Setelah lama
difikir dan dikaji, bagaimana mestinya bentuk dukungan untuk petani, maka
keluarlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 dengan judul “Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani”. Butuh hampir sepuluh tahun
undang-undang ini sejak disusun, lalu dibahas dan akhirnya terbit. Mengapa
perlindungan penting, dan mengapa pula perlu pemberdayaan? Berikut
diperlihatkan perbedaan apa yang dimaksud keduanya dalam UU tersebut.
Pada
hakekatnya, perlindungan dan pemberdayaan petani ini bertujuan untuk: (1)
Mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf
kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik, (2) Menyediakan
prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani,
(3) Memberikan kepastian usaha tani, (4) Melindungi petani dari fluktuasi
harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen, (5) Meningkatkan
kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha
tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan, dan (6) Menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan
pertanian yang melayani kepentingan usaha tani. Perlindungan dan pemberdayaan
petani ini berasaskan
pada kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, kebersamaan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, serta keberlanjutan.
Perbedaan
antara konsep dan pelaksanaan perlindungan dengan pemberdayaan petani
Perlindungan
|
Pemberdayaan
|
“Perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam
menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi,
kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi,
dan perubahan iklim” (Pasal 1)
|
“Pemberdayaan
petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk
melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan,
penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil
pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses
ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan
petani” (Pasal 1).
|
Pada Pasal 7 terbaca, strategi perlindungan petani
dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana produksi pertanian,
kepastian usaha, harga komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya
tinggi, ganti rugi gagal panen akibat
kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan
iklim, dan asuransi pertanian.
|
Strategi
pemberdayaan petani dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan
dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian,
konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, penyediaan fasilitas
pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan,
teknologi, dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani (maksudnya
“organisasi petani”).
|
Lebih pada sisi di luar petani,
yakni memberikan dan menciptakan kondisi lingkungan sehingga kondusif untuk
petani. Dapat dipandang sebagai pendekatan atau cara untuk mencapai petani yang
berdaya.
|
Sisi internal petani, yakni penguatan pengetahuan petani,
penguasaan asset usaha, organisasi milik petani, dan seterusnya.
|
Diasumsikan bahwa petani lemah karena tekanan
politik dan ekonomi yang tidak adil dan menekan petani. Lebih berperspektif
struktural.
|
Lebih
berperspektif kultural. Diyakini bahwa petani akan kuat bila ditingkatkan
kapasitas individualnya, organisasinya, jaringannya, serta modal sosialnya.
|
Makna
“pemberdayaan” disini agak beda. Dalam pengertian umum, makna “pemberdayaan”
lebih luas dari pada di UU ini. Bahkan perlindungan pun sesungguhnya adalah
satu cara belaka untuk mencapai pemberdayaan.
Semenjak
rancangan UU ini digulirkan, sampai kemudian terbit pun, masih ada kekurangan
yang dicatat dan telah disuarakan berbagai pihak. Misalnya, siapa petani yang
dimaksud? Dalam UU ini disebut hanya penggarap maksimal 2 ha dan pemilik
maksimal 2 ha, serta petani kebun, hortikultura
dan lain-lain yang ditetapkan khusus oleh sang menteri. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa “Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta
keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan/atau peternakan”. Lalu, pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa
perlindungan petani diberikan kepada: (a)
Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan usaha tani dan menggarap
paling luas 2 (dua) hektare, (b) Petani yang memiliki lahan dan
melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 (dua)
hektare, dan/atau (c) Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha
kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya, buruh
tani tak bertanah (petani tunakisma) yang hanya menggarap dan mendapat upah
harian dari pemilik, tidak termasuk. Mereka yang jelas-jelas bekerja dengan
tangannya langsung, mengolah tanah, menanam bibit, menyiang rumput, menabur
pupuk: tidak dilindungi, juga tidak diberdayakan. Yang disebut petani hanyalah
petani pemilik, petani pemilik-penggarap, dan petani penggarap atau penyakap.
Selain itu, seseorang yang sangat ingin bertani, dan hanya bisa bertani, tapi
tidak punya tanah bahkan menyewapun sulit; juga tidak diperhatikan disini. Kalau sudah jadi petani baru difikirkan.
Jika kita bandingkan, dalam Agenda 21, makna
petani adalah “.....all
references to "farmers" include all rural people who derive their
livelihood from activities such as farming, fishing and forest harvesting. The
term "farming" also includes fishing and forest harvesting”.
Sementara dalam Farm Practices Protection (Right To Farm) Act (RSBC1996) Chapter 131, "farmer" adalah “....the
owner or operator of a farm business”. Artinya, buruh tani tak bertanah
yang menggantungkan hidup dengan menjual tenaga dan mendapat upah harian:
adalah petani.
Agenda
21 adalah program aksi dunia untuk pembangunan berkelanjutan yang disepakati
oleh 178 Negara, termasuk Indonesia, ketika diselenggarakan KTT Bumi di Rio de
Janeiro tahun 1992. Kelahiran UU Perlindungan dan Pemberdayaan petani sejalan
dengan semangat dokumen ini, yakni pentingnya farmer-centred approach sebagai kunci pembangunan dan
keberlanjutan, kerangka kebijakan yang memberi insentif dan motivasi bagi
petani, dan mendorong partisipasi petani. Pemerintah juga harus melakukan
mekanisme harga, melibatkan petani dalam perumusan kebijakan, dan memproteksi
perempuan untuk akses pada lahan, kredit dan lain-lain, juga mendukung
organisasi petani.
Di sisi lain, petani luas (di atas 2 ha) juga tidak
dilindungi. Diasumsikan bahwa petani tersebut sudah mandiri. Okelah ini benar.
Tapi di dalamnya banyak buruh-buruh tani yang menggantungkan hidupnya disitu.
Dalam satu hektar kebun sawit setidaknya ada 2-3 orang buruh yang mengurusi
kebun sehari-hari. Di kebun teh lebih banyak lagi. Karena mereka bukan pemilik,
juga bukan penggarap, namun hanya buruh; maka mereka dianggap tidak ada. Tapi,
bukankah mereka yang menjalankan pertanian? Jika mereka dikasih upah
sangat-sangat rendah kepada siapa mereka harus mengadu? Jika sudah kerja 3
bulan namun upah belum dibayar juga, ke siapa mereka minta perlindungan? Dulu saat Sensus
Pertanian tahun 1963 bahkan lebih parah. Petani dengan lahan di bawah 1000 m2
dianggap bukan petani.
Selanjutnya dalam hal
landreform, UU ini juga cenderung mengelak. Penggunaan istilah “landreform” secara sengaja dihindari,
dan hanya dimasukkan
dalam konsep “konsolidasi
dan jaminan luasan lahan pertanian”
(pasal 55 sampai 65). Pemerintah menyediakan kemudahan dengan
pemberian paling luas 2 ha tanah
negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani,
yang telah digarap paling sedikit 5 tahun berturut-turut. Namun, di Pasal 59
disebut bahwa hak penggarapan hanya diberikan dalam bentuk hak sewa, izin
pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Disini tidak termasuk hak
pemilikan. Ya, bolehlah kita menyimpulkan UU ini tampaknya belum akan
betul-betul menyelesaikan masalah petani kita. Masih basa-basi. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar