Minggu, 15 Januari 2017

Perlindungan Petani vs Pemberdayaan Petani



Setelah lama difikir dan dikaji, bagaimana mestinya bentuk dukungan untuk petani, maka keluarlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 dengan judul “Perlindungan dan Pemberdayaan Petani”. Butuh hampir sepuluh tahun undang-undang ini sejak disusun, lalu dibahas dan akhirnya terbit. Mengapa perlindungan penting, dan mengapa pula perlu pemberdayaan? Berikut diperlihatkan perbedaan apa yang dimaksud keduanya dalam UU tersebut.

Pada hakekatnya, perlindungan dan pemberdayaan petani ini bertujuan untuk: (1) Mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik, (2) Menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani, (3) Memberikan kepastian usaha tani, (4) Melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen, (5) Meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan, dan (6)  Menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian yang melayani kepentingan usaha tani. Perlindungan dan pemberdayaan petani ini berasaskan pada kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, serta keberlanjutan.

Perbedaan antara konsep dan pelaksanaan perlindungan dengan pemberdayaan petani

Perlindungan
Pemberdayaan

“Perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim” (Pasal 1)

“Pemberdayaan petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani” (Pasal 1).
Pada Pasal 7 terbaca, strategi perlindungan petani dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana produksi pertanian, kepastian usaha, harga komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi,  ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan asuransi pertanian.

Strategi pemberdayaan petani dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani (maksudnya “organisasi petani”).
Lebih pada sisi di luar petani, yakni memberikan dan menciptakan kondisi lingkungan sehingga kondusif untuk petani. Dapat dipandang sebagai pendekatan atau cara untuk mencapai petani yang berdaya.
Sisi internal petani, yakni penguatan pengetahuan petani, penguasaan asset usaha, organisasi milik petani, dan seterusnya.
Diasumsikan bahwa petani lemah karena tekanan politik dan ekonomi yang tidak adil dan menekan petani. Lebih berperspektif struktural.
Lebih berperspektif kultural. Diyakini bahwa petani akan kuat bila ditingkatkan kapasitas individualnya, organisasinya, jaringannya, serta modal sosialnya.

Makna “pemberdayaan” disini agak beda. Dalam pengertian umum, makna “pemberdayaan” lebih luas dari pada di UU ini. Bahkan perlindungan pun sesungguhnya adalah satu cara belaka untuk mencapai pemberdayaan.

Semenjak rancangan UU ini digulirkan, sampai kemudian terbit pun, masih ada kekurangan yang dicatat dan telah disuarakan berbagai pihak. Misalnya, siapa petani yang dimaksud? Dalam UU ini disebut hanya penggarap maksimal 2 ha dan pemilik maksimal 2 ha, serta petani kebun, hortikultura dan lain-lain yang ditetapkan khusus oleh sang menteri. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa “Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan”. Lalu, pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa perlindungan petani diberikan kepada: (a)  Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan usaha tani dan menggarap paling luas 2 (dua) hektare, (b) Petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 (dua) hektare, dan/atau (c) Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Artinya, buruh tani tak bertanah (petani tunakisma) yang hanya menggarap dan mendapat upah harian dari pemilik, tidak termasuk. Mereka yang jelas-jelas bekerja dengan tangannya langsung, mengolah tanah, menanam bibit, menyiang rumput, menabur pupuk: tidak dilindungi, juga tidak diberdayakan. Yang disebut petani hanyalah petani pemilik, petani pemilik-penggarap, dan petani penggarap atau penyakap. Selain itu, seseorang yang sangat ingin bertani, dan hanya bisa bertani, tapi tidak punya tanah bahkan menyewapun sulit; juga tidak diperhatikan disini. Kalau sudah jadi petani baru difikirkan.

Jika kita bandingkan, dalam Agenda 21, makna petani adalah “.....all references to "farmers" include all rural people who derive their livelihood from activities such as farming, fishing and forest harvesting. The term "farming" also includes fishing and forest harvesting”. Sementara dalam Farm Practices Protection (Right To Farm) Act (RSBC1996) Chapter 131, "farmer" adalah “....the owner or operator of a farm business”. Artinya, buruh tani tak bertanah yang menggantungkan hidup dengan menjual tenaga dan mendapat upah harian: adalah petani.
Agenda 21 adalah program aksi dunia untuk pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh 178 Negara, termasuk Indonesia, ketika diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Kelahiran UU Perlindungan dan Pemberdayaan petani sejalan dengan semangat dokumen ini, yakni pentingnya farmer-centred approach sebagai kunci pembangunan dan keberlanjutan, kerangka kebijakan yang memberi insentif dan motivasi bagi petani, dan mendorong partisipasi petani. Pemerintah juga harus melakukan mekanisme harga, melibatkan petani dalam perumusan kebijakan, dan memproteksi perempuan untuk akses pada lahan, kredit dan lain-lain, juga mendukung organisasi petani.
Di sisi lain, petani luas (di atas 2 ha) juga tidak dilindungi. Diasumsikan bahwa petani tersebut sudah mandiri. Okelah ini benar. Tapi di dalamnya banyak buruh-buruh tani yang menggantungkan hidupnya disitu. Dalam satu hektar kebun sawit setidaknya ada 2-3 orang buruh yang mengurusi kebun sehari-hari. Di kebun teh lebih banyak lagi. Karena mereka bukan pemilik, juga bukan penggarap, namun hanya buruh; maka mereka dianggap tidak ada. Tapi, bukankah mereka yang menjalankan pertanian? Jika mereka dikasih upah sangat-sangat rendah kepada siapa mereka harus mengadu? Jika sudah kerja 3 bulan namun upah belum dibayar juga, ke siapa mereka minta perlindungan? Dulu saat Sensus Pertanian tahun 1963 bahkan lebih parah. Petani dengan lahan di bawah 1000 m2 dianggap bukan petani.
Selanjutnya dalam hal landreform, UU ini juga cenderung mengelak. Penggunaan istilah “landreform” secara sengaja dihindari, dan hanya dimasukkan dalam konsep konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian (pasal 55 sampai 65). Pemerintah menyediakan kemudahan dengan pemberian paling luas 2 ha tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani, yang telah digarap paling sedikit 5 tahun berturut-turut. Namun, di Pasal 59 disebut bahwa hak penggarapan hanya diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Disini tidak termasuk hak pemilikan. Ya, bolehlah kita menyimpulkan UU ini tampaknya belum akan betul-betul menyelesaikan masalah petani kita. Masih basa-basi. ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar