Reforma agraria merupakan salah satu
konsep yang penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namu demikian,
konsep ini masih diliputi oleh berbagai ketidaksepahaman. Banyak yang ngomong, banyak tulisan, tapi banyak
pula yang bingung sendiri. Berikut adalah temuan saya sendiri, yang menurut
saya lebih jelas dan sistematis membedakan apa dan bagaimana memahami reforma
agraria. Pada literatur Indonesia maupun berbahasa Inggris,
tidak mudah menjelaskan secara enak apa itu landreform
dan reforma agraria (terjemahan dari agararian
reform).
Dalam konteks
agraria, dua konsep penting yang paling sering menjadi perhatian adalah “reforma
agraria” dan “landreform”. “Reforma agraria”, atau pembaruan agraria, berasal
dari kata “agrarian reform”. Dalam
salah satu tulisannya, Wiradi (1984: 313-314) menyatakan: ”Ada yang mengatakan
bahwa land reform adalah sebagian
dari agrarian reform, ada yang
mengatakan sebaliknya, dan ada yang berpendapat bahwa kedua istilah itu sama
saja”. Di Indonesia tampaknya yang dianut adalah bahwa landreform merupakan bagian dari agrarian reform. Artinya, landreform
dipakai untuk hal sekitar redistribusi tanah, sedangkan agrarian reform kepada pengertian yang
lebih luas dan komprehensif, menyangkut berbagai persyaratan yang dapat
mempengaruhi sektor pertanian.
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria
didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya
agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point yang ditulis
tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan
dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas
berbeda. Yang pertama bicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan
tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik.
Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu
“penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di
sisi lainnya.
Kedua
sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring
dalam pembaruan agraria. Namun sayangnya, sebagian besar pihak hanya tertarik
kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut
dengan aspek landreform.
Sisi
pertama saya sebut dengan “aspek landreform”
dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”.
Ini adalah pemilahan ciptaan saya sendiri yang sudah saya
tulis di beberapa jurnal. Landreform
adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara,
komponen “non-landreform” adalah
bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian “soil”, yaitu dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan
infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan
pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, reforma agraria - atau
pembaruan agraria - tidaklah semata-mata landreform,
namun landreform yang dilengkapi
dengan berbagai hal lain, sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut
menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan sekumpulan aktifitas bagaimana
penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya.
Di Indonesia, sebagaimana dalam UUPA No. 5 tahun
1960, aspek penguasaan ditempatkan jauh lebih penting dari aspek penggunaan.
Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh
isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA
hanya berisi 58 pasal. Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan
mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki
(oleh seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta).
Struktur
permasalahan agraria di Indonesia, serta apa yang dapat dilakukan pada
masing-masing aspek tersebut disajikan pada tabel berikut.
Aspek
landreform dan non landreform pada reforma agraria
|
Aspek Landreform
|
Aspek Non-Landreform
|
Objeknya
|
Berkenaan dengan
perihal penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber daya agraria lain (air,
ruang bawah tanah, dan ruang udara)
|
Berkenaan dengan perihal penggunaan dan
pemanfatan tanah dan sumber daya agraria lain.
|
Yang diatur
|
Siapa menguasai sebidang tanah,
apakah individu, badan usaha, atau negara. Apakah berupa hak milik, hak guna
usaha, sewa, bagi hasil, atau pinjam.
|
Apakah sebidang
tanah tertentu lebih cocok untuk ditanami padi, sawit, atau bikin pabrik.
|
Faktor-faktor pembentuknya
|
Dibentuk oleh faktor
tatanan hukum (negara dan adat), tekanan demografis, kondisi ekonomi (misal lapangan kerja
non-pertanian), dan lain-lain.
|
Dibentuk oleh faktor
geografi, topografi, kesuburan tanah,
infrastruktur yang ada, kondisi ekonomi lokal-global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan usaha pertanian, dan
lain-lain
|
Masalah yang dihadapi
|
Konflik penguasaan dan pemilikan
secara vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum (antara UUPA dan
“turunannya”), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit
oleh petani sehingga tidak ekonomis, ketidaklengkapan dan inkosistensi data.
|
Degradasi tanah
akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis,
konflik penggunaan dan pemanfaatan secara vertikal dan horizontal, serta
tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah. Peta
penggunaan tanah juga belum jelas dan memadai.
|
Aktifitas Pembaruan Agraria yang relevan
|
Penetapan objek
tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara
pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan
(misal perbaikan sistem penyakapan), dan penertiban tanah guntay (absentee)
|
Berbagai bentuk
pengelolaan dan pengusahaan tanah, penyediaan infrastruktur pendukung,
peningkatan produktifitas tanah, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian
kredit usahatani, penyuluhan dan penelitian, penyediaan pasar pertanian,
serta pengembangan organisasi petani.
|
Pihak yang bertanggung jawab
|
Badan Pertanahan
Nasional dari pusat sampai daerah, mungkin juga Bappenas dan masyarakat adat,
yang merasa memiliki otoritas dalam hal penguasaan tanah.
|
Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, dan departemen lain
yang berkepentingan dengan penggunaan tanah.
|
Kelompok studi
|
Land tenure. Yakni hak atas tanah atau penguasaan tanah,
atau tepatnya tentang status hukum dari penguasaan tanah (hak milik, gadai,
bagi hasil, sewa menyewa, dan juga kedudukan buruh tani).
|
Land tenancy. Lebih kepada
pendekatan ekonomi, yaitu menyangkut tentang penggarapan tanah dan
seterusnya.
|
Penstrukturan terhadap konsep ini sangat penting, karena
Kementerian Pertanian misalnya hanya memiliki otoritas pada aspek non-landreform. Ketika landreform masih tinggal menjadi wacana,
Kementan sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya,
Kementan hanya mampu mewujudkan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform
berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika
infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini
penulis temukan di Sukabumi, dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari
kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah lalu menjualnya kepada orang kota
karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang
lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah
(Sumaryanto et al., 2002). *******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar