Pendekatan cetak biru (blue print) adalah pendekatan yang
seragam harus sama yang disusun oleh pihak atas.
Sedangkan learning process lahir
sebagai upaya untuk memperbaiki pendekatan cetak biru. Pendekatan blue print dilabeli sebagai pendekatan
yang “penuh dosa”. Orang yang
menjalankannya pun dicap sebagai pihak yang
otoriter.
Antara kedua
pendekatan ini dapat dikatakan begitu berbalikan satu sama lain. Pendekatan
cetak biru dilakukan biasanya karena pemerintah telah menyusun target
pembangunan yang ketat, dimana target setiap unit wilayah juga sudah digariskan.
Untuk mencapainya telah disusun pedoman dengan bentuk yang kaku, cara yang sama
persis, dan petugas pun telah diberikan pelatihan secara ketat. Pelaksanaan
Bimas sampai Insus di Indonesia sering disebut telah menggunakan pendekatan
ini. Sering kejadian padi petani dicabutin petugas karena menanam varietas yang
berbeda, belum waktunya, atau menanam
dengan teknologi berbeda. Kelebihan cara ini adalah lebih cepat dalam
prosesnya.
Sebaliknya, dalam
pendekatan process belajar (learning
process), komunikasi lebih dua arah, partisipasi berlangsung, dan demokrasi
berjalan. Tentu saja hasil kegiatan akan berbeda-beda antar wilayah, dan
kecepatan proses pun bervariasi. Namun, pendekatan ini lebih memanusiakan
petani.
Perbedaan
dua kutub
pendekatan antara blue print dengan learning
process
|
Blue print
|
Learning process
|
Asumsi utama
|
Semua masalah dan tujuan dapat dengan mudah dikenali
|
Pihak luar tidak akan mampu memahami masalah
dengan tepat, sehingga kebutuhan hanya dapat dirumuskan dengan melibatkan
partisipan
|
Kebutuhan rancangan program
|
Lebih mengutamakan rancangan progam, kualifikasi petugas
tidak terlalu penting
|
Rancangan program tidak ketat sekuennya. Perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi dapat tumpang tindih.
|
Kebutuhan kepada peran ekspert
|
Bergantung kepada tenaga ekspert sebagai
perancang program
|
Masyarakat bekerja bersama-sama ekspert untuk
merumuskan rancangan program
|
Kebutuhan pada teknologi
|
Teknologi baru merupakan andalan utama
|
Kebutuhan teknologi tidak mesti menjadi prioritas utama.
|
Organisasi peserta
|
Cenderung mengintroduksikan organisasi baru yang
sudah “dicetak” dari pusat, bentuknya seragam
|
Lebih mengutamakan organisasi yang ada dengan
melakukan perbaikan di sana-sini.
|
Kegiatan evaluasi
|
Evaluasi dilakukan hanya di akhir kegiatan
|
Evaluasi tengah (mid-project
evaluation) sangat penting
|
Komunikasi yang berjalan
|
Hanya searah, tidak ada partisipasi,
hanya ada sosialisasi dan mobilisasi
|
Lebih demokratis, komunikasi dua
arah, dan partisipasi berjalan baik.
|
Brinkerhoff
dan Ingle (2006) mencoba menggabungkan antara “blueprint”
dengan “process”. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan
menerapakan rencana kerja yang
sangat detail dan matang justeru tidak
mampu memberikan hasil yang lebih baik, dan juga tak menjamin keberlangsungannya. Maka disarankan
untuk menghindari target yang terlalu ketat (specifying targets) dan lebih fokus pada pemecahan masalah
saja.
Pendekatan blueprint terbukti tidak tepat, dan sering tidak sesuai dengan kondisi lapang. Mereka menyarankan pendekatan proses
(the process approach) atau disebut juga pendekatan yang flesibel (flexibility approach). Ini menggabungkan antara model blueprint dengan model yang fleksibel dan iterative
learning orientation. Pencampuran ini mampu memberikan dasar pada
pelaksanaan dan juga pemberi dana serta birokrasi pemerintah, menghadapi
berbagai perubahan yang mungkin dihadapi di lapangan (uncertain and changing task environments). Pendekatan ini pernah
dijalankan di Karibia, Portugal, dnd Pakistan; yang dikenal dengan “the structured flexibility approach” (De Loma-Osorio and Zepeda, 2013).
Pendekatan yang kurang memberi
kematangan proses menyebabkan tidak berkembangnya
kultur organisasi. Kultur organisasi (organizational culture) adalah “
…. the collective
behaviour of people that are part of an organization, it is also formed by the
organization values, visions, norms, working language, systems, and symbols, it
includes beliefs and habits”. Jika dipaksakan, maka kultur yang lahir lebih pada “kultur pragmatis”, bukan
“kultur yang normatif”. Dalam organisasi normatif (normative organization), maka organisasi akan berupaya dengan
sekuat tenaga menjalankan organisasi sesuai dengan prosedur (organizational procedures in the correct
manner) sesuai dengan norma dan aturan yang telah disepakati. Organisasi
petani Indonesia cenderung mengembangkan kultur yang prgmatis (pragmatic
culture), dimana organisasi
lebih mengutamakan kepuasan pihak-pihak lain (their clients) meskipun sesungguhnya tidak mengikuti aturan dan
prosedur yang telah digariskan sebelumnya.********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar