sedangkan “farmer” adalah petani modern yang berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Upaya merubah petani dari karakter peasant menjadi farmer itulah hakekat dari pembangunan atau modernisasi.

Perbedaan ciri antara peasant dan farmer

Peasant
Farmer
 
Adalah petani kecil, para penyewa tanah (tenants),  penyakap (sharecroppers), serta buruh tani dan petani tuna kisma. Dalam kebijakan formal pemerintah mereka tidak “diurus”, bantuan pun mereka jarang dapat karena mereka tidak masuk kelompok tani.
 
Petani pemilik, pemilik tanah yang tidak harus bertani secara langsung. Mereka bertani dengan menggunakan logika bisnis.
Mereka mengelola pertanian subsisten
Mengelola pertanian komersial dengan orientasi bisnis
Tujuan bertani utamanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sisanya baru dijual. Mereka menanam padi yang rasa nasinya mereka senangi, meskipun di pasaran kurang laku.
Bertani untuk memenuhi kebutuhan pasar, sehingga apa yang ditanam dan bagaimana kualitas yang akan diproduksi sesuai dengan kemauan konsumen.
Terdapat di Asia dan Afrika, dan umumnya pada negara sedang berkembang yang reforma agrarianya tidak berjalan
Mereka ada di Eropa dan negara maju lainnya. Menguasai lahan yang luas-luas, menggunakan teknologi tinggi, dan mesin-mesin.
Mereka ingin dimajukan menjadi petani modern, karena dianggap aib bagi negara.
Petani jenis ini membanggakan negaranya

 

Literatur lain menyebut peasant sebagai farmhands, growers, sharecoppers, sharefarmers, smallholders, tenant farmer, husbandman, granger, dan sodbuster. Meskipun berada pada level bawah, sesungguhnya merekalah yang menggerakkan pertanian. Kultur yang melekat pada peasant biasanya adalah sikap kerjasamanya satu sama lain, usahatani kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri (Stefan, 1997). Saat ini, petani yang berkarakter peasant masih tetap eksis.  Selaras dengan makna dari peasant, kita mengenal istilah “petani subsisten”. Petani subsisten (subsistence farmer) adalah mereka yang “… earns very little from his farming activities”. Aktifitas usahatani semata-mata adalah untuk konsumsi  sendiri.  Dalam konsep “petani subsisten dipercaya bahwa suatu saat mereka akan meninggalkan  usahatani tersebut jika ada peluang lain.

Satu gambaran tentang masyarakat petani yang perlu dipelajari adalah tulisan Chayanov. Menurut Chayanov, ciri khas ekonomi rumah tangga petani adalah penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usahatani bukan untuk mengejar produksi (ekonomi kapitalis), namun untuk mencapai kesejahteraan bagi anggota rumah tangga. Dalam bentuk ini, unsur-unsur biaya produksi dinyatakan dalam unit-unit yang tidak dapat diperbandingkan dengan apa yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Intinya adalah, bahwa untuk memahami, menganalisis, maupun mengembangkan petani haruslah bertolak dari pandangan yang khusus. Jika kita terima pandangan ini, berarti kita harus mengembangkan “ilmu ekonomi pertanian” yang tidak merupakan turunan dari “ilmu ekonomi industri”.

Ukuran rasionalitas juga digunakan untuk membedakan antara “peasant” (petani yang subsisten) dan “farmer” (petani modern yang berjiwa bisnis). Upaya merubah petani dari karakter peasant menjadi farmer inilah hakekat dari pembangunan atau modernisasi dalam bidang pertanian. Di dalamnya tercakup upaya menanamkan konsep dan prinsip rasional ke dalam diri petani. Salah satu ciri peasant adalah adanya hubungan patron-klien dalam masyarakatnya, dimana petani kaya menjadi patron, dan petani kecil adalah klien yang ada dalam posisi tersubordinasi (Scott, 1994).

Dapat dikatakan, sampai saat ini, upaya mempelajari apa yang dimaksud dengan “petani” belumlah selesai. Perdebatan tersebut timbul disebabkan pula karena perbedaan metodologi dalam mempelajarinya. Selain itu, sikap kita yang suka berfikir hitam putih pun perlu kita tanyakan ulang. Apakah peasant memang harus disingkirkan? Apakah tidak mungkin farmer tetap berjalan seiring dengan peasant? *******

*****

Diversifikasi Pangan Hulu vs Hilir


Saya mencatat ucapan bijak seorang pejabat pemerintah: “…gerakan diversifikasi pangan harus dilakukan kompherensif mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari benih, penanaman hingga pemasaran dan pengolahan yang inovatif dan kreatif". Ya, diversifikasi memang bisa di hulu dan di hilir.

Diversifikasi pangan adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu gizi makanan dengan pola dan penganekaragaman jenis konsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yakni faktor kecukupan, faktor pengetahuan dan kesadaran gizi (gizi seimbang), keterjaminan penyediaan pangan (secara nasional, wilayah, rumah tangga, dan individu), akses pangan dengan harga terjangkau, keterjaminan mutu pangan.

Untuk mencapai gizi yang seimbang, perlu diversifikasi baik di bidang produksi maupun pengolahannya. Jadi, diversifikasi dapat dilakukan di hulu dan di hilir. Tiap pilihan memiliki implikasi masing-masing, sebagaimana ditampakkan pada matrik berikut.

Perbedaan karakter antara diversifikasi pangan di hulu dan di hilir

 

Diversifikasi di Hulu
Diversifikasi di Hilir
 
Bertujuan untuk tersedianya bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan. Penyediaan pangan sedapat mungkin dari dalam negeri, sedangkan impor hanya bila diperlukan.
 
Terjaminnya akses rumah tangga terhadap kebutuhan pangan sesuai dengan daya beli, selera, dan waktu.  
Dukungan yang dibutuhkan adalah bantuan berbagai jenis bibit unggul, sarana produksi pertanian, dan dukungan usahatani lain
Dukungan tranportasi dan sistem logistik yang murah, sehingga bahan pangan mudah menjangkau pusat-pusat pengolahan, termasuk bantuan mesin-mesin pengolahan.
Bentuknya berupa diversifikasi produksi, sehingga konsumen bisa memperoleh sumber karbohidrat dari beras, juga dari jagung, singkong dan sagu. 
Diversifikasi olahan pangan menjadi tepung, pasta, sari perasan, dan lain-lain. Singkong diolah menjadi berbagai produk berupa aneka kue, mie, beras analog, dan lain-lain.
Program yang dikembangkan berupa berbagai jenis pangan tradisional seperti sagu, jagung, ubi kayu, ubi jalar, sukun, dan lain-lain.
Teknologi aneka bentuk pengolahan, berupa penepungan, pasta, pati, dan lain-lain.

*******