Minggu, 15 Januari 2017

Makan Nasi vs Roti



Kita orang Melayu ini belum merasa makan kalau bukan makan nasi. Namun, ada selentingan yang pernah menyampaikan bahwa nasi bikin bodoh. Para pemakan beras terutama di Asia Tenggara dan Asia Selatan yakni umumnya dari rumpun Austronesia, orangnya lebih pendek-pendek, tenaga kurang, agak-agak kurang pintar, dan umurnya juga lebih pendek. Entah benar entah tidak, yang jelas saban habis makan siang dengan nasi kita perlu setengah sampai satu jam untuk mencernanya, dan sering diikuti oleh rasa ngantuk. Sehingga, produktivitas pun agak terganggu, karena itu adalah prime time untuk bekerja produktif. 

Penyebabnya mungkin bukan karena nasinya, tapi mungkin karena kita terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat, sehingga asupan protein, mineral, dan vitamin jadi kurang.  Indonesia terkenal sebagai pemakan nasi yang akut, dengan konsumsi per kapita per tahun 135 – 140 kg per kapita, lebih tinggi dari bangsa manapun. Karbohidrat memang fungsi utamanya menghasilkan tenaga bagi tubuh. Tapi ada karbohidrat yang cepat sekali diolah menjadi tenaga, juga ada karbohidrat yang lebih lama diolah tubuh. Nasi termasuk golongan karbohidrat pertama, sementara gandum dan kentang termasuk golongan kedua. Terlalu banyak memakan karbohidrat yang terlalu cepat diolah tubuh jelas tidak baik. Ketika kita tidak lagi membutuhkan tenaga otot melainkan tenaga pikiran, tenaga yang kadung terbentuk segera diubah menjadi lemak. Selain pikiran menjadi tumpul, kita juga jadi gampang mengalami kegemukan. Wallahualam.

Perbedaan biologis dan sosial ekonomi antara beras dan gandum
Beras
Gandum

Merupakan sumber bahan pangan Indonesia yang sudah mengakar dan membudaya. Padi ditanam secara luas karena sesuai iklim dan lahannya, dan kita telah sanggup swasembada beberapa kali, meskipun kadang-kadang masih impor beras juga.

Merupakan tanaman sub tropis, sehingga hampir seluruh kebutuhan kita impor sebanyak 4,5 juta ton per tahun atau setara dengan Rp. 30 trilyun. Namun, trend konsumsinya semakin meningkat dari tahun ke tahun, dalam bentuk mie, kue, cake, roti, dll. Perubahan pola konsumsi ke bahan gandum ini dimulai dari kalangan kaya dan terutama anak-anak.
Merupakan tanaman yang paling baik jika ditanam di sawah, dan membutuhkan air irigasi lebih banyak. Hasil rata-rata saat ini sekitar 5,2 ton gabah per panen. Untuk  menghasilkan 1 kg beras air yang dibutuhkan 3400 lt (ada yang menyebut 1366 lt), atau 17 juta liter per ha.
Gandum adalah tanaman serealia toleran terhadap kekeringan. Kebutuhan air untuk pertumbuhan gandum relatif lebih rendah dibanding tanaman serealia lainnya, berkisar 330 – 392 mm (penelitian lain:  254-400 mm). Di Indonesia, potensi hasil gandum di daerah dataran tinggi 5,4 t/ha, padahal di AS dan Brazil bisa 10-11 t/ha.
Potensi lahan yang bisa ditanami padi di Indonesia setidaknya 25 juta ha untuk sawah ditambah 25 juta ha berupa lahan kering.
Lahan yang sesuai untuk gandum terbatas, yaitu hanya seluas 73 ribu ha yang tersebar di 15 provinsi. Ini karena gandum hanya baik ditanam di atas ketinggian 800 mdpl.
Kandungan kalori per 100 gram lebih rendah. Satu sumber menyebut 357 kal, ada juga yang menyebut 360 kal.
Sebagian besar sumber menyebut kandungan kalori terigu (misalnya roti) lebih tinggi (333 - 365 kal).
Kandungan protein juga lebih rendah (6,8 - 8,4 gram)
Lebih tinggi proteinnya (8,9 -  9,0 gram)
Kandungan lemak cenderung lebih rendah (0,7 - 1,7 gram)
Lebih tinggi (1,0 - 1,3 gram)
Karbohodrat relatif sama (77,1 - 78,9 gram)
Kandungan karbohudrat gandum 77,2  sampai 77,3 gram per 100 gram gandum.
Lebih mahal. Untuk memenuhi kebutuhan kalori dari nasi (dan lauknya)
Lebih murah, bila mengkonsumsi roti misalnya.
Konsumsi beras nasional lebih kurang 139 kg per kapita per tahun. Konsumsi ini tertinggi di dunia, dan ada tanda-tanda trendnya menurun walau lambat.
Rata-rata konsumsi nasional ada yang menyebut, 17 ada yang 18, dan ada yang menyebut 21 kg per kapita per tahun. Trendnya terus menaik dari tahun ke tahun.


Kelebihan gandum adalah kalsium dan  zat besi, namun beras lebih di Phospor. Banyak penelitian yang telah membuktikan gandum memiliki kandungan gizi yang positif bagi manusia. Dibandingkan padi, gandum punya lebih banyak kandungan serat, protein, mineral, vitamin A, E dan B1. Jadi, akan sangat mudah kenyang jika mengkonsumsi sedikit gandum daripada menyantap nasi. Gandum memiliki sedikit kandungan gula darah sehingga baik bagi para penderita diabetes. Juga disarankan untuk penderita kolesterol dan jantung koroner. Kandungan asam folat akan menekan kelebihan kolesterol dalam darah. Gandum dapat mencegah tersumbatnya pembuluh darah  yang mengakibatkan penyakit jantung

Gandum juga sangat baik sebagai menu diet. Berbeda dengan nasi beras yang punya banyak kandungan karbohidrat sehingga cenderung menyebabkan masalah kelebihan berat badan, gandum punya kandungan nutrisi yang berimbang. Kandungan serat dan protein dalam gandum sangat berguna dalam menunjang program penurunan berat badan dengan lebih aman.

Dibandingkan dengan 100 gram nasi putih atau mi basah, maka 100 gram roti memberikan energi, karbohidrat, protein, kalsium, fosfor dan besi yang lebih banyak. Sebuah sumber menyebut bahwa roti putih memiliki karbohidrat 50,0 gram, sedang nasi hanya 40,6 gram. Yang bagus adalah protein, yaitu 8,0 gram berbanding 2,1 gram. Dari sisi ekonomi, mengkonsumsi roti bisa lebih murah, karena mengkonsumsi nasi mestilah lengkap dengan lauk dan sayurnya. Dari sudut pandang gizi, roti gandum utuh (whole wheat bread) sebenarnya memiliki nilai gizi yang lebih baik dibandingkan roti putih (white bread). Keunggulan lain adalah mengandung serat pangan, antioksidan, fitoestrogen (baik untuk mencegah penyakit jantung dan aneka kanker), vitamin dan mineral yang jauh lebih banyak dibandingkan roti putih. Selain itu, roti gandum juga memiliki cita rasa yang sangat khas.
Di dalam tepung terigu terdapat gluten yakni suatu senyawa yang bersifat kenyal dan elastis, yang diperlukan dalam pembuatan roti agar dapat mengembang dengan baik. Ia menentukan kekenyalan mie serta berperan dalam pembuatan kulit martabak telur supaya tidak mudah robek misalnya. Kandungan gluten menentukan kadar protein tepung terigu. Semakin tinggi kadar gluten, semakin tinggi kadar protein nya.

Sementara, dari sisi ekonomi, kita rugi jika gandum semakin banyak dikonsumsi masyarakat kita, karena gandum bukan tanaman yang bisa ditanam di dalam negeri. Semua harus diimpor. Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia. Berdasarkan laporan USDA,  impor gandum Indonesia 2012 diprediksi menembus 7,1 juta ton, atau senilai lebih dari Rp. 40 trilyun. Sesuai data BPS, sepanjang tahun 2012, impor biji gandum saja (belum termasuk tepung terigu) mencapai 6,3 juta ton dengan nilai lebih kurang Rp. 25 trilyun. Dari jumlah tersebut, konsumsi terigu untuk pembuatan mie sebanyak 60 persen, cookies dan snack 10 persen, bakery cake 20 persen, dan 10 persen untuk penggunaan rumah tangga. Konsumsi pangan berbasis gandum di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Menghadapi kondisi ini, maka jalan tengah antara “beras vs gandum” adalah shorgum, karena sorgum lebih mungkin ditanam di dalam di wilayah tropis. Tepung sorgum berpotensi mensubsitusi sebesar 1,18 juta ton dari total kebutuhan terigu. Kemampuan subsitusi tepung sorgum terhadap tepung terigu untuk produk mie sebesar 15-20 persen, cookies 50-75 persen, cake 30-50 persen, dan untuk kebutuhan rumah tangga lain secara rata-rata 20-25 persen. Selain itu, harga tepung sorgum jauh lebih murah, hanya 60 persen dibandingkan harga tepung terigu. Selama ini, pemerintah  telah menjalankan berbagai program untuk mengembangkan sorgum, misalnya di Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan NTT. Berbagai teknologi pascapanen sorgum telah dihasilkan antara lain tepung sorgum rendah tanin, nasi sorgum, nasi sorgum instan, dan bubur sorgum  instan.

Secara teknis, sorgum (Sorghum bicolor L.) mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia, karena daya adaptasinya yang luas. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Sorgum juga merupakan komoditas sumber karbohidrat yang cukup potensial karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 73 g/100 g bahan. Masalah utama sorgum sebagai bahan pangan adalah kandungan tanin yang cukup tinggi, mencapai 0,40−3,60 persen. Nilai gizi sorgum tidak kalah dengan beras. Bahkan sorgum mengandung protein (8-12%) setara dengan terigu atau lebih tinggi dibandingkan dengan beras (6-10%), dan kandungan lemaknya (2-6%) lebih tinggi dibandingkan dengan beras (0,5-1,5%). Varietas dan proses penyosohan sangat mempengaruhi komposisi kimia sorgum. Biji sorgum yang sudah disosoh mengandung 7,69-8,60 persen protein, 1,40-1,99 persen lemak, dan 77,48-88,12 persen karbohidrat

Areal yang berpotensi untuk pengembangan sorgum di Indonesia sangat luas, meliputi daerah beriklim kering atau musim hujannya pendek serta tanah yang kurang subur. Daerah penghasil sorgum di antaranya adalah di Jawa Tengah (Purwodadi, Pati,Demak, Wonogiri), DI Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), dan sebagian NTB dan NTT. Satu hal menarik, ada wilayah di Jawa Timur yang secara terus menerus mengusahakan sorgum setelah panen padi, yakni  di Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Mereka bisa memproduksi 6,7 ton biji sorgum per ha. Alasan petani menyukai tanaman sorgum adalah karena tidak membutuhkan pengairan yang banyak, perawatan lebih ringan, produksi cukup tinggi, keuntungan usahatani lumayan, dan pasarnya masih sangat terbuka. (******)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar