Tepatnya, apa yang saya ingin
bandingkan disini adalah apa beda pembangunan pertanian melalui landreform versus pembangunan pertanian
yang menggunakan pendekatan agribisnis tanpa landreform. Memang kita tahu, bahwa yang resmi dipakai pemerintah
adalah “agribisnis”. Landreform hanya
penghias di ruang diskusi, seminar, dan meramaikan demo jalanan.
Mungkin banyak yang ga senang, kenapa harus melihat kedua
pendekatan ini sebagai dikotomis. Ya tentu, saya sepakat bahwa antara landreform dan agraria tidak saling
meniadakan, keduanya bisa berjalan seiring berpegangan tangan. Ini hanya
sekedar mempertajam pemahaman kita saja. Sekali lagi, sebagaimana sudah
disampaikan di Pengantar, dengan membandingkan begini diagnosis kita jika
menghadapi masalah menjadi lebih tajam. Ini hanya tool saja. Dengan membedakan, maka kita bisa memilah dimana letak
biang keroknya. Sebutlah, mengapa kesejahteraan petani jalan di tempat? Ya,
karena dengan lahan yang hanya seperempat lapangan bola, tidak cukuplah
memenuhi makan 5 sampai 6 perut tiga kali saban hari. Di Jawa Tengah dan Yogya
misalnya, banyak petani yang hanya menggarap sawah seluas 1000 m2 bahkan
kurang.
Nah, jika kita memilih landreform sebagai basis pembangunan
pertanian kita, maka kondisinya sebagaimana dibeberkan di kolom kiri matrik
berikut. Tapi kalau agribisnis yang kita pilih, kolom kanan lah hasilnya.
Kenapa revolusi hijau yang banyak dapat pujian tapi tidak mampu mensejahterakan
petani? Ya, karena dilakukan tanpa landreform.
Perbandingan
pembangunan pertanian jika berbasiskan landreform
dengan berbasiskan agribisnis
Pembangunan
pertanian melalui landreform
|
Pembangunan pertan
melalui agribisnis (tanpa landreform)
|
Syarat
utamanya adalah tiap keluarga petani menguasai lahan yang cukup, misal 2 ha
per keluarga.
|
Tidak ada batas minimum
penguasaan lahan per rumah tangga petani, lahan sesempit apapun bisa diakali.
Unit perhatiannya bukan pada keluarga petani, bukan pada manusia; tapi lebih
kepada produksi pertanian nasional. Pada analisis wilayah.
|
Cukup
sekali, meski berat secara politis dan anggaran
|
Perlu upaya terus menerus, membebani
anggaran pemerintah terus menerus tanpa jelas kapan ujungnya
|
Bantuan
benih, pupuk, dan modal bisa dihentikan. Dengan penguasaan 2 ha, tiap
keluarga petani cukup modal untuk membeli pupuk sendiri meskipun harganya Rp.
10 ribu per kg, tanpa mengganggu ”asap dapur”.
|
Bantuan benih, pupuk, dan
modal tetap dibutuhkan entah sampai kapan.
|
Peluangnya
kecil saat ini, tidak ada pihak yang mendukung secara serius. Presiden dan
BPN juga ga berkutik. Banyak pula yang
menolak, terutama investor swasta perkebunan besar.
|
Saat ini merupakan opsi yang terpaksa
harus dilakukan pemerintah. Jika tidak, maka pembangunan pertanian akan
stagnan.
|
Sumbangan
untuk pemberantasan korupsi besar, karena kesempatan politisi besar ”bermain”
menjual tanah air ke kapitalis luar menjadi tertutup. Yang bermain disini
politisi kakap dan pejabat tinggi.
|
Korupsi kecil-kecilan terus
terjadi dalam pengadaan dan distribusi bantuan untuk petani. Hampir selalu
ada ”fee” dari setiap pembelian. Yang bermain hanya staf-staf kecil dan
menengah. Kelas teri.
|
Jika
lahan disediakan cukup untuk semua yang mau dan butuh bertani, maka kehidupan
pedesaan akan lestari.
|
Akibat pendekatan agribisnis tanpa agraria adalah
“terusirnya” buruh tani dan petani bertanah sempit dari desanya karena kalah
bersaing tidak mampu mencapai skala ekonomi.
|
Tentu saja,
bukannya agribisnis tidak perlu jika kebijakan landreform telah dituntaskan. Perbedaan yang saya maksud disini
adalah bila agribisnis dijalankan tanpa landreform,
ya kira-kira begitulah hasilnya. Jika dikawinkan, tentulah hasilnya sangat powerfull.
Sesungguhnya ada perdebatan yang serius
antara para ahli yang pro agribisnis dengan mereka yang menolaknya. Perseteruan
ini memang tidak banyak dikenal awam. Di tataran umum, yang menang saat ini
adalah kelompok “pemuja agribisnis”. Namun di Indonesia, yang kulturnya
cenderung terbuka (atau mungkin karena ga
ngerti), keduanya ini diterima begitu saja. Lihat di UU Pangan yang baru (UU
No. 18 tahun 2012), dimana ketahanan pangan, kedaulatan pangan, dan kemandirian
pangan dikutip dan diterima semua. Padahal ketiganya ga sebangun dan ga sejalan.
Bagaimana mungkin durian dan timun disatukeranjangkan.
Pihak yang pro meyakini paradigma
agribisnis dapat diadaptasikan dengan kondisi konstektual Indonesia, dan
menjadi bagian dari reforma agraria.
Strategi yang harus diterapkan untuk mengatasi kemiskinan di desa adalah dengan
mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan atau mengurangi jumlah petani
melalui penyediaan lapangan kerja alternatif di sektor non-pertanian.
Reforma agraria dibutuhkan untuk
agribisnis, karena agar berkembang pelaku agribisnis membutuhkan kepastian
kepemilikan lahan, termasuk pula pencegahan fragmentasi, pengendalian konversi
lahan pertanian, serta pengaturan sistem sakap-menyakap dan bagi hasil lahan
pertanian. Karena prinsip efisiensi, dimana luasan penting untuk mencapai skala
sekonomi; maka jika lahan luas sulit tersedia, konsolidasi lahan bolehlah
daripada tidak. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar