Minggu, 15 Januari 2017

Ketahanan Pangan Versus Kedaulatan Pangan



Di banyak negara termasuk Indonesia, konsep yang dianut dan mendasari hampir seluruh kebijakan dan strategi pertanian dan penyediaan pangan adalah ketahanan pangan (food security). Konsep ini telah mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, dan kemudian banyak mengalami perubahan dari sisi fokus dan pendekatan. Lalu, mulai dari pertengahan tahun 1990-an, akibat ketidakpuasan terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan pangan dunia, muncul konsep dan pendekaan baru yaitu kedaulatan pangan (food sovereignty).

Konsep ketahanan pangan semula sederhana, luas, dan kualitatif; lalu berubah menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif (Maxwell dan Smith, 1992). Pada dasarnya, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi.

Pada dekade 1960-an dan 1970-an, ketika dunia dihadapkan kepada ketidakcukupan produksi pangan, definisi ketahanan pangan ditekankan kepada penyediaan pangan yang cukup (United Nation, 1975). Tahun 1983, FAO memasukkan faktor jaminan akses (FAO, 1983)
, lalu tahun 1986 diperluas lagi dengan memasukkan kemiskinan, pendapatan, bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik. Pada periode 1990-an, konsep ketahanan pangan lalu memasukkan keamanan pangan (food safety) dan kekurangan protein dan energi (protein-energy malnutrition) yang dibutuhkan untuk hidup secara aktif dan sehat.

Namun, lalu kemudian, menurut kalangan pro “kedaulatan pangan”, bahwa ketahanan pangan yang semula seolah netral, telah dikooptasi oleh korporasi swasta. Sehingga, Putaran Doha yang dimulai 2001 mengatur bahwa strategi ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO (WTO, 2002). Kesepakatan Pertanian (The Agreement on Agriculture) yang telah disetujui berisi penurunan dukungan negara terhadap sektor pertanian, meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor pertanian.

Berikut digambarkan polarisasi antara kedua konsep. Ini sesuai dengan pandangan Tramel (2009) bahwa ”Food security and food sovereignty are represented as opposing paradigms of food production”.

Perbedaan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan
Ketahanan pangan
Kedaulatan pangan

Definisi World Food Summit tahun 1996:  “Food security, at the individual, household, national, regional and global level (is achieved) when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life”.

Food sovereignty is the right of each nation to maintain and develop its own capacity to produce its basic foods respecting cultural and productive diversity. We have the right to produce our own food in our own territory. Food sovereignty is a precondition to genuine food security.” (Via Campesina, 2006).

Menurut UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (UU No 18 tahun 2012).


Dicetuskan tahun 1974 dalam acara FAO World Food Summit (Hari Pangan Sedunia), dan lalu terus disempurnakan setiap waktu batasan dan pendekatannya
Dirumuskan tahun 1996 oleh LSM internasional La Via Campesina. gerakan melalui pertemuan petani yang dibentuk tahun 1992 pada Kongres The National Union of Farmers and Livestock Owners (UNAG). Awalnya diadopsi ribuan organisasi petani, masyarakat lokal, LSM; dan sekarang mulai diadopsi di jajaran PBB.
Model produksi pertanian fokus pada produksi atau bertipe industrial
Menerapkan paradigma agro-ekologis. Nilai-Nilai Humanis dan Ekologis.
Model perdagangan pertanian adalah liberalisasi
Bersifat proteksionis.
Organisasi yang memimpin adalah WTO
Via Campesina
Instrumen yang digunakan adalah AoA, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), SPS
International Planning Committee (IPC)
Pendekatan terhadap sumberdaya genetis tanaman, serta mendukung hak penguasaan individual
Anti hak paten, penguasaan sumber daya pertanian (gen, varietas, dll) secara komunal
Wacana tentang lingkungan menggunakan paradigma  rasionalis ekonomis
Menggunakan paradigma rasionalisme hijau (green rationalism)
Awalnya adalah strategi untuk mengatasi kelaparan, lalu menyediakan pangan yang cukup dan sehat untuk semua orang, baik untuk petani dan bukan petani
Ide dasarnya adalah mengangkat kesejahteraan petani kecil yang terpinggirkan oleh perdagangan dunia. Merespon pendekatan kedaulatan pangan yang kurang berhasil dan terbukti tidak adil. Pemicunya adalah sering terjadinya konflik dalam penggunaan sumberdaya genetik tanaman.
Merupakan konsep teknis. Pangan semata-mata komoditas yang dapat diperdagangkan secara lokal dan bahkan internasional.

Sering dipandang sebagai konsep politik (oleh pihak yang kontra). Menggunakna Teknologi yang berprinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Ketahanan pangan merupakan konsep yang bias ke kepentingan negara-negara maju dan perusahaan multinasional.
Lebih menghargai budaya lokal. Menanam varietas sendiri, dengan cara sendiri, dan memasak dengan selera sendiri. Menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada.
Dampaknya,  bila pada 1960-an negara-negara berkembang merupakan eksportir pangan, mulai awal 1990-an banyak yang berubah jadi importir neto.
Belum banyak dampak, karena belum diterima secara legal dalam kebijakan pemerintahan
Corak pertanian adalah pertanian industrial agribisnis
Pertanian yang berbasis keluarga. Tanam sendiri, dan makan sendiri.
Alat pembangunan bagi kalangan developmentalis
Alat bagi pembangunan yang berkeadilan sosial
Menerima konsep perdagangan bebas. Pangan adalah komoditas pasar sepenuhnya.
Perdagangan hanya setelah kebutuhan keluarga dan negera terpenuhi.
Hak atas pangan diberikan oleh negara ke rakyat (UU 18 tahun 2012)
Hak atas pangan adalah hak konstitusional rakyat. Pemerintah tinggal menegakkan hak pangan rakyat.


Kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya
Ada 4 area prioritas atau pilar, yaitu hak terhadap pangan, akses terhadap sumber-sumber daya produktif, Pengarusutamaan produksi yang ramah lingkungan (agroecological production), dan perdagangan dan pasar lokal (IPC, 2006).


Alasan yang sering mengemuka dari mereka yang anti terhadap konsep
kedaulatan pangan adalah karena ia merupakan konsep politik. Hal ini tampaknya mengambil pendapat Windfuhr dan Jonsen (2005) yang menyatakan ”food sovereignty is essentially a political concept”. Demikian pula dengan Lee (2007) yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan sebenarnya agak terkait dengan politik formal. Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi sendiri. Maka, reforma agraria menjadi penting. Dalam hal distribusi, kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun, perdagangan diselenggarakan apabila kebutuhan pangan individu hingga negara telah terpenuhi. Lebih jauh lagi, dalam kedaulatan pangan hak atas pangan dijamin sebagai hak konstitusional rakyat dan negara berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak tersebut. Artinya ada mekanisme realisasi dari hak atas pangan ini.

Namun dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan yang baru, sama sekali tidak membahas soal hak atas pangan rakyat. Tidak adanya konsep hak atas pangan dalam UU ini, sehingga tidak ada juga mekanisme tanggung gugat negara sebutlah jika negara gagal memenuhi hak atas pangan rakyatnya.

Namun demikian, antara kedua ini ada kesamaan. Keduanya lahir sebagai dampak dari globalisasi. Sebagai sebuah konsep, kedaulatan pangan sesungguhnya sejajar dengan ketahanan pangan, karena yang membedakan keduanya adalah elemen di dalamnya. Saat ini, wacana kedaulatan pangan terus berupaya mempengaruhi pendekatan ketahanan pangan, meskipun perjuangan tersebut masih membutuhkan usaha yang cukup serius. Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai kerangka politis dan humanis dalam penerapan ketahanan pangan yang lebih bernuansa teknis. Kedaulatan pangan tidak harus menggantikan, namun cukup menjadi pelengkap atau pendukung untuk tercapainya ketahanan pangan yang sejati.

Dalam UU pangan yang baru ketahanan pangan dan kedaulatan pangan diterima keduanya, meskipun tidak jelas bagaimana posisi dan relasi antar keduanya. Selain kedua konsep ini, juga dimasukkan konsep “kemandirian pangan”. ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar