Minggu, 15 Januari 2017

Pangan Biji-Bijian vs Tepung-Tepungan



Kita selama ini sudah sangat terbiasa dengan konsumsi biji-bijian. Kita setiap hari makan beras dan jagung dalam bentuk biji, tanpa olahan berarti. Kita baru mengkonsumsi dari sumber tepung untuk mie dan juga kue-kue. Namun mie dan kue masih menjadi makanan hiburan belaka.

Namun, tanpa sadar saat ini, makanan yang bersumber dari bahan tepung-tepungan mulai mendapat preferensi yang tinggi. Dalam tulisan Agus Pakpahan “Keluar dari Perangkap Pangan”, sesuai dengan hasil penelitian Fabiosa (2006),  setiap peningkatan 1 persen pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia, sekitar 0,4 sampai dengan 0,84 persen dibelanjakan untuk membeli pangan dengan bahan utama terigu. Tepung terigu, yang hampir seluruhnya diimpor, lebih superior daripada pangan yang dihasilkan di dalam negeri.

Apakah kandungan gizi terigu untuk kesehatan manusia lebih baik daripada beras? Tidak. Kemenangan terigu terletak pada "promosi" yang kira-kira menunjukkan bahwa terigu adalah makanan orang modern, sedangkan beras dan makanan lokal lainnya hanyalah makanan tradisional. Konsumen di dalam negeri meninggalkan pangan yang diproduksi oleh para petani di dalam negeri sendiri. Potensi produksi di dalam negeri akan menciut mengingat nilai tambahnya dikirim ke luar negeri.

Keputusan konsumen dasarnya adalah selera (preferensi) dan pendapatan. Selera itu tidak berdiri sendiri dan juga tidak bersifat konstan, apalagi selera antargenerasi. Industri pangan raksasa bukan hanya mempengaruhi pendapatan dunia, melainkan juga mempengaruhi selera dunia akan pangan masa sekarang dan masa depan. Dengan kreasi jenis pangan dan dengan promosinya dengan biaya yang sangat besar, maka pola pangan dunia akan dibentuknya.

Apa yang harus dilakukan Indonesia? Menolak tepung-tepungan, atau malah harus menguasai bisnis ini? Lalu, jika kita ingin menguasainya, apa yang mau kita tepungkan: pangan lokal kita ataukah pangan impor?

Pada bulan November 2010, IPB dilaporkan telah membuka Riset Pangan Berbasis Tepung. Salah satunya adalah untuk pengembangan  tepung-tepungan dari bahan baku lokal.  Ini untuk menunjang gerakan diversifikasi pangan pada tingkat pengolahan dan aplikasi. Selama ini, gerakan penganekaragaman pangan terfokus pada tingkat hulu, yaitu budidaya dan produksi bahan pangan pokok. Motivasi lainya adalah menggantikan konsumsi tepung terigu yang semakin massif. Berbagai produk jadi yang selama ini menggunakan tepung terigu akan disubsitusi dengan tepung mocaf, tepung jagung, singkong, sagu, shorgum dan lain-lain. Sudah saatnya Indonesia memikirkan ini.

Perbedaan karakteristik pengembangan pangan berbentuk biji-bijian dengan tepung-tepungan


Biji-bijian
Tepung-tepungan

Sumber pemenuhan

Dalam negeri, dan bahkan tersedia secara luas di pasar-pasar becek dan warung, dengan harga yang terjangkau sesuai kelas kualitas. 

Masih impor (terutama terigu), namun potensi dalam negeri sangat besar, terutama dari umbi-umbian.
Citra yang melekat
Pola konsumsi keluarga rendah
Keluarga kaya dan modern
Variasi jenis makanan yang bisa dihasilkan
Lebih terbatas. Beras dalam bentuk biji terbatas hanya bisa diolah dengan direbus.
Pilihannya lebih banyak. Tepung beras bisa diolah menjadi mie, kue basah, dan keripik.
Daya simpan
Lebih pendek, karena kadar air masih cukup tinggi
Lebih lama, sehingga bisa menguasai pasar yang lebih jauh.
Nilai tambah yang dihasilkan
Lebih sedikit, karena bentuk dan kerumitan pengolahannya terbatas
Lebih banyak, bisa diolah dengan berbagai variasi
Dukungan sosiokultural
Tinggi, karena sudah menjadi tradisi kebanyakan masyarakat.
Masih rendah di level bawah, namun masyarakat level ekonomi atas sudah menggandrunginya
Orientasi ke masa depan
Kurang kuat. Terkesan sebagai “pangan masa lalu”.
Lebih kuat. Adalah “pangan masa depan”.

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar