Kita
selama ini sudah sangat terbiasa dengan konsumsi biji-bijian. Kita
setiap hari makan beras dan jagung dalam bentuk biji, tanpa olahan berarti.
Kita baru mengkonsumsi dari sumber tepung untuk mie dan juga kue-kue. Namun mie
dan kue masih menjadi makanan hiburan belaka.
Namun, tanpa sadar saat ini, makanan yang bersumber dari
bahan tepung-tepungan mulai mendapat preferensi yang tinggi. Dalam tulisan Agus Pakpahan “Keluar dari
Perangkap Pangan”, sesuai dengan hasil
penelitian Fabiosa (2006), setiap peningkatan 1 persen pendapatan
rata-rata masyarakat Indonesia, sekitar 0,4 sampai dengan 0,84 persen
dibelanjakan untuk membeli pangan dengan bahan utama terigu. Tepung terigu, yang
hampir seluruhnya diimpor, lebih superior daripada pangan yang dihasilkan di
dalam negeri.
Apakah
kandungan gizi terigu untuk kesehatan manusia lebih baik daripada beras? Tidak.
Kemenangan terigu terletak pada "promosi" yang kira-kira menunjukkan
bahwa terigu adalah makanan orang modern, sedangkan beras dan makanan lokal
lainnya hanyalah makanan tradisional. Konsumen
di dalam negeri meninggalkan pangan yang diproduksi oleh para petani di dalam
negeri sendiri. Potensi produksi di dalam negeri akan
menciut mengingat nilai tambahnya dikirim ke luar negeri.
Keputusan
konsumen dasarnya adalah selera (preferensi) dan pendapatan. Selera itu tidak
berdiri sendiri dan juga tidak bersifat konstan, apalagi selera antargenerasi.
Industri pangan raksasa bukan hanya mempengaruhi pendapatan dunia, melainkan
juga mempengaruhi selera dunia akan pangan masa sekarang dan masa depan. Dengan
kreasi jenis pangan dan dengan promosinya dengan biaya yang sangat besar, maka
pola pangan dunia akan dibentuknya.
Apa yang harus dilakukan Indonesia? Menolak
tepung-tepungan, atau malah harus menguasai bisnis ini? Lalu, jika kita ingin
menguasainya, apa yang mau kita tepungkan: pangan lokal kita ataukah pangan
impor?
Pada
bulan November
2010, IPB dilaporkan telah membuka Riset Pangan Berbasis Tepung.
Salah satunya adalah untuk pengembangan tepung-tepungan dari bahan baku lokal. Ini untuk menunjang gerakan diversifikasi pangan
pada tingkat pengolahan dan aplikasi. Selama ini, gerakan penganekaragaman
pangan terfokus pada tingkat hulu, yaitu budidaya dan produksi bahan pangan
pokok. Motivasi lainya adalah menggantikan konsumsi tepung terigu yang semakin
massif. Berbagai produk jadi yang selama ini menggunakan tepung terigu akan
disubsitusi dengan tepung mocaf, tepung jagung, singkong, sagu, shorgum dan
lain-lain. Sudah saatnya Indonesia memikirkan ini.
Perbedaan karakteristik pengembangan pangan berbentuk
biji-bijian dengan tepung-tepungan
|
Biji-bijian
|
Tepung-tepungan
|
Sumber pemenuhan
|
Dalam negeri, dan bahkan tersedia secara luas di
pasar-pasar becek dan warung, dengan harga yang terjangkau sesuai kelas
kualitas.
|
Masih
impor (terutama terigu), namun
potensi dalam negeri sangat besar, terutama dari umbi-umbian.
|
Citra yang melekat
|
Pola konsumsi keluarga rendah
|
Keluarga kaya dan modern
|
Variasi jenis makanan yang
bisa dihasilkan
|
Lebih terbatas. Beras dalam bentuk biji terbatas hanya
bisa diolah dengan direbus.
|
Pilihannya lebih banyak. Tepung beras bisa diolah
menjadi mie, kue basah, dan keripik.
|
Daya simpan
|
Lebih pendek, karena kadar air masih cukup tinggi
|
Lebih lama, sehingga bisa menguasai pasar yang lebih jauh.
|
Nilai tambah yang dihasilkan
|
Lebih sedikit, karena bentuk dan kerumitan
pengolahannya terbatas
|
Lebih banyak, bisa diolah dengan berbagai variasi
|
Dukungan sosiokultural
|
Tinggi, karena sudah menjadi tradisi kebanyakan masyarakat.
|
Masih rendah di level bawah, namun masyarakat level ekonomi atas sudah
menggandrunginya
|
Orientasi ke masa depan
|
Kurang kuat. Terkesan sebagai “pangan masa lalu”.
|
Lebih kuat. Adalah “pangan masa depan”.
|
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar