Penjelasan tentang bagaimana
petani menjalankan usaha pertaniannya selama ini terperangkap hanya pada teori
dan analisis organisasi. Dari penelitian disertasi saya di Universitas
Indonesia tahun 2013, dengan menggunakan konsep dan teori
dari pemahaman Kelembagaan Baru (New
Institutionalism) yang menjadikan relasi sosial (social relation) sebagai objek yang
paling pokok dan elementer dalam analisisnya; ditemukan pola pengorganisasian yang khas pada petani di Indonesia saat
ini yakni gejala “individualisasi organisasi”. Sesungguhnya bentuk ini berakar
dari pola pengorganisasian diri petani dahulu sebelum dikenal organisasi
formal, yakni “pengorganisasian secara personal”.
Pengorganisasian diri
merupakan upaya individu (petani) untuk menjalankan usaha dan hidupnya dengan
membangun dan menjaga relasi sosial (social
relation) secara relatif tetap dan berpola dengan berbagai pihak di seputar
dirinya. Lawrence
et al. (2009) membahas konsep “pengorganisasian diri” ini
sebagai:
“ … the ways in wich individuals,
groups, and organizations work to create, maintain, and disrupt the
institutions that structure their lives”.
Petani mengorganisasikan
dirinya melalui beberapa pilihan. Ia dapat masuk kedalam organisasi atau dapat
pula tidak. Jika tidak dalam organisasi, berarti petani mengorganisasikan
dirinya di luar organisasi dalam format individual
action. Artinya, ia menggunakan
relasi-relasi yang berbasis pasar, bukan relasi berbasis organisasi (collective action). Petani memiliki
kuasa dan mampu memutuskan dengan siapa ia melakukan transaski dan menjalin
interaksi untuk menjalankan usaha pertaniannya. Jadi, pengorganisasian
diri petani pada hakekatnya adalah suatu jejaring yang berisi sejumlah
”relasi sosial” yang saling terhubung di sekitar diri seorang
petani.
Sebelum
dikenal organisasi formal, petani telah mengorganisasikan dirinya (self organizing) sedemikian rupa,
dengan menyesuaikan pada kondisi dan hambatan alam, infrastruktur maupun sosial
politik yang ada.
Mereka mengorganisasikan diri agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidup
ekonominya. Mereka membangun dan menjalankan
berbagai relasi sosial atas berbagai basis relasi. Salah satu
bentuk yang selama ini pada
berbagai penelitian disebut sebagai “organisasi tradisional” adalah apa
yang saya sebut
sebagai “pengorganisasian secara personal”. Ia bukan organisasi sebagaimana
kita kenal dalam literatur teori organisasi.
Pada
banyak wilayah di pedesaan dulu, ditemukan tipe pengorganisasian dimana
alih-alih membentuk satu organisasi yang terstruktur dan dikelola beberapa
orang pengurus, masyarakat desa cenderung hanya menunjuk satu orang saja untuk menangani
urusan yang berkaitan dengan kebutuhan sekelompok warga. Sekelompok orang
memberikan penugasan kepada satu orang dan memberinya otoritas yang penuh.
Bukan sebagaimana organisasi formal dalam literatur, dimana ada sekelompok
orang dengan kekuasaan yang terbagi dan terstruktur secara berjenjang;
pelaksanaan tugas hanya dijalankan oleh seorang belaka. Karena itu saya
menyebutnya “pengorganisasian secara personal”.
Istilah ini asli dari saya, bahkan dalam literatur bahasa
Inggris pun saya tidak menemukan padanannya. Dengan kata lain, mungkin belum
ada peneliti lain di belakahan dunia lain yang melihat dan “menemukan” ini.
Hal ini tampak dalam
pengelolaan irigasi. Pimpinan subak di Bali, yang disebut dengan “pekaseh” atau “Klian Subak” mengoordinasikan
pengelolaan air berdasarkan aturan yang ada (awig-awig). Meskipun dalam berbagai literatur,
seorang Klian Subak disebut dengan pimpinan atau Ketua Subak, namun posisi dan
kewenangannya tidaklah sebagaimana ketua dalam organisasi formal yang kita
kenal. “Organisasi” yang menata keseluruhan fungsi subak itu sendiri melekat
hanya pada diri seorang Klian Subak. Semua petani lebih mengenal dirinya, bukan
pada “organisasi” nya, meskipun ia juga dibantu oleh beberapa orang tenaga lain.
Pola
seperti ini juga ditemukan pada sosok seorang “Ulu-Ulu” di wilayah Jawa Barat, dan seorang “Kapalo Banda” di wilayah Sumatera Barat. Dengan legalisasi dari
seluruh petani di komplek persawahan tertentu, ia berkuasa penuh dalam mengatur
air, membaginya, menjaga saluran, dan bahkan menghukum petani yang melanggar.
Namun, Ulu-Ulu dan Kapalo Banda bukanlah sebuah
organisasi. Ia hanyalah seorang petugas yang diberi turgas dan kewenangan
mengelola pengairan pada satu wilayah persawahan. Meskipun ia memiliki
pembantu, namun tanggung jawabnya penuh dan langsung kepadanya belaka.
Saat
ini, meskipun desa-desa di Indonesia telah lama berada dalam intervensi
modernisasi, namun bentuk-bentuk
basis relasi serta pola pengorganisasian seperti di atas masih eksis walaupun terbatas. Pada waktu bersamaan, saat ini telah eksis pula
organisasi-organisasi formal petani, namun struktur dan kultur di dalamnya
tidaklah sebagaimana pola ideal secara teoritis. Saya
menemukan apa yang saya sebut dengan “individualisasi organsiasi” (Syahyuti,
2013). Gejala “individualisasi organisasi” pada organisasi
petani merupakan gejala yang umum dijumpai.
Meskipun dari permukaan seolah organisasi dijalankan sesuai dengan
prosedur yang tertulis, namun sesungguhnya hanya dijalankan oleh segelintir
pengurus, bahkan cenderung hanya oleh satu orang, biasanya adalah ketua
organisasi bersangkutan.
Sulit
memisahkan antara kegiatan pribadi ketua dengan kegiatan organisasi. Artinya, berlangsung
proses ”privatisasi” atau ”individualisasi organisasi” pada diri pimpinan organisasi. Organisasi
menjadi identik dengan ketuanya belaka. Keberadaan dan eksistensi si Ketua jauh lebih nyata dibandingkan organisasi itu sendiri. Ketua bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, dan keberhasilan organisasi pun identik sebagai hasil kerja
keras si Ketua belaka. Penyuluh juga
lebih hafal nama si Ketua dibandingkan dengan nama
kelompok taninya.
Ketua
memahami benar posisi ini, dan ia menjalankan
organisasi dalam kerangka makna tersebut. Dalam persepsi ketua, maju mundurnya
organisasi tergantung pada dirinya. Ini juga diamini pengurus lain dan seluruh
anggota. Gejala ini terbentuk karena
empat alasan yaitu: karena jumlah dan beban
tugas yang ringan dan dapat dijalankan oleh satu orang pengurus saja,
pengurus dan anggota telah
memberikan kepercayaan dan
kewenangan penuh kepada ketua, serta karena organisasi menerapkan prosedur non formal dan juga kultur pragmatis. Salah satu dampak dari
individualisasi organisasi ini adalah organisasi biasanya langsung menurun kinerjanya jika
terjadi pergantian ketua.
Kedua bentuk pengorganisasian diri di atas sesungguhnya
berlangsung sebagai sebuah evolusi yang terjadi secara kronologis.
Pengorganisasian secara personal berlangsung dahulu ketika belum diintroduksikan
organisasi-organisasi formal oleh pemerintah. Organisasi formal diperkenalkan
dan menjadi satu-satunya bentuk pengorganisasian diri petani semenjak era Bimas
sampai Insus dan Supra Insus, sehingga saat terakhir ini.
Selanjutnya individualisasi organisasi merupakan sebuah
gejala yang berlangsung setelah berbagai organisasi diperkenalkan dan
diintroduksikan. Ini merupakan reaksi kritis dari petani menghadapi keharusan
untuk hidup dalam organisasi. Format dan struktur organisasi formal dengan
segala etika dan prosedurnya tampaknya dinilai terlalu berlebihan oleh petani. Jadi, urutan proses
terbentuknya bentuk-bentuk pengorganisasian diri ini adalah dimulai oleh bentuk
pengorganisasian secara personal, lalu diintroduksikan bentuk organisasi
formal, namun akhirnya yang banyak berlangsung secara riel adalah gejala
individualisasi organisasi. Matrik berikut memaparkan perbedaan ketiga karakter
pengorganisasian diri tersebut.
Perbedaan bentuk
dan karakter antara pengorganisasian secara personal, organisasi formal, dan
gejala individualisasi organisasi
Pengorganisasian secara
personal
|
Organisasi formal
|
Individualisasi organisasi
|
|
Masa terbentuknya
|
Dahulu, sebelum diintroduksikan organisasi formal oleh pemerintah
|
Masa revolusi hijau, mulai dari era Bimas, Insus, Supra Insus, dan sampai
sekarang
|
Setelah diintroduksikan organisasi formal.
|
Alasan terbentuknya
|
Secara
alamiah, dengan alasan efisiensi manajemen
|
Sesuai dengan
teori organisasi yang diadopsi oleh pemerintah
|
Merupakan
respon kritis terhadap format organisasi formal yang dipandang kurang sesuai
dan tidak efisien
|
Ciri kepemimpinannya
|
Mutlak, hanya di tangan satu orang (misal “Kapalo Banda” dan “Ulu-Ulu”)
|
Bersifat kolegial
|
Secara faktual bertumpu pada seorang pengurus organisasi saja, meskipun
dalam dokumen tertulis lengkap
|
Distribusi kekuasaan
|
Sentralisasi
pada satu orang penanggung jawab
|
Terdistribusi
antara ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi, dan lain-lain pengurus
organisasi
|
Secara
faktual tersentralisasi, karena hanya dijalankan satu orang pengurus,
biasanya ketua organisasi
|
Peran dan sosok pemimpin
|
Lebih sebagai penerima beban dan penanggung jawab operasional
|
Demokratis dan prosedural sesuai
AD dan ART
|
Kurang demokratis dan tidak prosedural. Semua urusan ditangani sendiri,
termasuk peran pengurus organisasi yang lain
|
Posisi anggota
|
Petani adalah
pihak yang memberikan “tugas” dan menyerahkan kuasa penuh kepada pengurus
|
Kuat secara
administratif, sesuai dengan AD dan ART organisasi
|
Lemah dan
pasif. Anggota merasa berhutang budi kepada jasa ketua organisasi
|
Masa kepengurusan
|
Lama, sering tidak terbatas, sering sampai ia meninggal.
|
Terbatas, biasanya 3-4 tahun, sesuai dengan AD, ART dan rapat angota
|
Faktanya masa kepengurusan lebih lama dari ketentuan, dan sering tidak
diganti sampai belasan tahun
|
Gambar
Perbedaan posisi
dan kuasa pemimpin pada bentuk
pengorganisasian secara personal, organisasi formal, dan gejala individualisasi
organisasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar