Sekolah lapang petani (Farmer Field School) atau lebih dikenal
sebagai “sekolah lapang” (SL) merupakan pendekatan yang sudah sangat dikenal di
Indonesia. Pertama, pendekatan ini digunakan dalam bentuk SL-PHT
(Pengendalian Hama Terpadu). SLPHT merupakan temuan peneliti Indonesia yang
dapat dikatakan sangat mendunia, terutama konsep “sekolah lapang” nya ini.
Pendekatan ini telah diadopsi oleh banyak negara, dan sebagian di antara mereka
mengakui secara terbuka ide awal sekolah lapang ini. Pada website wikipedia misalnya (https://en.wikipedia.org/wiki/Farmer_Field_School) terbaca
dengan jelas bahwa: “The
Farmer Field School (FFS) is a group-based learning process
that has been used by a number of governments, NGOs and international agencies
to promote Integrated Pest Management (IPM). The first FFS were designed and
managed by the UN Food and Agriculture Organisation in Indonesia in 1989 since then more
than two million farmers across Asia have participated in this type of
learning”.
SL
menggabungkan konsep dan metode agroekologi, experiential education dan
pemberdayaan komunitas (community development). SLPHT merupakan langkah penting kepada tercapainya
suatu pengendalian hama secara terpadu (Integrated
Pest Management) (Barlett, 2005). SLPHT
merupakan suatu metode penyuluhan yang memadukan teori dan pengalaman petani
dalam melakukan kegiatan usaha tani. Konsep ini dilandasi oleh kesadaran petani
akan arti pentingnya tuntutan ekologis dan pemanfaatan sumberdaya manusia dalam
pengendalian hama. Pada prinsipnya, pengendalian hama terpadu berusaha untuk
bekerjasama dengan alam, bukan melawannya. Sebagai hasilnya jutaan petani
terutama di China, India, Indonesia, Filipina dan Vietnam telah mampu mengurangi penggunaan pestisida dan
memberikan hasil panen yang berkelanjutan (Dilts, 2001).
SLPHT lahir
diawali dengan keberhasilan Revolusi Hijau mulai tahun 1960-an. Lalu, pada
tahun 1970-an ditemukan banyaknya hama
yang semakin resisten, yang penyebabnya adalah karena penggunaan insektisida
secara berlebihan. Pada waktu bersamaan
ditemukan metode biological control pada sebagian
besar hama padi. Dari temuan ini, lalu disusun pendekatan integrated pest management (IPM) untuk
petani-petani kecil padi. Namun metode ini dirasa begitu rumit untuk dipahami
dan dipraktekkan di lapangan. Beruntunglah, pada akhir tahun 1980-an ditemukan
sebuah pendekatan baru untuk melatih petani di Indonesia yang dikenal dengan “Sekolah Lapang”.
Pendekatan ini diterapkan agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap
permasalahan hama dan pengendaliannya, tidak hanya sekedar terampil memilih
obat dan menyemprotnya saja.
SL merupakan
sebuah proses belajar secara kelompok (group-based
learning process). Ini merupakan hal baru, karena sebelumnya penyuluhan
oleh PPL dilakukan secara individual, meskipun pertemuan dilakukan dalam sebuah
kelompok. Dalam kegiatan SL petani mengalami experiential learning yang membuat
mereka paham tentang permasalahan ekologi dan kondisi persawahan mereka secara
lengkap. Sekelompok petani belajar bersama dengan dibimbing oleh peneliti dan
penyuluh, melakukan penelitian sederhana (simple
experiments) di lahan mereka sendiri, dan menganalisisnya dalam pertemuan
kelompok secara reguler (biasanya sekali seminggu).
Ciri khas pendekatan
SLPHT adalah dimana kegiatan
dilakukan dalam satu musim pertanaman secara penuh mulai dari tanam sampai panen, pertemuan dilakukan sekali seminggu (10 - 16 kali
pertemuan), menggunakan metode “experiential, participatory,
and learner centred”, jumlah petani
dalam satu kegiatan 25 - 30 orang, dan diakhiri dengan Field
Day
dimana petani mempresentasikan hasilnya. Di Indonesia, program ini dicanangkan tahun 1986 berdasarkan Inpres No.
3 tahun 1986. Metode
penyuluhan Sekolah Lapangan lahir berdasarkan atas dua tantangan pokok, yaitu
keanekaragaman ekologi dan peran petani sebagai manager (ahli PHT) di lahannya
sendiri.
Belum lama
ini telah berkembang pula satu metode baru pemberdayaan petani yang dikenal
dengan “Farm
Business School”. Ini adalah
penerapan metode SL untuk materi pengembangan pemasaran hasil pertanian.
Perbedaan antara FFS dan FBS
Farm Field School
(FFS)
|
Farm Business school
(FBS)
|
Mulai 1989, ditemukan
di Indonesia
|
Mulai marak tahun 2000-an
|
Tujuannya adalah
mempromosikan teknik dan manajemen pengendalian hama secara terpadu
|
Untuk memperkuat kemampuan dan kapasitas petani dan
organisasi petani dalam menjalankan usaha pertanian, terutama untuk
memasarkan hasil produksinya.
|
Fokus pada subsistem
produksi
|
Pada subsistem pengolahan dan pemasaran hasil
|
Berupaya memahami keuntungan
usaha, pemasaran dan pasar, survey pasar, membuat laporan pasar, membangun
visi dan tujuan bisnis, memilih
badan usaha, mengenali komponen rencana bisnis, menyusun rencana bisnis, menyiapkan tindakan, dan
pencatatan.
|
|
Dasarnya adalah agar komunikasi lebih efektif, dimana petani belajar
dengan mengalami langsung
|
Agar petani pandai,
cerdik mensiasati pasar, dan kuat sebagai pelaku pasar
|
Lingkungan pembentuknya dulu adalah karena tingginya serangan hama dan penyakit pada tanaman
|
Kenyataan bahwa
petani tidak bisa lepas dari tekanan globalisasi dan komersialisasi, maka petani harus berbisnis.
|
Tujuannya untuk pengendalian hama dan peningkatan hasil produksi (pada
awalnya padi). Juga menjadikan petani bisa belajar sendiri, serta mampu
melakukan penelitian secara sederhana dan mendapatkan solusi atas permasalahannya.
|
Tujuannya adalah
agar petani mampu berkompetisi dan mengambil keuntungan dari
kondisi dan tantangan baru di lingkungan baru.
Membangun kemampuan petani dalam wirausaha dan manajemen, meningkatkan
pengetahuan, merubah sikapnya dan meningkatkan keterampilannya dalam
mengkomersilkan hasil pertanian.
|
Berlangsung peningkatan pengetahuan, belajar bersama, dan mencari
solusi bersama.
|
Meningkatkan efisiensi, pendapatan dan keuntungan. Agar
petani mampu memilih secara tepat apa komoditas yang mau ditanam, mengelola
modal dan tenaga kerja, dan menangani resiko.
|
Jam pertemuan berkala, misalnya sekali seminggu, karena ada beberapa
periode perkembangan tanaman yang tidak boleh dilewatkan untuk diamati.
|
Jam pelajaran
tergantung kebutuhan, karena tidak bergantung kepada musim dan siklus
pertumbuhan tanaman. Bersifat responsive
and interactive.
|
Materi yang diajarkan tentang biologi hama, aspek kesisteman, musuh
alami, membuat pestisida nabati, dst
|
Tentang visi dan
perencanaan, pertanian berkelanjutan, market
engagement, nutrisi, gender, dan monitoring.
|
Pelatih adalah penyuluh dan ahli tentang hama tanaman.
|
Pelatih beragam
mulai dari teknis sampai dengan fasilitator pengembangan komunitas, konsultan
pemasaran, dan lain-lain.
|
Farm
Business School menggunakan pendekatan FFS dalam kegiatannya yaitu “…to
strengthen the entrepreneurial capacities of farmers and farmer organizations” (FAO, 2011). Perubahan lingkungan,
terutama perdagangan internasional mendesak petani untuk bisa menjadi pengambil
keputusan yang cerdik dan mampu berkompetisi lebih baik di lingkungan baru, dan
juga akan terus berubah. Untuk itu perlu
kemampuan lebih dalam manajemen usahatani. FBS membantu petani memilih secara
tepat apa komoditas yang mau ditanam, mengelola modal dan tenaga kerja, dan
menangani resiko berusaha.
Materi pelatihan dalam FBS mulai dari
memahami apa itu FBS, memahami dasar-dasar bisnis dan konsep pemasaran, analisa situasi eksisting, identifikasi
keuntungan, menyiapkan rencana bisnis, dan membuat farm records. Pada tahap diagnosis dan menyusun perencanaan dijelaskan
mengapa FBS penting, membangun komitmen dan jadwal pertemuan, memahami mengapa usahatani dipandang sebagai bisnis dan
petani adalah seorang usahahawan, keuntungan usaha, dan mengenali kondisi dan
permasalahan pertanian. Materi lain adalah memahami keuntungan usaha, pemasaran dan pasar, survey pasar, membuat
laporan pasar, membangun visi dan tujuan bisnis, memilih badan usaha,
mengenali komponen rencana
bisnis, menyusun rencana bisnis, menyiapkan tindakan, dan pencatatan. Dalam tahap implementasi adalah
menyepakati sesi dan skedul kegiatan, memobilisasi modal, penjualan secara
kelompok, dan memasarkan produk. Juga dipelajari tentang pembelian dan
penyimpanan, memahami kontrak kerjasama, memahami dan belajar cara menilai
resiko, melakukan benchmarking, mengenal bagaimana ciri usahawan yang efektif,
dan memahami konsep nilai tambah.
Aturan umum dalam FBS adalah membagi
biaya secara adil, menjamin bahwa setiap peserta dapat berpartisipasi dan
membuat keputusan secara berimbang, jaminan bahwa keputusan dibuat dan
disepakati secara kolektif, tanggung jawab terbagi bersama, disiplin semua
anggota, dan jaminan bahwa setiap keputusan adalah
merupakan pilihan yang mayoritas. Selain itu butuh keterbukaan, tanggung jawab
dan transparansi di antara kelompok dengan anggota. Langkah-langkah dalam FBS
adalah mendiagnosis atau menemukan peluang, menyusun rencana usaha, lalu
dilaksanakan dengan mengorganisasikan dan memproduksi, memasarkan, dan
melakukan monitoring dan evaluasi. Pahami apa
yang mau diproduksi, bagaimana memproduksinya, apakah itu mungkin diproduksi di
lahan yang dimiliki, apa sumber dan input yang dibutuhkan, bagaimana memenuhi
tenaga kerja, dimana peluang pasar, berapa harga yang sesuai, apakah ini
menguntungkan, apakah cukup modal tunai, dan apa resiko yang akan dihadapi.
Di Indonesia kegiatan FBS masih
terbatas. Salah satu contoh adalah program
the Participatory Market Chain Approach (PMCA) yang dijalankan para petani kentang di Jawa Barat. Pelatih berasal dari International Potato
Center (CIP) dari Lima, Peru. Disini dilibatkan petani,
pedagang (market chain actors), dan
pedagang sarana input pertanian (agricultural
service providers). Mereka berhasil membentuk manajemen
baru dalam produksi dan sekaligus peluang pasar yang baru. ACIAR juga telah
mengembangkan FBS yang dijalankan di kawasan Asia (termasuk Indonesia) untuk
membangun relasi yang kuat antara petani, pedagang, dan konsumen di
negara-negara berkembang.
Contoh lain dilakukan oleh CARE yang
khusus untuk petani kecil perempuan. Kegiatan CARE’s Pathways program didanai
dari Bill and Melinda Gates Foundation di enam negara yakni Ghana, Malawi,
Bangladesh, India, Mali, dan Tanzania. Program Pathways ini
disusun untuk meningkatkan ketahanan pangan dan sumber pendapatan rumah tangga
untuk 150 ribu peserta dengan pendekatan Farmer Field and Business School (FFBS). Pendekatan ini memadukan FFS approach dengan prinsip pendidikan orang dewasa (The Farmer Field and Business School: A
Pathways Programming Approach. CARE Economic Development
www.carepathwaystoempowerment.org).
Di samping berbagai perbedaan, banyak pula kesamaan FFS dan FBS, karena sama-sama menggunakan metode sekolah lapang. Kesamaan
lain antara keduanya adalah: (1) Pengalaman langsung di lapangan dengan
pendekatan "learning by doing",
(2) Dijalankan di desa pertanian (village
level), utamanya untuk petani di negara berkembang, (3) Menggunakan relasi farmer to farmer, dan (4) Alumni
diupayakan tetap menjalin hubungan setelah selesai pelatihan. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar