Kamis, 26 Januari 2017

Farmer Field School Vs Farmer Business School

Sekolah lapang petani (Farmer Field School) atau lebih dikenal sebagai “sekolah lapang” (SL) merupakan pendekatan yang sudah sangat dikenal di Indonesia. Pertama, pendekatan ini digunakan dalam bentuk SL-PHT (Pengendalian Hama Terpadu). SLPHT merupakan temuan peneliti Indonesia yang dapat dikatakan sangat mendunia, terutama konsep “sekolah lapang” nya ini. Pendekatan ini telah diadopsi oleh banyak negara, dan sebagian di antara mereka mengakui secara terbuka ide awal sekolah lapang ini.  Pada website wikipedia misalnya (https://en.wikipedia.org/wiki/Farmer_Field_School) terbaca dengan jelas bahwa: The Farmer Field School (FFS) is a group-based learning process that has been used by a number of governments, NGOs and international agencies to promote Integrated Pest Management (IPM). The first FFS were designed and managed by the UN Food and Agriculture Organisation in Indonesia in 1989 since then more than two million farmers across Asia have participated in this type of learning”.

SL menggabungkan konsep dan metode agroekologi, experiential education dan pemberdayaan komunitas (community development). SLPHT merupakan langkah penting kepada tercapainya suatu pengendalian hama secara terpadu (Integrated Pest Management) (Barlett, 2005). SLPHT merupakan suatu metode penyuluhan yang memadukan teori dan pengalaman petani dalam melakukan kegiatan usaha tani. Konsep ini dilandasi oleh kesadaran petani akan arti pentingnya tuntutan ekologis dan pemanfaatan sumberdaya manusia dalam pengendalian hama. Pada prinsipnya, pengendalian hama terpadu berusaha untuk bekerjasama dengan alam, bukan melawannya. Sebagai hasilnya jutaan petani terutama di China, India, Indonesia, Filipina dan Vietnam telah mampu mengurangi penggunaan pestisida dan memberikan hasil panen yang berkelanjutan (Dilts, 2001).

SLPHT lahir diawali dengan keberhasilan Revolusi Hijau mulai tahun 1960-an. Lalu, pada tahun  1970-an ditemukan banyaknya hama yang semakin resisten, yang penyebabnya adalah karena penggunaan insektisida secara berlebihan.  Pada waktu bersamaan ditemukan metode biological control pada sebagian besar hama padi. Dari temuan ini, lalu disusun pendekatan integrated pest management (IPM) untuk petani-petani kecil padi. Namun metode ini dirasa begitu rumit untuk dipahami dan dipraktekkan di lapangan. Beruntunglah, pada akhir tahun 1980-an ditemukan sebuah pendekatan baru untuk melatih petani di Indonesia yang dikenal dengan Sekolah Lapang. Pendekatan ini diterapkan agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap permasalahan hama dan pengendaliannya, tidak hanya sekedar terampil memilih obat dan menyemprotnya saja.

SL merupakan sebuah proses belajar secara kelompok (group-based learning process). Ini merupakan hal baru, karena sebelumnya penyuluhan oleh PPL dilakukan secara individual, meskipun pertemuan dilakukan dalam sebuah kelompok. Dalam kegiatan SL petani mengalami experiential learning yang membuat mereka paham tentang permasalahan ekologi dan kondisi persawahan mereka secara lengkap. Sekelompok petani belajar bersama dengan dibimbing oleh peneliti dan penyuluh, melakukan penelitian sederhana (simple experiments) di lahan mereka sendiri, dan menganalisisnya dalam pertemuan kelompok secara reguler (biasanya sekali seminggu).

Ciri khas pendekatan SLPHT adalah dimana kegiatan dilakukan dalam satu musim pertanaman secara penuh mulai dari tanam sampai panen, pertemuan dilakukan sekali seminggu (10 - 16 kali pertemuan), menggunakan metode experiential, participatory, and learner centred”, jumlah petani dalam satu kegiatan 25 - 30 orang, dan diakhiri dengan Field Day dimana petani mempresentasikan hasilnya. Di Indonesia, program ini dicanangkan tahun 1986 berdasarkan Inpres No. 3 tahun 1986. Metode penyuluhan Sekolah Lapangan lahir berdasarkan atas dua tantangan pokok, yaitu keanekaragaman ekologi dan peran petani sebagai manager (ahli PHT) di lahannya sendiri.

Belum lama ini telah berkembang pula satu metode baru pemberdayaan petani yang dikenal denganFarm Business School”. Ini adalah penerapan metode SL untuk materi pengembangan pemasaran hasil pertanian.

Perbedaan antara FFS dan  FBS
Farm Field School (FFS)
Farm Business school (FBS)

Mulai 1989, ditemukan di Indonesia

Mulai marak tahun 2000-an
Tujuannya adalah mempromosikan teknik dan manajemen pengendalian hama secara terpadu
Untuk memperkuat kemampuan dan kapasitas petani dan organisasi petani dalam menjalankan usaha pertanian, terutama untuk memasarkan hasil produksinya.
Fokus pada subsistem produksi
Pada subsistem pengolahan dan pemasaran hasil
Menggunakan konsep dan metode agroekologi, experiential education dan community development.
Berupaya memahami keuntungan usaha, pemasaran dan pasar, survey pasar, membuat laporan pasar, membangun visi dan tujuan bisnis, memilih badan usaha, mengenali komponen rencana bisnis, menyusun rencana bisnis, menyiapkan tindakan, dan pencatatan.
Dasarnya adalah agar komunikasi lebih efektif, dimana petani belajar dengan mengalami langsung
Agar petani pandai, cerdik mensiasati pasar, dan kuat sebagai pelaku pasar
Lingkungan pembentuknya dulu adalah karena tingginya serangan hama dan penyakit pada tanaman
Kenyataan bahwa petani tidak bisa lepas dari tekanan globalisasi dan komersialisasi, maka petani harus berbisnis.
Tujuannya untuk pengendalian hama dan peningkatan hasil produksi (pada awalnya padi). Juga menjadikan petani bisa belajar sendiri, serta mampu melakukan penelitian secara sederhana dan mendapatkan solusi atas permasalahannya.
Tujuannya adalah agar petani mampu berkompetisi dan mengambil keuntungan dari kondisi dan tantangan baru di lingkungan baru. Membangun kemampuan petani dalam wirausaha dan manajemen, meningkatkan pengetahuan, merubah sikapnya dan meningkatkan keterampilannya dalam mengkomersilkan hasil pertanian.
Berlangsung peningkatan pengetahuan, belajar bersama, dan mencari solusi bersama.
Meningkatkan efisiensi, pendapatan dan keuntungan. Agar petani mampu memilih secara tepat apa komoditas yang mau ditanam, mengelola modal dan tenaga kerja, dan menangani resiko.
Jam pertemuan berkala, misalnya sekali seminggu, karena ada beberapa periode perkembangan tanaman yang tidak boleh dilewatkan untuk diamati.
Jam pelajaran tergantung kebutuhan, karena tidak bergantung kepada musim dan siklus pertumbuhan tanaman. Bersifat responsive and interactive.
Materi yang diajarkan tentang biologi hama, aspek kesisteman, musuh alami, membuat pestisida nabati, dst
Tentang visi dan perencanaan, pertanian berkelanjutan, market engagement, nutrisi, gender, dan monitoring.
Pelatih adalah penyuluh dan ahli tentang hama tanaman.
Pelatih beragam mulai dari teknis sampai dengan fasilitator pengembangan komunitas, konsultan pemasaran, dan lain-lain.

Farm Business School menggunakan pendekatan FFS dalam kegiatannya yaitu “…to strengthen the entrepreneurial capacities of farmers and farmer organizations” (FAO, 2011). Perubahan lingkungan, terutama perdagangan internasional mendesak petani untuk bisa menjadi pengambil keputusan yang cerdik dan mampu berkompetisi lebih baik di lingkungan baru, dan juga akan terus berubah. Untuk itu perlu kemampuan lebih dalam manajemen usahatani. FBS membantu petani memilih secara tepat apa komoditas yang mau ditanam, mengelola modal dan tenaga kerja, dan menangani resiko berusaha.

Materi pelatihan dalam FBS mulai dari memahami apa itu FBS, memahami dasar-dasar bisnis dan konsep pemasaran,  analisa situasi eksisting, identifikasi keuntungan, menyiapkan rencana bisnis, dan membuat farm records. Pada tahap diagnosis dan menyusun perencanaan dijelaskan mengapa FBS penting, membangun komitmen dan jadwal pertemuan, memahami mengapa usahatani dipandang sebagai bisnis dan petani adalah seorang usahahawan, keuntungan usaha, dan mengenali kondisi dan permasalahan pertanian. Materi lain adalah memahami keuntungan usaha, pemasaran dan pasar, survey pasar, membuat laporan pasar, membangun visi dan tujuan bisnis, memilih badan usaha, mengenali komponen rencana bisnis, menyusun rencana bisnis, menyiapkan tindakan, dan pencatatan. Dalam tahap implementasi adalah menyepakati sesi dan skedul kegiatan, memobilisasi modal, penjualan secara kelompok, dan memasarkan produk. Juga dipelajari tentang pembelian dan penyimpanan, memahami kontrak kerjasama, memahami dan belajar cara menilai resiko, melakukan benchmarking, mengenal bagaimana ciri usahawan yang efektif, dan memahami konsep nilai tambah.

Aturan umum dalam FBS adalah membagi biaya secara adil, menjamin bahwa setiap peserta dapat berpartisipasi dan membuat keputusan secara berimbang, jaminan bahwa keputusan dibuat dan disepakati secara kolektif, tanggung jawab terbagi bersama, disiplin semua anggota, dan jaminan bahwa setiap keputusan adalah merupakan pilihan yang mayoritas. Selain itu butuh keterbukaan, tanggung jawab dan transparansi di antara kelompok dengan anggota. Langkah-langkah dalam FBS adalah mendiagnosis atau menemukan peluang, menyusun rencana usaha, lalu dilaksanakan dengan mengorganisasikan dan memproduksi, memasarkan, dan melakukan monitoring dan evaluasi. Pahami apa yang mau diproduksi, bagaimana memproduksinya, apakah itu mungkin diproduksi di lahan yang dimiliki, apa sumber dan input yang dibutuhkan, bagaimana memenuhi tenaga kerja, dimana peluang pasar, berapa harga yang sesuai, apakah ini menguntungkan, apakah cukup modal tunai, dan apa resiko yang akan dihadapi.

Di Indonesia kegiatan FBS masih terbatas. Salah satu contoh adalah program the Participatory Market Chain Approach (PMCA) yang dijalankan para petani kentang di Jawa Barat.  Pelatih berasal dari International Potato Center (CIP) dari Lima, Peru. Disini dilibatkan petani, pedagang (market chain actors), dan pedagang sarana input pertanian (agricultural service providers). Mereka berhasil membentuk manajemen baru dalam produksi dan sekaligus peluang pasar yang baru. ACIAR juga telah mengembangkan FBS yang dijalankan di kawasan Asia (termasuk Indonesia) untuk membangun relasi yang kuat antara petani, pedagang, dan konsumen di negara-negara berkembang.

Contoh lain dilakukan oleh CARE yang khusus untuk petani kecil perempuan. Kegiatan CARE’s Pathways program didanai dari Bill and Melinda Gates Foundation di enam negara yakni Ghana, Malawi, Bangladesh, India, Mali, dan Tanzania. Program Pathways ini disusun untuk meningkatkan ketahanan pangan dan sumber pendapatan rumah tangga untuk 150 ribu peserta dengan pendekatan Farmer Field and Business School (FFBS).  Pendekatan ini memadukan FFS approach dengan prinsip pendidikan orang dewasa (The Farmer Field and Business School: A Pathways Programming Approach. CARE Economic Development www.carepathwaystoempowerment.org).


Di samping berbagai perbedaan, banyak pula kesamaan FFS dan FBS, karena sama-sama menggunakan metode sekolah lapang. Kesamaan lain antara keduanya adalah: (1) Pengalaman langsung di lapangan dengan pendekatan "learning by doing", (2) Dijalankan di desa pertanian (village level), utamanya untuk petani di negara berkembang, (3) Menggunakan relasi farmer to farmer, dan (4) Alumni diupayakan tetap menjalin hubungan setelah selesai pelatihan. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar