Di banyak
negara termasuk Indonesia, konsep yang dianut dan mendasari hampir seluruh
kebijakan dan strategi pertanian dan penyediaan pangan adalah ketahanan pangan
(food security). Konsep ini telah
mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, dan kemudian banyak mengalami
perubahan dari sisi fokus dan pendekatan. Lalu, mulai dari pertengahan tahun
1990-an, akibat ketidakpuasan terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan
pangan dunia, muncul konsep dan pendekaan baru yaitu kedaulatan pangan (food sovereignty).
Konsep ketahanan pangan semula sederhana, luas, dan kualitatif; lalu
berubah menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif (Maxwell dan Smith,
1992). Pada dasarnya, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah
dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman
dikonsumsi. Jadi kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas
pengadaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai,
keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan,
sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi.
Pada dekade 1960-an dan 1970-an, ketika dunia dihadapkan kepada ketidakcukupan produksi pangan, definisi ketahanan pangan ditekankan kepada penyediaan pangan yang cukup (United Nation, 1975). Tahun 1983, FAO memasukkan faktor jaminan akses (FAO, 1983), lalu tahun 1986 diperluas lagi dengan memasukkan kemiskinan, pendapatan, bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik. Pada periode 1990-an, konsep ketahanan pangan lalu memasukkan keamanan pangan (food safety) dan kekurangan protein dan energi (protein-energy malnutrition) yang dibutuhkan untuk hidup secara aktif dan sehat.
Namun, lalu kemudian, menurut kalangan pro “kedaulatan pangan”, bahwa
ketahanan pangan yang semula seolah netral, telah dikooptasi oleh korporasi
swasta. Sehingga, Putaran Doha yang dimulai 2001 mengatur bahwa strategi
ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan
internasional sebagaimana diatur WTO (WTO, 2002). Kesepakatan Pertanian (The Agreement on Agriculture) yang telah disetujui berisi penurunan dukungan
negara terhadap sektor pertanian, meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian,
dan pengurangan subsidi ekspor pertanian.
Berikut digambarkan polarisasi antara kedua konsep. Ini
sesuai dengan pandangan Tramel (2009) bahwa ”Food
security and food sovereignty are represented as opposing paradigms of food
production”.
Perbedaan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan
Ketahanan pangan
|
Kedaulatan pangan
|
Definisi World
Food Summit tahun 1996: “Food security, at the individual, household, national, regional
and global level (is achieved) when all people, at all times, have physical
and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their
dietary needs and food preferences for an active and healthy life”.
|
“Food sovereignty is
the right of each nation to maintain and develop its own capacity to produce its
basic foods respecting cultural and productive diversity. We have the right
to produce our own food in our own territory. Food sovereignty is a
precondition to genuine food security.”
(Via Campesina, 2006).
|
Menurut UU No. 18 tahun 2012
tentang Pangan, “Ketahanan
Pangan” adalah kondisi terpenuhinya
Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan.
|
Kedaulatan
Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi
masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal (UU No 18 tahun 2012).
|
Dicetuskan tahun 1974 dalam
acara FAO World Food
Summit (Hari Pangan Sedunia), dan
lalu terus disempurnakan setiap waktu batasan dan pendekatannya
|
Dirumuskan tahun 1996
oleh LSM internasional La
Via Campesina. gerakan
melalui pertemuan petani yang dibentuk tahun 1992 pada Kongres The National
Union of Farmers and Livestock Owners (UNAG). Awalnya diadopsi ribuan organisasi
petani, masyarakat lokal, LSM; dan sekarang
mulai diadopsi di jajaran PBB.
|
Model produksi pertanian fokus pada produksi atau
bertipe industrial
|
Menerapkan paradigma agro-ekologis. Nilai-Nilai Humanis
dan Ekologis.
|
Model perdagangan pertanian adalah liberalisasi
|
Bersifat proteksionis.
|
Organisasi yang memimpin adalah WTO
|
Via
Campesina
|
Instrumen yang digunakan adalah AoA, Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS), SPS
|
International Planning Committee (IPC)
|
Pendekatan terhadap sumberdaya genetis tanaman, serta mendukung hak penguasaan individual
|
Anti hak paten, penguasaan sumber daya pertanian (gen, varietas, dll) secara komunal
|
Wacana tentang lingkungan menggunakan paradigma rasionalis ekonomis
|
Menggunakan paradigma rasionalisme
hijau (green rationalism)
|
Awalnya adalah strategi untuk
mengatasi kelaparan, lalu menyediakan pangan yang cukup dan sehat untuk semua
orang, baik untuk petani dan bukan petani
|
Ide dasarnya adalah mengangkat
kesejahteraan petani kecil yang
terpinggirkan oleh perdagangan dunia. Merespon pendekatan kedaulatan pangan yang kurang
berhasil dan terbukti tidak adil. Pemicunya
adalah sering terjadinya konflik dalam penggunaan sumberdaya genetik tanaman.
|
Merupakan konsep teknis. Pangan semata-mata komoditas yang
dapat diperdagangkan secara lokal dan bahkan internasional.
|
Sering dipandang sebagai konsep politik (oleh pihak
yang kontra). Menggunakna Teknologi
yang berprinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan.
|
Ketahanan pangan merupakan konsep yang bias ke
kepentingan negara-negara maju dan perusahaan multinasional.
|
Lebih menghargai budaya lokal. Menanam varietas
sendiri, dengan cara sendiri, dan memasak dengan selera sendiri. Menjunjung
tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada.
|
Dampaknya, bila pada 1960-an negara-negara berkembang merupakan eksportir pangan,
mulai awal 1990-an banyak yang berubah jadi importir neto.
|
Belum banyak dampak, karena belum diterima secara legal
dalam kebijakan pemerintahan
|
Corak pertanian adalah pertanian industrial agribisnis
|
Pertanian
yang berbasis keluarga. Tanam sendiri, dan makan
sendiri.
|
Alat pembangunan bagi kalangan developmentalis
|
Alat
bagi pembangunan yang berkeadilan sosial
|
Menerima konsep perdagangan bebas. Pangan
adalah komoditas pasar sepenuhnya.
|
Perdagangan
hanya setelah kebutuhan keluarga dan
negera terpenuhi.
|
Hak atas pangan diberikan oleh negara ke rakyat
(UU 18 tahun 2012)
|
Hak
atas pangan adalah hak konstitusional rakyat. Pemerintah tinggal menegakkan
hak pangan rakyat.
|
|
|
Kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas
pengadaannya
|
Ada 4 area prioritas atau
pilar, yaitu hak terhadap pangan, akses terhadap sumber-sumber daya produktif, Pengarusutamaan
produksi yang ramah lingkungan (agroecological
production), dan
perdagangan dan pasar lokal (IPC, 2006).
|
Alasan yang sering mengemuka dari mereka yang anti terhadap konsep kedaulatan pangan adalah karena ia merupakan konsep politik. Hal ini tampaknya mengambil pendapat Windfuhr dan Jonsen (2005) yang menyatakan ”food sovereignty is essentially a political concept”. Demikian pula dengan Lee (2007) yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan sebenarnya agak terkait dengan politik formal. Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi sendiri. Maka, reforma agraria menjadi penting. Dalam hal distribusi, kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun, perdagangan diselenggarakan apabila kebutuhan pangan individu hingga negara telah terpenuhi. Lebih jauh lagi, dalam kedaulatan pangan hak atas pangan dijamin sebagai hak konstitusional rakyat dan negara berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak tersebut. Artinya ada mekanisme realisasi dari hak atas pangan ini.
Namun
dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan yang baru, sama sekali
tidak membahas soal hak atas pangan rakyat. Tidak
adanya konsep hak atas pangan dalam UU ini, sehingga
tidak ada juga mekanisme tanggung gugat negara
sebutlah jika negara
gagal memenuhi hak atas pangan rakyatnya.
Namun demikian, antara kedua ini ada kesamaan. Keduanya lahir sebagai
dampak dari globalisasi. Sebagai sebuah
konsep, kedaulatan pangan sesungguhnya sejajar dengan ketahanan pangan, karena
yang membedakan keduanya adalah elemen di dalamnya. Saat ini, wacana kedaulatan
pangan terus berupaya mempengaruhi pendekatan ketahanan pangan, meskipun
perjuangan tersebut masih membutuhkan usaha yang cukup serius. Kedaulatan
pangan dapat diposisikan sebagai kerangka politis dan humanis dalam penerapan
ketahanan pangan yang lebih bernuansa teknis. Kedaulatan pangan tidak harus
menggantikan, namun cukup menjadi pelengkap atau pendukung untuk tercapainya
ketahanan pangan yang sejati.
Dalam UU pangan yang baru ketahanan pangan dan kedaulatan pangan diterima
keduanya, meskipun tidak jelas bagaimana posisi dan relasi antar keduanya.
Selain kedua konsep ini, juga dimasukkan konsep “kemandirian pangan”. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar