Relasi Individual vs Relasi Kolektif
Dalam Menjalankan Usaha Pertanian
Kita pun dapat mengidentifikasi adanya relasi
individual dan relasi kolektif di dunia nyata. Sebenarnya kedua ini eksis, dan tidak bisa kita
katakan yang satu lebih baik dari yang lain. Sayangnya, selama
ini kita langsung bersepakat bulat bahwa segala kebutuhan petani harus
dijalankan berupa tindakan kolektif dan harus dalam organisasi formal. Padahal,
sebagaimana tabel di bawah ini, untuk tiap urusan usaha ada pilihan mau
dijalankan secara individual atau secara kolektif.
Semestinya,
cara berfikir pemerintah, dan pihak pemberdayaan lain adalah: apa urusan petani
yang harus dibantu, lalu bagaimana cara membantunya? Apakah petani bisa mengerjakan
sendiri
secara individual, ataukah harus melalui organisasi formal? Malangnya, kita
tidak pernah mau bertanya itu. Kita sekonyong-konyong langsung menginginkan
bahwa pokoknya semua urusan petani harus dijalankan dalam organisasi formal.
Padahal selalu ada opsi, sebagaimana tabel berikut.
Berbagai relasi yang harus dijalankan petani dalam
usahanya, serta pilihan-pilihan bentuk relasi yang tersedia untuknya
Aktivitas yang
dibutuhkan
|
Menggunakan relasi
individual
|
Menggunakan relasi
kolektif
|
|
Dipenuhi secara mandiri
|
Menggunakan relasi
individual
|
||
Pemenuhan benih
|
Menggunakan benih sendiri sisa panen sebelumnya
|
Meminta atau pinjaman dari tetangga, membeli dari kios
|
Memperoleh dari kelompok tani, Gapoktan, atau koperasi
|
Pemenuhan pupuk
|
Khusus untuk pupuk organik dapat membuat sendiri
|
Umumnya membeli dari kios secara tunai atau mengutang,
atau membeli dari kios koperasi meskipun bukan anggota
|
Mendapatkan bantuan pemerintah secara gratis, atau
membeli melalui kelompok tani dan koperasi
|
Pemenuhan modal
|
Menggunakan modal sendiri
|
Meminjam dari tetangga, saudara, pelepas uang ileal, atau mendatangi
bank
|
Meminjam dari koperasi, Gapoktan, atau kelompok tani
|
Penyediaan lahan
|
Lahan milik sendiri
|
Menyewa atau menyakap tanah orang lain, meminjam dari keluarga, atau
merambah hutan dan tanah negara meskipun ilegal
|
Menggunakan tanah komunal keluarga.
|
Pengolahan lahan
|
Menggunakan tenaga kerja dari keluarga sendiri,
dengan pacul.
|
Menyewa buruh tani, tenaga hewan, atau jasa traktor
|
Menggunakan traktor milik UPJA
|
Penyediaan air
irigasi
|
“Menggiring” air sendiri dari sumbernya, menggunakan pompa air
|
Mengupahkan orang lain untuk “menggiring” air ke lahannya
|
Menggunakan organisasi P3A, kelompok tani, atau kelompok swakelola
nonformal
|
Pemenuhan tenaga
kerja dalam budidaya
|
Menggunakan tenaga dalam keluarga sendiri
|
Menggunakan TK tetangga tanpa dibayar, mencari buruh
dengan upah harian atau ceblokan
dan bawon
|
Menggunakan kelompok kerja (julo-julo
hari atau sambat sinambat)
|
Pengolahan hasil
|
Mengolah sendiri
|
Menggunakan jasa huller untuk pengolahan gabah, menggunakan tenaga
buruh
|
Diolah secara bersama-sama dalam kelompok tani
|
Pemasaran hasil
|
Memasarkan sendiri ke pasar
|
Menjual ke pedagang di desa, atau ke pedagang di pasar
|
Menjual melalui koperasi, kelompok tani, gapoktan, atau KUBA
|
Pemenuhan teknologi
|
Mencari sendiri di media massa dan bacaan lain
|
Bertanya ke tetangga, saudara, atau ke petugas PPL
|
Mengikuti pertemuan penyuluhan di kelompok tani atau di Gapoktan
|
Dari tabel di atas terlihat bahwa khusus
untuk memenuhi sarana produksi misalnya, tersedia berbagai peluang, yaitu
dengan menggunakan milik sendiri, membeli dari kios-kios yang ada di desa,
maupun dari kios milik koperasi; tergantung kepada kondisi desa bersangkutan.
Untuk benih padi dan palawija misalnya, petani banyak yang menggunakan benih
sendiri, karena selain harga yang dijual di kios lebih mahal, benih milik
sendiri kadangkala juga cukup bagus kualitasnya. Selain dari benih sendiri atau
membeli, mereka juga dapat meminjam atau meminta dari tetangganya.
Ada yang kontradiktif. Pemerintah ingin agar semua urusan
petani dijalankan dalam kelompok, karena akan lebih murah dan efisien. Tapi
anehnya sarana produksi tersedia dimana-mana dan harganya terjangkau. Lha,
tentu saja petani ogah masuk
kelompok.
Kebutuhan lain yang seringkali juga tidak mampu dipenuhi
sendiri adalah permodalan usaha. Pemerintah telah menggulirkan berbagai program
untuk memenuhi kebutuhan petani terhadap permodalan, baik berupa skim individu
maupun kelompok. Petani memiliki berbagai opsi untuk ini yaitu bisa menggunakan
modal sendiri dari hasil sisa panen sebelumnya, meminjam dari saudara dan
tetangga, dari pelepas hutang (illegal
money lender), serta dari perbankan.
Meskipun pemerintah selalu mendorong agar petani menggunakan jasa perbankan, hanya
sebagian kecil petani yang menggunakan perbankan karena adanya kendala
administrasi dan teknis. Untuk mengatasinya, biasanya pemerintah memberikan
pinjaman dan bantuan melalui organisasi-organisasi petani, misalnya kepada
kelompok tani dan koperasi. Petani yang dapat memperoleh pinjaman dari koperasi
tentu hanya yang tercatat sebagai anggota. Demikian lah seterusnya
untuk kebutuhan-kebutuhan lain. *******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar