Kamis, 26 Januari 2017

Kemiskinan Individu vs Rumah Tangga vs Wilayah

Dalam perjalanannya, kemiskinan telah diukur dengan berbagai cara dan level. Dari sekian alat yang berkembang, pengukuran dilakukan di level individu, rumah tangga, dan juga wilayah. Penggunaan alat akan membatasi informasi yang terkumpul, dan juga menentukan program apa yang bisa dihasilkan dari informasi tersebut.
Pada level individu, misalnya Bank Dunia yang memberi batasan bahwa "extreme poverty" adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS per hari, dan "poverty" jika kurang dari 2 dollar AS per hari. Dengan standar tersebut, maka 21 persen  populasi dunia tergolong sebagai extreme poverty, dan lebih dari setengah populasi dunia tergolong miskin pada tahun 2001.
Lalu, BPS membuat batas garis kemiskinan yang membedakan untuk masyarakat kota dan desa. Sebagai contoh untuk tahun 2001, garis batas untuk kota adalah dengan pendapatan per kapita Rp. 100.011 per bulan dan desa Rp. 80.382 per bulan. Lebih detail lagi, Sajogyo (1977) membagi menjadi tiga kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita per tahun setara dengan nilai tukar beras. Angkanya berbeda antara di kota dan di desa.
Garis miskin menurut level individu disusun dari kebutuhan fisik biologis. Menurut golden standard, tiap orang butuh 2.300 kkal per hari. Jika konsumsi kalori seseorang kecil dari 70 persen, maka ia tergolong miskin. Menurut FAO dan WHO, batasan terendahnya adalah konsumsi 1.600 kkal per hari ditambah 40 gram protein; namun menurut BPS 2.100 kkal per hari.
Pada level rumah tangga, contohnya adalah BKKBN dengan Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996. Disini,  miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”. Menurut BKKBN, miskin adalah bila satu keluarga tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari, tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian, bagian terluas rumahnya berlantai tanah, dan tak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan bila sakit.
Contoh lain adalah Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK).  “Keluarga miskin” menurut KPK adalah apabila tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: paling kurang sekali seminggu makan daging, ikan, dan telur; sekali setahun seluruh anggota keluarga membeli paling kurang satu setel pakaian baru; dan lantai rumah paling kurang 8 m2 per penghuni. Dan disebut “keluarga miskin sekali” jika tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian; serta bagian lantai terluas bukan dari tanah.
Sementara Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) menggunakan data wilayah. Meskipun beberapa ukuran adalah individual, namun datanya disatukan dalam satu wilayah tertentu. Indikator yang dipakai adalah angka harapan hidup, angka buta huruf, dan persentase penduduk yang tidak akses kepada air bersih, sarana kesehatan, dan jumlah balita yang kurang gizi.

Perbandingan karakter pengukuran antara kemiskinan pada level individu, rumah tangga, dan wilayah

Individu
Rumah tangga
Wilayah
Contohnya adalah BPS yang mengeluarkan data jumlah penduduk miskin per tahun
BKKBN yang mengeluarkan data jumlah rumah tangga sejahtera dan prasejahtera
UNDP yang mengeluarkan data Indek Pembangunan Manusia (IPM) dan Multidimensionel Poverty Index (MPI)
Indikatornya adalah pendapatan atau pengeluaran per hari.
Unitnya rumah tangga, yaitu kuantitas makan per hari angota rumah tangga, pakaian yang dikenakan, luas lantai rumah, jenis dinding rumah, kepemilikan barang berharga, akses ke air dan listrik, dll.
Menggunakan data angka harapan hidup, persentase melek aksara orang dewasa, angka partisipasi sekolah bagi anak, GDP per kapita, dan lama rata-rata sekolah.

Sumber data misalnya data pengeluaran rumah tangga dari Susenas
Survey rumah tangga langsung dengan form khusus
Dapat menggunakan data Susenas
Implikasi pada program yang dijalankan misalnya memberikan keterampilan, bantuan pangan, dan akses ke pekerjaan.
Bantuan perbaikan perumahan, peningkatan layanan prasarana air dan listrik, dll
Peningkatan infrastruktur wilayah mencakup transportasi, komunikasi, sarana pendidikan, kesehatan, dll

Data Indek Pembangunan Manusia (IPM) oleh UNDP sampai tahun 2009 menggunakan tiga indikator yaitu angka harapan hidup, persentase melek aksara orang dewasa dikombinasikan dengan angka partisipasi (kotor) sekolah bagi anak, serta gross domestic product (GDP) per kapita dalam dollar AS. Pada tahun 2010, lalu dimasukkan indikator angka harapan hidup, dan lama harapan sekolah yang dikombinasikan dengan lama rata-rata sekolah.  Sementara, kita juga mengenal Multidimensionel Poverty Index (MPI) yang menggunakan 10 indikator yang dikelompokan menjadi tiga dimensi, yaitu dimensi kesehatan, pendidikan dan standar hidup.
Dari berbagai cara pengukuran di atas, jika diurutkan, maka penggunaan ukuran kemiskinan absolut dengan batasan 1 USD perhari menghasilkan jumlah warga miskin yang paling rendah. Berikutnya, pengukuran BPS menghasilkan angka yang lebih tinggi, dan yang tertinggi bila menggunakan ukuran 2 USD per hari. Pola ini juga terjadi jika yang diperbandingkan adalah persentase warga miskin menurut masing-masing ukuran. Tahun 2000 misalnya, jumlah warga miskin menurut ukuran 1 USD lebih kurang 20 juta orang, menurut BPS lebih kurang 38 juta orang, dan menurut ukuran 2 USD menjadi hampir 130 juta orang.

Dua aplikasi program penanggulangan kemiskinan yang selama ini berjalan di Indonesia adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program di Kementeterian Daerah Tertinggal. IDT menggunakan satuan analisis desa, dimana penentuan “desa tertinggal didasarkan atas 22 variabel, dan tiap indikator diberi skor 1 sampai 3, sehingga akan diperoleh nilai total antara 22 sampai dengan 66. Sebuah desa tergolong tertinggal bila memiliki nilai lebih rendah dari 32. Sementara menurut kriteria BPS, ada 27 variabel untuk desa, dan 25 variabel untuk kota dalam penetapan Desa Tertinggal, di antaranya adalah tipe LKMD, jalan utama, jarak ke kecamatan, pola nafkah, pengusahaan lahan pertanian, fasilitas (pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan pasar), kepadatan penduduk, sumber air minum, bahan bakar, jamban, penerangan umum, tempat ibadah, pengusahaan ternak, pemilikan TV dan telepon, dan jumlah rumah tangga pertanian. Sementara, Kementerian Daerah Tertinggal mengukurnya dalam skala kabupaten. Mereka menggunakan enam variabel dasar yaitu  perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan lokal, aksesibilitas, dan karakteristik daerah. ********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar