Dalam perjalanannya, kemiskinan telah diukur dengan berbagai cara dan
level. Dari sekian alat yang berkembang, pengukuran dilakukan di level
individu, rumah tangga, dan juga wilayah. Penggunaan alat akan membatasi
informasi yang terkumpul, dan juga menentukan program apa yang bisa dihasilkan
dari informasi tersebut.
Pada level individu, misalnya Bank Dunia yang memberi
batasan bahwa "extreme poverty"
adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS per
hari, dan "poverty" jika
kurang dari 2 dollar AS per hari.
Dengan standar tersebut, maka 21 persen
populasi dunia tergolong sebagai extreme
poverty, dan lebih dari setengah populasi dunia tergolong miskin pada tahun
2001.
Lalu, BPS membuat batas garis kemiskinan
yang membedakan untuk masyarakat kota dan desa. Sebagai contoh untuk tahun 2001, garis batas untuk kota adalah dengan
pendapatan per kapita Rp. 100.011 per bulan dan desa Rp. 80.382 per bulan. Lebih detail
lagi, Sajogyo (1977) membagi menjadi tiga kelompok berdasarkan pengeluaran per
kapita per tahun setara dengan nilai tukar beras. Angkanya berbeda antara di
kota dan di desa.
Garis miskin menurut level individu
disusun dari kebutuhan fisik biologis. Menurut golden standard, tiap orang butuh 2.300 kkal per hari. Jika konsumsi kalori seseorang
kecil dari 70 persen, maka ia tergolong miskin. Menurut FAO dan WHO, batasan terendahnya adalah konsumsi 1.600 kkal per hari ditambah 40 gram protein; namun
menurut BPS 2.100 kkal per hari.
Pada level rumah tangga, contohnya
adalah BKKBN dengan Program
Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996. Disini, miskin disebut dengan istilah “kurang
sejahtera”. Menurut BKKBN, miskin adalah bila satu keluarga tidak
dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari,
tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian,
bagian terluas rumahnya berlantai tanah, dan tak mampu membawa anggota keluarga
ke sarana kesehatan bila sakit.
Contoh lain adalah Komite
Penanggulangan Kemiskinan (KPK).
“Keluarga miskin” menurut KPK adalah apabila tidak mampu memenuhi satu
atau lebih indikator: paling kurang sekali seminggu makan daging, ikan, dan
telur; sekali setahun seluruh anggota keluarga membeli paling kurang satu setel pakaian baru; dan lantai rumah
paling kurang 8 m2 per penghuni. Dan
disebut “keluarga miskin sekali” jika tidak mampu memenuhi satu atau lebih
indikator: pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau
lebih; memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan
bepergian; serta bagian lantai terluas bukan dari tanah.
Sementara Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) menggunakan data wilayah. Meskipun beberapa ukuran
adalah individual, namun datanya disatukan dalam satu wilayah tertentu. Indikator
yang dipakai adalah angka harapan hidup, angka buta
huruf, dan persentase penduduk yang tidak akses kepada
air bersih, sarana kesehatan, dan jumlah balita yang kurang gizi.
Perbandingan
karakter pengukuran antara kemiskinan pada level individu, rumah tangga, dan
wilayah
Individu
|
Rumah tangga
|
Wilayah
|
Contohnya adalah BPS yang mengeluarkan data jumlah penduduk miskin
per tahun
|
BKKBN yang mengeluarkan data jumlah rumah
tangga sejahtera dan prasejahtera
|
UNDP yang mengeluarkan data Indek Pembangunan
Manusia (IPM) dan Multidimensionel Poverty Index (MPI)
|
Indikatornya adalah
pendapatan atau pengeluaran per hari.
|
Unitnya rumah tangga, yaitu kuantitas makan per hari angota rumah tangga, pakaian yang dikenakan, luas lantai rumah, jenis dinding rumah, kepemilikan barang berharga,
akses ke air dan listrik, dll.
|
Menggunakan data angka harapan hidup, persentase melek aksara orang dewasa,
angka partisipasi sekolah bagi anak, GDP per kapita, dan lama rata-rata
sekolah.
|
Sumber data misalnya data pengeluaran rumah tangga dari Susenas
|
Survey rumah tangga langsung dengan form khusus
|
Dapat menggunakan data Susenas
|
Implikasi pada program
yang dijalankan misalnya memberikan keterampilan, bantuan pangan, dan akses
ke pekerjaan.
|
Bantuan perbaikan perumahan, peningkatan layanan prasarana air dan
listrik, dll
|
Peningkatan infrastruktur wilayah mencakup transportasi, komunikasi,
sarana pendidikan, kesehatan, dll
|
Data Indek Pembangunan Manusia (IPM) oleh UNDP sampai tahun 2009
menggunakan tiga indikator yaitu angka harapan hidup, persentase melek aksara orang dewasa
dikombinasikan dengan angka partisipasi (kotor) sekolah bagi anak, serta gross domestic product (GDP) per kapita
dalam dollar AS. Pada tahun 2010, lalu dimasukkan indikator angka harapan hidup, dan lama harapan sekolah yang dikombinasikan dengan lama
rata-rata sekolah. Sementara, kita juga mengenal Multidimensionel Poverty Index (MPI) yang menggunakan 10 indikator yang dikelompokan menjadi tiga
dimensi, yaitu dimensi kesehatan, pendidikan dan standar hidup.
Dari berbagai cara pengukuran di atas,
jika diurutkan, maka penggunaan ukuran kemiskinan absolut dengan batasan 1 USD
perhari menghasilkan jumlah
warga miskin yang paling
rendah. Berikutnya,
pengukuran BPS menghasilkan angka yang lebih tinggi, dan yang tertinggi bila menggunakan
ukuran 2 USD per hari. Pola ini juga terjadi jika yang diperbandingkan adalah
persentase warga miskin menurut masing-masing ukuran. Tahun 2000 misalnya,
jumlah warga miskin menurut ukuran 1 USD lebih kurang 20 juta orang, menurut
BPS lebih kurang 38 juta orang, dan menurut ukuran 2 USD menjadi hampir 130
juta orang.
Dua aplikasi program penanggulangan kemiskinan yang selama ini berjalan di
Indonesia adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program di Kementeterian
Daerah Tertinggal. IDT menggunakan
satuan analisis desa, dimana penentuan “desa tertinggal”
didasarkan atas 22 variabel, dan tiap
indikator diberi skor 1 sampai 3, sehingga akan diperoleh nilai total antara 22
sampai dengan 66. Sebuah desa tergolong tertinggal bila memiliki nilai lebih
rendah dari 32. Sementara menurut kriteria BPS, ada 27 variabel
untuk desa, dan 25 variabel untuk kota dalam penetapan Desa Tertinggal, di antaranya adalah tipe LKMD, jalan
utama, jarak ke kecamatan, pola nafkah, pengusahaan lahan pertanian, fasilitas
(pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan pasar), kepadatan penduduk, sumber air
minum, bahan bakar, jamban, penerangan umum, tempat ibadah, pengusahaan ternak,
pemilikan TV dan telepon, dan jumlah rumah tangga pertanian. Sementara, Kementerian Daerah Tertinggal mengukurnya dalam skala kabupaten. Mereka menggunakan enam variabel
dasar yaitu perekonomian masyarakat,
sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan lokal, aksesibilitas, dan
karakteristik daerah. ********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar