Semenjak 3 kali pergantian Menteri di
Kementan, agribisnis telah sangat mewarnai kebijakan. Agribisnis adalah topik
dan objek pembicaraan setiap hari di kalangan pemerintahan, dan entry katanya
dapat ditemukan dalam seluruh dokumen formal yang disusun pemerintah. Seolah
tak ada keraguan lagi: pertanian ya agribisnis, dan ......agribisnis ya
pertanian.
Padahal sesungguhnya “pertanian” dan
“agribisnis” berbeda. Agribisnis hanyalah satu pilihan pendekatan dalam
pembangunan pertanian. Tidak dengan agribisnis pun belum tentu pertanian tidak
berkembang.
Hampir tidak ada orang yang
mempermasalahkan antara pertanian dengan agribisnis. Umumnya orang berfikiran,
pertanian ya agribisnis, agribisnis ya pertanian. Keduanya sama saja, boleh mau
pakai istilah apa. Agribisnis diterima sebagai keniscayaan. Tak ada yang
ribut-ribut. Apalagi ide itu datang dari Barat sana, sudah patilah bagus. Itu
fikirannya orang bule gitu lho.
Sepanjang yang saya baca, hanya satu
orang yang mengangkat hal ini, yaitu Bapa Prof Mubyarto. Dari beberapa
tulisannya, saya melihat bahwa agribisnis harus lah diterapkan selektif. Tidak
seluruh bentuk pertanian harus menerapkan agribisnis. Petani kita di Indonesia
yang kecil-kecil dan masih lemah akan rugi dan tersingkir bila menerapkan
agribisnis. “Masih sangat banyak petani
kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil
produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani dengan luas tanah sangat
kecil, petani gurem, penyakap, dan buruh tani. Fokus yang berlebihan pada
agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita kepada mereka, yang
kegiatannya tidak merupakan bisnis. Adalah tidak tepat jika hanya menghitung
untung-rugi dan efisiensinya, namun sama sekali tidak memikirkan keadilan dan
moralitasnya”. Jadi, mungkin agribisnis memang sudah sepantasnya untuk
usaha-usaha pertanian yang berskala besar, misalnya perkebunan swasta; namun
tidak untuk semua petani.”
Seorang lagi yang bersuara cukup keras, adalah seorang Profesor Honorris Causa tokoh reforma
agraria nasional, sebagaimana saya
dengar sendiri dalam satu acara. Ia dengan
terang juga menolak agribisnis. Katanya, agribisnis tidak lain adalah
akal-akalan nya orang Barat untuk menguasai sumber daya pertanian di negara
berkembang, karena menjajah secara terang-terangan sudah ga mungkin. Memang, di luar sanapun sebagian suara yang negatif menyamakan agribisnis dengan corporate farming, sebagai lawan dari family-owned farms.
Dalam bahasa Inggris, pertanian
adalah “agriculture”.
Kata “culture”
disini adalah “budaya”, yakni sesuatu
yang menunjukkan perilaku atas sesuatu yang sudah
membudaya. Artinya, sudah “begitulah perilakunya”. Bukan perilaku
yang didasarkan hasil pemikiran sesaat, tetapi perilaku yang sudah
mendarah-daging yang dijalankan sesuai dengan “irama alam”. Orang yang bertani adalah orang menjalankan hidup dengan sepenuh raga dan
hatinya, bukan sekedar profesi.
Sementara, pengertian agribusiness yang paling ringkas adalah “ the business of agricultural production”. Mencakup usaha
budidaya, pemenuhan benih, pupuk dan obat-obatan (agrichemical), mesin-mesin, distribusi, pengolahan,
pemasaran dan penjualan retail. Bagaimana
menghubungkan semua elemen ini dengan efisien, itulah agribisnis. Bapak Menteri Pertanian yang Profesor di perguruan tinggi
terkemuka pernah mencak-mencak ketika ada teman peneliti yang mempertanyakan
tentang program “agribisnis” yang diusungnya di departemen. Ia heran kok masih
ada orang yang meragukan agribisnis.
Karena itu, menarik untuk coba kita
bongkar: apa sih agribisnis? Apa yang salah dengan konsep dan pendekatan
agribisnis? Niat jahat apa yang terkandung dalam agribisnis?
Perbedaan karakter
antara pertanian dengan agribisnis
Pertanian
|
Agribisnis
|
Bertani
sebagai jalan hidup dan juga bisnis. Sebagai panggilan hidup dan amanah dari
Illahi. Mengolah alam adalah sebuah kehormatan, bukan sekedar pekerjaan.
|
Bertani sebagai kegiatan bisnis
belaka. Mau tanam apa, mau harga berapa, mau dijual kemana: yang penting mana
yang lebih untung. Bertani adalah profesi.
|
Dikembangkan
oleh beragam bidang ilmu mulai dari biologi, tanah, hama dan penyakit,
sosiologi, antopologi, dll.
|
Ilmu
yang mengembangkannya adalah bidang agricultural
economics, management studies, dan agribusiness management. Lebih
spesifik.
|
Fokus pada
produksi, pendapatan, kesenangan, kultural.
|
Fokusnya pada ekonomi dan bisnis
|
Memperhatikan
semua petani, besar maupun kecil.
|
Pendekatan agribisnis cenderung
menyingkirkan petani kecil yang belum sanggup berkompetisi di pasar
|
Prinsip
kerjanya adalah keadilan dan moralitas
|
Berpegang pada prinsip untung dan
rugi
|
Berlaku
untuk semua kegiatan bertani. Petani kecil sekalipun memiliki karakter yang
spesifik yang harus dipahami secara berbeda, sehingga konsep small farmer cukup serius dibicarakan
para ahli.
|
Hanya untuk usaha tani berskala cukup
secara eknomi. Pro paya yang berskala besar.
|
Pelakunya
mulai dari rumah tangga petani sampai ke perusahaan
|
Umumnya didominasi pengusaha
pertanian.
|
Disini
dikenal konsep “petani” yaitu mereka yang bertani dengan tenaga dan tangan
sendiri, berlumpur, berkeringat, kotor-kotoran.
|
Petani tidak harus sendiri, bisa
sebagai manajer, sedangkan yang bekerja langsung di lapangan adalah buruh
upahan. Para buruh ini bukan petani, mereka SDM pertanian.
|
Setelah kita bandingkan seperti di
atas, mungkin sedikit banyak bisa menjawab kenapa agribisnis tidak terlalu
berhasil di Indonesia. Jawabnya adalah karena petani kita banyak yang kecil dan
lemah sehingga tidak kompetitif pada sistem agribisnis.
Di titik ini kita bisa bertanya: apakah pertanian mencakup agribisnis, atau agribisnis
merupakan salah satu varian dari pertanian? Tidak juga. Tampaknya perbedaan nya
jauh lebih kentara, dimana agribisnis bukanlah pertanian, dan pertanian
bukanlah agribisnis.
Menurut Mubyarto dan Santosa (2003),
perubahan dari pertanian dalam arti “agriculture” menjadi agribisnis sejalan
dengan perubahan ilmu ekonomi menjadi ideologi, bahkan telah menjelma menjadi
semacam agama. Ini terjadi dalam iklim, dimana model pembangunan yang dianggap
benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan”
sumbangan sektor pertanian. Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan
kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun sesungguhnya perlu
beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma tersebut, karena paradigma
tersebut bukanlah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar