Sabtu, 25 Oktober 2014

Peternakan vs Perikanan

Kita sangat jarang mempertentangkan apakah kita harus memilih mengembangan industri peternakan atau mengembangkan perikanan? Juga kita jarang bertanya, mengapa sampai sekarang kita tidak pernah bisa swasembada sapi, tapi ikan kita dicuri orang tiap malam? Kita ga pernah merasa telah bersalah telah salah memilih komoditas. Akar kesalahan sesungguhnya ini terjadi dulu di awal tahun 1970-an saat kita mulai merancang arah kita.

Penyebab teknisnya saat ini adalah kebetulan  keduanya (ternak dan ikan) ini berada di departemen yang berbeda, sehingga hampir-hampir tidak pernah duduk di satu meja. Kenapa kita tidak bertanya: dari mana kita bisa memenuhi kebutuhan protein penduduk? Mengapa harus petenakan, mengapa pula harus “daing sapi”? Protein bisa bersumber dari  protein hewani, bisa protein nabati. Dari kelompok hewan ada ayam kampung, puyuh, bebek, kerbau, kambing, domba, babi, kuda, dan sapi; tapi jarang terfikir ada ikan. Ada ikan laut, ikan darat, ikan tambak air payau, ikan karamba, lele, ikan nila, mujair, dan lain-lain.

Ya, kekeliruan ini bisa ditelusuri semenjak para bule ramai “membantu” kita. Sebagai anak manis kita pun oke-oke saja memilih pasokan protein masyarakat akan kita penuhi dari peternakan, utamanya sapi dan ayam negeri. Ini mudah dipahami jika pernah baca buku “Confessions of an Economic Hit Man yang ditulis oleh John Perkins (terbit tahun 2004). Buku ini berisi pengakuan Perkins sebagai "perusak ekonomi" (economic hitman). Tugasnya adalah meyakinkan pemimpin politik dan finansial negara berkembang untuk setuju berutang besar. Setelah tidak bisa membayar, negara tersebut dipaksa tunduk terhadap tekanan politik mereka. Ini tentu bukan barang baru. Semenjak tahun 1970-an para ahli telah merumuskan Teori Ketergantungan (Dependency Theory). Setiap negara yang menjadi pasien “pembangunan”, tidak pernah benar-benar dibantu. Negara maju hanya memerangkap negara-negara berkembang agar tetap tergantung kepada mereka. Menurut Dos Santos ada 3 bentuk ketergantungan yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan finansial-industrial, dan ketergantungan teknologis-tndustrial.

Kita telah diarahkan untuk menyingkirkan perikanan. Dulu, sangat sulit peneliti bisa sekolah perikanan ke luar negeri. Fakultas perikanan juga berkembang agak belakangan di tanah air. Tidak banyak kampus yang bisa mengajarkan perikanan di luar negeri. Perikanan baru menjadi penting sebutlah setelah dibentuknya Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) tahun 2000 sesuai Kepres No 165 Tahun 2000 era Presiden Gus Dur.

Buktinya adalah begitu banyak fakultas peternakan dibangun pada era 1980-an, begitu mudah sekolah ke luar negeri untuk menjadi ahli peternakan, dan balai-balai penelitian ternak juga dibangun cepat. Lembaga Penelitian Peternakan telah lama ada di Bogor. Awal didirikannya bernama Balai Penelitian Umum tahun 1950, lalu menjadi Balai Penyidikan Peternakan tahun 1952, Pusat Balai Penyelidikan Peternakan  tahun 1956, Lembaga Penelitian Peternakan (1961), Lembaga Peternakan (1966), Lembaga Penelitian Peternakan (1967), dan lalu Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi dibentuk pada tahun 1981.

Pemikiran ini tidak lah terjadi begitu saja, namun ada sutradara di belakangnya. Negara-negara maju dalam kerangka politik  developmentalis menginginkan demikian. Mereka tidak ingin negara berkembang mandiri. Jika Indonesia menggantungkan pada perikanan, Indonesia akan mandiri. Mereka ga happy!

Perbandingan jika kita mengembangan peternakan atau perikanan

Peternakan
Perikanan

Komoditas utama adalah ruminansia besar (sapi), ruminansia kecil (kambing dan domba), unggas (ayam broiler), dan telur.

Perikanan tangkap di laut dan budidaya (kolam, tambak, dan karamba)
Ketergantungan kepada luar tinggi, dan terbukti sampai sekarang kita belum mandiri.
Ketegrantungan pada impor rendah, bahkan tidak ada. Jika ini yang dipilih, kita sudah mandiri dengan sumber protein hewani sejak dulu.
Komponen impor berupa bibit ternak, pakan, dan obat-obatan, daging sapi, dan sapi hidup.
Impor untuk kapal, mesin, jaring, dan dan alat perlengkapannya.
Pelaku yang potensial adalah perusahaan-perusahaan besar pemegang hak parent stock ayam, importir besar, industri pakan, dan konco-konconya
Usaha kecil milik rakyat, yaitu nelayan, tukang keramba, petani ikan, dan lain-lain. Masyarakat mampu membuat sendiri kapal payang, purse seine, pancing, dan jaring.  


Bukti kekeliruan ini dapat kita saksikan saat ini. Kita tetap saja tidak bisa swasembada daging. Kita masih bergantung pada impor, yakni impor daging dan sapi hidup. Juga impor bibit ayam, impor pakan, dan impor obat-obatan. Sebaliknya, ikan-ikan kita diekploitasi di bawah potensinya, dan bahkan dicuri oleh nelayan asing.

Target swasembada daging sapi telah mundur berkali-kali. Pernah ditetapkan Tahun 2010, lalu tahun 2012, lalu mundur lagi ke 2014. Untuk peternakan ini, kita sering menipu masyarakat dengan membelokkan istilah. Kita gunakan “swasembada daging”, sehingga bisa mengimpor sapi hidup dari Australia. Dagingnya memang diproduksi disini tapi sapi nya jelas bukan sapi sini.

Bibit, obat dan pakan ternak kita masih impor. Tahun 2013, meskipun disebutkan bahwa kebutuhan daging ayam dan telur di tanah air sudah swasembada, tetapi kebutuhan bibit unggas, obat hewan serta pakan ternaknya sebagian besar masih diimpor. Informasi dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia,  impor grand parent stock (GPS) atau ayam bibit pada Januari-November 2011 mencapai 434.000 ekor. Sudah 60 tahun, industri pembibitan di tanah air belum juga berkembang. Kebutuhan bibit ayam 31 juta ekor per pekan atau sekitar 1,6 miliar ekor setahun (tahun 2013). Industri pembibitan ayam ras masih terbatas. Hanya ada 11 perusahaan grand parent stock dan 34 perusahaan yang bergerak dibidang parent stock. Semua perusahaan ini masih mengusahakan sumber induk dari impor. Ayam induk impor itu nantinya menghasilkan telur yang harus ditetaskan menjadi anak ayam. Penetasan DOC memerlukan alat yang masih diimpor dari AS, Eropa, dan China.

Ketergantungan impor bibit grant parent stock (GPS) masih 100 persen. Untuk pakan, impor jagung pada tahun 2012 misalnya sebesar 1,9 juta ton, dari kebutuhan sebanyak 9,9 juta ton. Pakan ternak ini digunakan untuk pakan ayam pembibitan (45%), pakan ayam petelur (44%), dan pakan ayam broiler (9%). Untuk impor sapi, fee impornya sangat menarik dan telah menjadi bancakan pejabat dan broker partai politik. Untuk pakan ternak, tahun 2011 konsumsi pakan ternak nasional 10,3 juta ton, yang komponennya adalah jagung sebesar 5,3 juta ton, bungkil kedelai 1,85 juta ton, dedak 1,5 juta ton, pollard 1,03 juta ton, tepung ikan 515 ribu ton. Kebutuhan jagung masih mengandalkan impor. Mengapa impor? Karena suplai impor datang dari traders yang nota bene adalah jaringan perusahan peternakan itu sendiri.

Sebaliknya untuk perikanan, selama ini pencurian ikan oleh nelayan-nelayan Thailand sangat sering terjadi juga nelayan Filipina, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Taiwan, dan juga China. Sepanjang 2007-2012, kapal pengawas KKP telah menangkap 1.029 kapal pencuri ikan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada 2008 lalu pencurian ikan telah merugikan Indonesia Rp 30 triliun per tahun. Jumlah ini sangat cukup untuk membeli daging sapi Autralia yang bikin ribut tersebut. 

Hasil produksi perikanan Indonesia saat ini baru menempati urutan keempat di dunia dengan 9,5 juta ton per tahun, terdiri dari 5,5 juta ton hasil perikanan tangkap dan 4 juta ton produk budidaya perikanan. Potensi lestari perikanan laut Indonesia sekitar 6,5 juta ton/tahun, artinya baru dimanfaatkan sebesar 77 persen. Untuk budidaya laut, nelayan Indonesia baru menggunakan 10 persen dari potensi yang ada.  Dalam buku Kementan (2013) disebutkan bahwa potensi untuk usaha budidaya perikanan di Indonesia sekitar 15,59 juta hektar yang terdiri dari budidaya air tawar seluas 2,23 juta hektar, payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar. Dari seluruh potensi tersebut tingkat pemanfaatannya baru sekitar 10 persen untuk budidaya air tawar, 40 persen budidaya air payau, dan yang paling parah pada budidaya air laut yang baru 0,01 persen.

Sudahlah kondisinya demikian, kebijakan pemerintah sering pula tidak berpihak. Dalam tulisan “Eksploitasi Ikan Dinilai Dilegalkan” (Kompas, 20 Februari 2013.), Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan keistimewaan bagi kapal pukat cincin berbobot mati 1.000 gros ton (GT) untuk menangkap ikan di perairan lebih dari 100 mil, melakukan alih muatan ikan di tengah laut, dan mengangkutnya ke luar negeri. Sebaliknya, seluruh kapal ikan berbobot di bawah 1.000 GT diwajibkan untuk mendaratkan ikan di pelabuhan Indonesia. Masalahnya, Indonesia selama ini belum pernah memiliki kapal penangkap ikan berbobot lebih dari 1.000 GT. Sebanyak 96 persen dari 350.000 unit kapal tangkap ikan saat ini berbobot mati di bawah 30 GT. Maka, kebijakan pemerintah mendatangkan kapal-kapal pukat cincin di atas 1.000 GT akan melemahkan daya saing nelayan Tanah Air. Perlakuan khusus bagi kapal di atas 1.000 GT untuk mengambil ikan dan mendaratkan ke luar negeri telah membuka pintu bagi pencurian ikan di laut Indonesia.


Ketentuan ini tertuang dalam Permen Kelautan dan Perikanan No 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.  Artinya, kapal-kapal besar ini punya keistimewaan beroperasi tunggal di area lebih dari 100 mil, melakukan alih muatan ikan di tengah laut untuk diangkut langsung ke luar negeri. Jika kapal besar itu adalah milik investor asing, maka tamatlah kita. 

******

Jumat, 24 Oktober 2014

Penyuluhan Lama vs Penyuluhan Baru


Penyuluhan pertanian (agricultural extension) diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat, perbendaharaan informasi yang memadai dan mampu memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Seluruh aktifitas penyuluhan berpedoman pada azas pokoknya yaitu “menolong petani agar ia mampu menolong dirinya sendiri” (Sumintareja, 1987).

Dalam pengertian umum, penyuluhan pertanian adalah “… the application of scientific research and new knowledge to agricultural practices through farmer education”. Tujuan utama penyuluhan adalah “…to assist farming families in adapting their production and marketing strategies to rapidly changing social, political and economic conditions so that they can, in the long term, shape their lives according to their personal preferences and those of the community”. Ada tiga objek yang mau dirubah dalam kegiatan penyuluhan, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Perubahan perilaku adalah tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan, yaitu bertambahnya perbendaharaan informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki (Yustina dan Sudrajat, 2003).

Fungsi utama penyuluh pertanian adalah sebagai mata rantai (change agent linkage) antar pemerintah sebagai change agency dengan masyarakat petani sebagai client system-nya. Agar dapat menjalankan tugasnya, seorang penyuluh harus menguasai metoda penyuluhan dengan baik serta mengerti sosiologi dan psikologi, dan paham pula ilmu dan teknologi pertanian.

Penyuluhan konvensional banyak menuai kritik. Hadirnya sosok penyuluh “kebetulan” bersamaan dengan ramainya Revolusi Hijau,  sehingga kritik terhadap revolusi hijau dianggap juga merupakan tanggung jawab dari penyuluh. Revolusi Hijau dikritik karena menghasilkan polusi kimia berlebihan, penyeragaman komoditas, memperbesar ketergantungan petani, dan sering paket-paket yang disampaikan tidak cocok dengan kebutuhan petani. Metode LAKU (Latihan dan Kunjungan) juga dikritik karena pengetahuan cenderung berjalan searah dari atas ke bawah, dan rada memaksa.

Dampak negatif Revolusi Hijau membuat orang-orang mulai mempersoalkan pula pendekatan “penyuluhan”. Sebagian orang yang tidak senang memunculkan konsep tandingan misalnya “pemberdayaan”. Maksudnya, pemberdayaan jauh lebih baik daripada penyuluhan. Penyuluhan yang dalam prakteknya cenderung memaksakan teknologi ke petani dianggap kurang manusiawi. Namun, sebagian orang tetap bertahan dengan konsep penyuluhan. Mereka berkeyakinan, bahwa tidak ada yang salah dengan “penyuluhan”. Maka, mereka merumuskan pendekatan baru untuk penyuluhan.

Perbandingan penyuluhan berparadigma lama dengan yang baru

Penyuluhan lama
Penyuluhan baru

Penanggung jawab penyuluhan

Semata-mata adalah tanggung jawab pemerintah nasional, sebagai pelayanan untuk warga

Melihat penyuluhan sebagai seperangkat fungsi, yang dapat dijalankan oleh beragam pihak, pada berbagai level, tidak mesti pemerintah
Fungsi penyuluhan
Untuk mentranfer teknologi, agar produksi komoditas meningkat
Tugas penyuluhan lebih luas, karena mencakup pula upaya untuk memobilisasi, mengorganisasikan, dan sekaligus mendidik petani.
Posisi penyuluhan
Terpisah dengan instansi lain. Penyuluh berada dalam kantornya sendiri.
Koheren. Penyuluhan sebagai sistem pengetahuan yang komprehensif, tidak terpisah antara penemuan teknologi dengan transfernya. Penyuluh digabung dengan peneliti dan staf pendukung lain.
Model transfer teknologi
Linear, sekuensial, dan satu arah
Lebih realistik, siklis, dan dinamis (antara petani, peneliti, penyuluh dan guru)
Desain proyek
Menurut perspektif pengajar, anggaran disediakan untuk kegiatan pengajaran
Memungkinkan untuk mengembangkan learning model, melibatkan para stakeholders utama
Pendekatan
Lip sevice. Menyuluh adalah menyampaikan teknologi.
Mengambil resiko dengan melibatkan teknologi informasi eksperimental, mengaitkan penelitian, manajer penyuluhan, dan organisasi petani.
Jenis penyuluh
Penyuluh hanya staf pegawai pemerintah
Sesuai dengan UU No 16 tahun 2006 ada 3 jenis penyuluh yaitu penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya (dari petani) dan penyuluh swasta.


Namun, ada pula ahli yang merasa istilah “penyuluhan” itu sendiri sudah tidak mampu lagi menampung konsepnya yang baru. Ia menyebutnya dengan komunikasi untuk inovasi, sebagai mana dijelaskan berikut ini. 

******

Gapoktan vs Koperasi


Dari sisi bangun organisasi dan tujuan pembentukannya, sesungguhnya Gapoktan dan koperasi sama dan sebangun. Kongruen total. Masalahnya sederhana, karena Gapoktan adalah anak kandungnya Departemen Pertanian dan koperasi ada di bawah Departemen Koperasi. Anda tahu sendiri, di Indonesia tiap departemen harus meninggalkan jejak yang jelas di desa. Makanya, dipandang “haram” jika bantuan dari pertanian jatuh ke koperasi, dan sebaliknya.

Ego sektoral. Lalu, siapa yang korban? Ya, petani. Petani dipaksa membuat segala macam organisasi, suka atau tidak, masuk akal atau ngaco. Dengan sistem hukum yang eksis di Indonesia, kedudukan koperasi lebih kuat karena ia bisa diberi Badan Hukum, sedangkan Gapoktan tidak. Jika mau berlebar hati, kenapa tidak sejak awal kita bangun saja organisasi yang pada akhirnya  lebih mantap secara hukum, yakni koperasi atau badan usaha lain.

Perbedaan aspek keorganisasian Gapoktan dan koperasi

Gapoktan
Koperasi
Legalitas
Tidak berbadan hukum, lebih lemah. Hanya terdaftar dengan SK kepala Dinas Pertanian
Berbadan hukum, lebih kuat.
Level organisasi
Merupakan intergroup association, representatives of groups, atau secondary level  organization
Sama. Individual organization nya adalah koperasi primer, dan  secondary level organization nya adalah koperasi sekunder
Anggotanya
Kelompok tani, kelompok ternak, kelompok wanita tani, dan kelompok taruna tani
Koperasi primer
Kendala birokratis “psikologis”
Hanya bisa menerima bantuan dari Kementan
Menerima bantuan dari Kemenkop dan UKM, padahal secara hukum bisa dari mana saja.
Cakupan pelayanan
Memiliki tujuan  multipurpose, mulai dari pembelian input, pengelolaan kolektif usaha, pengolahan sampai pemasaran.
Dulu bersifat multipurpose, boleh mengerjakan apa saja kebutuhan petani. Semenjak UU no. 17 tahun 2012 hanya bersifat single purpose. Menurut pasal 83 hanya ada 4 koperasi yaitu koperasi konsumen, produsen, jasa, dan simpan pinjam.
Dasar hukum
Permentan 273/2007, lalu diperbaharui dengan Permentan No 82 tahun 2013.
Aturan yang terbaru adalah UU No. 17 tahun 2012

Menghadapi kekisruhan ini, yang akarnya tentu saja keegoan masing-masing, maka lahirlah Nota Kesepakatan bersama Menteri Pertanian dan Kementerian Koperasi dan UKM (No. 01/Mentan/MOU/OT.220/I/2011 dan No. 01/NKB/M.KUM/I/2011) tentang Pembinaan dan Fasilitasi Gapoktan untuk membentuk koperasi pertanian.
Disini disepakati bahwa: (1) Kementan bertanggung jawab dalam pengembangan sistem pemberdayaan petani dan kelembagaan petani, (2) Pengembangan Gapoktan diarahkan untuk meningkatkan kekuatan, status dan daya tawar petani, (3) Gapoktan diarahkan untuk membentuk “koperasi pertanian” (istilah ini tidak ada dalam UU No 17 tahun 2012 ), dan (4) Gapoktan dilatih dan difasilitasi untuk dapat badan hukum.


Nota kesepakatan ini agak sembrono. Akar masalahnya ada pada basis berfikirnya. Gapoktan adalah secondary level organization yang “anggotanya” kelompok tani, jika Gapoktan langsung jadi koperasi, maka ia adalah koperasi primer (individual organization) yang anggotanya adalah orang (individu). Lalu, jika mau membentuk koperasi sekunder, maka harus dibentuk dulu individual organization-nya yakni setidaknya tiga koperasi primer. Apakah kelompok tani akan menjadi koperasi primer juga? Lalu, bagaimana pemilahan peran antara kelompok tani dan koperasi, dan organisasi-organisasi yang lain. 

*****