Minggu, 15 Januari 2017

Pengorganisasian Diri Petani: Dulu vs Ideal vs Eksisting Sekarang



Penjelasan tentang bagaimana petani menjalankan usaha pertaniannya selama ini terperangkap hanya pada teori dan analisis organisasi. Dari penelitian disertasi saya di Universitas Indonesia tahun 2013, dengan menggunakan konsep dan teori dari pemahaman Kelembagaan Baru (New Institutionalism) yang menjadikan relasi sosial (social relation) sebagai objek yang paling pokok dan elementer dalam analisisnya; ditemukan pola pengorganisasian yang khas pada petani di Indonesia saat ini yakni gejala “individualisasi organisasi”. Sesungguhnya bentuk ini berakar dari pola pengorganisasian diri petani dahulu sebelum dikenal organisasi formal, yakni “pengorganisasian secara personal”.

Pengorganisasian diri merupakan upaya individu (petani) untuk menjalankan usaha dan hidupnya dengan membangun dan menjaga relasi sosial (social relation) secara relatif tetap dan berpola dengan berbagai pihak di seputar dirinya. Lawrence et al. (2009)  membahas konsep “pengorganisasian diri” ini sebagai: “ … the ways in wich individuals, groups, and organizations work to create, maintain, and disrupt the institutions that structure their lives”.
Petani mengorganisasikan dirinya melalui beberapa pilihan. Ia dapat masuk kedalam organisasi atau dapat pula tidak. Jika tidak dalam organisasi, berarti petani mengorganisasikan dirinya di luar organisasi dalam format individual action.  Artinya, ia menggunakan relasi-relasi yang berbasis pasar, bukan relasi berbasis organisasi (collective action). Petani memiliki kuasa dan mampu memutuskan dengan siapa ia melakukan transaski dan menjalin interaksi untuk menjalankan usaha pertaniannya. Jadi, pengorganisasian diri petani pada hakekatnya adalah suatu jejaring yang berisi sejumlah ”relasi sosial” yang saling terhubung di sekitar diri seorang petani.

Sebelum dikenal organisasi formal, petani telah mengorganisasikan dirinya (self organizing) sedemikian rupa, dengan menyesuaikan pada kondisi dan hambatan alam, infrastruktur maupun sosial politik yang ada. Mereka mengorganisasikan diri agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidup ekonominya.  Mereka membangun dan menjalankan berbagai relasi sosial atas berbagai basis relasi. Salah satu bentuk yang selama ini pada berbagai penelitian disebut sebagai “organisasi tradisional” adalah apa yang saya sebut sebagai “pengorganisasian secara personal”. Ia bukan organisasi sebagaimana kita kenal dalam literatur teori organisasi.

Pada banyak wilayah di pedesaan dulu, ditemukan tipe pengorganisasian dimana alih-alih membentuk satu organisasi yang terstruktur dan dikelola beberapa orang pengurus, masyarakat desa cenderung hanya menunjuk satu orang saja untuk menangani urusan yang berkaitan dengan kebutuhan sekelompok warga. Sekelompok orang memberikan penugasan kepada satu orang dan memberinya otoritas yang penuh. Bukan sebagaimana organisasi formal dalam literatur, dimana ada sekelompok orang dengan kekuasaan yang terbagi dan terstruktur secara berjenjang; pelaksanaan tugas hanya dijalankan oleh seorang belaka. Karena itu saya menyebutnya “pengorganisasian secara personal”.

Istilah ini asli dari saya, bahkan dalam literatur bahasa Inggris pun saya tidak menemukan padanannya. Dengan kata lain, mungkin belum ada peneliti lain di belakahan dunia lain yang melihat dan “menemukan” ini.

Hal ini tampak dalam pengelolaan irigasi. Pimpinan subak di Bali, yang disebut dengan “pekaseh” atauKlian Subak” mengoordinasikan pengelolaan air berdasarkan aturan yang ada (awig-awig). Meskipun dalam berbagai literatur, seorang Klian Subak disebut dengan pimpinan atau Ketua Subak, namun posisi dan kewenangannya tidaklah sebagaimana ketua dalam organisasi formal yang kita kenal. “Organisasi” yang menata keseluruhan fungsi subak itu sendiri melekat hanya pada diri seorang Klian Subak. Semua petani lebih mengenal dirinya, bukan pada “organisasi” nya, meskipun ia juga dibantu oleh beberapa orang tenaga lain.

Pola seperti ini juga ditemukan pada sosok seorang “Ulu-Ulu” di wilayah Jawa Barat, dan seorang “Kapalo Banda” di wilayah Sumatera Barat. Dengan legalisasi dari seluruh petani di komplek persawahan tertentu, ia berkuasa penuh dalam mengatur air, membaginya, menjaga saluran, dan bahkan menghukum petani yang melanggar. Namun, Ulu-Ulu dan Kapalo Banda bukanlah sebuah organisasi. Ia hanyalah seorang petugas yang diberi turgas dan kewenangan mengelola pengairan pada satu wilayah persawahan. Meskipun ia memiliki pembantu, namun tanggung jawabnya penuh dan langsung kepadanya belaka.

Saat ini, meskipun desa-desa di Indonesia telah lama berada dalam intervensi modernisasi, namun bentuk-bentuk basis relasi serta pola pengorganisasian seperti di atas masih eksis walaupun terbatas. Pada waktu bersamaan, saat ini telah eksis pula organisasi-organisasi formal petani, namun struktur dan kultur di dalamnya tidaklah sebagaimana pola ideal secara teoritis. Saya menemukan apa yang saya sebut dengan “individualisasi organsiasi” (Syahyuti, 2013). Gejala “individualisasi organisasi” pada organisasi petani merupakan gejala yang umum dijumpai.  Meskipun dari permukaan seolah organisasi dijalankan sesuai dengan prosedur yang tertulis, namun sesungguhnya hanya dijalankan oleh segelintir pengurus, bahkan cenderung hanya oleh satu orang, biasanya adalah ketua organisasi bersangkutan.

Sulit memisahkan antara kegiatan pribadi ketua dengan kegiatan organisasi. Artinya, berlangsung proses ”privatisasi atau ”individualisasi organisasi” pada diri pimpinan organisasi. Organisasi menjadi identik dengan ketuanya belaka. Keberadaan dan eksistensi si Ketua jauh lebih nyata dibandingkan organisasi itu sendiri. Ketua bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dan keberhasilan organisasi pun identik sebagai hasil kerja keras si Ketua belaka. Penyuluh juga lebih hafal nama si Ketua dibandingkan dengan nama kelompok taninya.

Ketua memahami benar posisi ini, dan ia menjalankan organisasi dalam kerangka makna tersebut. Dalam persepsi ketua, maju mundurnya organisasi tergantung pada dirinya. Ini juga diamini pengurus lain dan seluruh anggota. Gejala ini terbentuk karena empat alasan yaitu: karena jumlah dan beban tugas yang ringan dan dapat dijalankan oleh satu orang pengurus saja, pengurus dan anggota telah memberikan kepercayaan dan kewenangan penuh kepada ketua, serta karena organisasi menerapkan prosedur non formal dan juga kultur pragmatis. Salah satu dampak dari individualisasi organisasi ini adalah organisasi biasanya langsung menurun kinerjanya jika terjadi pergantian ketua.

Kedua bentuk pengorganisasian diri di atas sesungguhnya berlangsung sebagai sebuah evolusi yang terjadi secara kronologis. Pengorganisasian secara personal berlangsung dahulu ketika belum diintroduksikan organisasi-organisasi formal oleh pemerintah. Organisasi formal diperkenalkan dan menjadi satu-satunya bentuk pengorganisasian diri petani semenjak era Bimas sampai Insus dan Supra Insus, sehingga saat terakhir ini.

Selanjutnya individualisasi organisasi merupakan sebuah gejala yang berlangsung setelah berbagai organisasi diperkenalkan dan diintroduksikan. Ini merupakan reaksi kritis dari petani menghadapi keharusan untuk hidup dalam organisasi. Format dan struktur organisasi formal dengan segala etika dan prosedurnya tampaknya dinilai terlalu berlebihan oleh petani. Jadi, urutan proses terbentuknya bentuk-bentuk pengorganisasian diri ini adalah dimulai oleh bentuk pengorganisasian secara personal, lalu diintroduksikan bentuk organisasi formal, namun akhirnya yang banyak berlangsung secara riel adalah gejala individualisasi organisasi. Matrik berikut memaparkan perbedaan ketiga karakter pengorganisasian diri tersebut.

Perbedaan bentuk dan karakter antara pengorganisasian secara personal, organisasi formal, dan gejala individualisasi organisasi

Pengorganisasian secara personal
Organisasi formal
Individualisasi organisasi
Masa terbentuknya
Dahulu, sebelum diintroduksikan organisasi formal oleh pemerintah
Masa revolusi hijau, mulai dari era Bimas, Insus, Supra Insus, dan sampai sekarang
Setelah diintroduksikan organisasi formal.
Alasan terbentuknya
Secara alamiah, dengan alasan efisiensi manajemen
Sesuai dengan teori organisasi yang diadopsi oleh pemerintah
Merupakan respon kritis terhadap format organisasi formal yang dipandang kurang sesuai dan tidak efisien
Ciri kepemimpinannya
Mutlak, hanya di tangan satu orang (misal “Kapalo Banda” dan “Ulu-Ulu”)
Bersifat kolegial
Secara faktual bertumpu pada seorang pengurus organisasi saja, meskipun dalam dokumen tertulis lengkap
Distribusi kekuasaan
Sentralisasi pada satu orang penanggung jawab
Terdistribusi antara ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi, dan lain-lain pengurus organisasi
Secara faktual tersentralisasi, karena hanya dijalankan satu orang pengurus, biasanya ketua organisasi
Peran dan sosok pemimpin
Lebih sebagai penerima beban dan penanggung jawab operasional
Demokratis dan  prosedural sesuai AD dan ART
Kurang demokratis dan tidak prosedural. Semua urusan ditangani sendiri, termasuk peran pengurus organisasi yang lain
Posisi anggota
Petani adalah pihak yang memberikan “tugas” dan menyerahkan kuasa penuh kepada pengurus
Kuat secara administratif, sesuai dengan AD dan ART organisasi
Lemah dan pasif. Anggota merasa berhutang budi kepada jasa ketua organisasi
Masa kepengurusan
Lama, sering tidak terbatas, sering sampai ia meninggal.
Terbatas, biasanya 3-4 tahun, sesuai dengan AD, ART dan rapat angota
Faktanya masa kepengurusan lebih lama dari ketentuan, dan sering tidak diganti sampai belasan tahun

Khusus untuk kepemimpinan, gambar berikut ini memvisualisasikan kondisi yang terjadi. Pada bentuk pengorganisasian secara personal, kekuasaan terbesar hanya pada seorang saja, yakni “Kapalo Banda” atau  Ulu-Ulu”. Jika pun ada orang lain yang membantu, posisinya adalah pembantu yang bertanggung jawab ke person Kapalo Banda tadi. Seorang penjaga pintu air misalnya tidak dapat dimintakan tanggung jawab oleh petani, karena ia bertanggung jawab ke atas saja secara penuh. Lalu, pada gambar kedua adalah tipe ideal yang ingin diintroduksikan, dimana ketua memiliki posisi sejajar dan egaliter dengan pengurus lain dalam format yang demokratis-ideal. Ide bagus ini tidak diterima petani. Sebagai responnya, organisasi petani dijalankan hanya oleh seorang atau segelintir pengurus dimana meskipun pengurus yang terdaftar banyak namun yang riel menjalankan organsiasi hanya sedikit pengurus (proses individualisasi dalam organisasi). 


Gambar Perbedaan posisi dan kuasa pemimpin  pada bentuk pengorganisasian secara personal, organisasi formal, dan gejala individualisasi organisasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar