Pemerintah
Indonesia selama ini telah memilih “swasembada komoditas” pangan dibanding “swasembada
zat gizi” pangan. Telah ditarget dengan jelas berapa produksi untuk komoditas
pangan yang harus dicapai tiap tahun. Sebaliknya, berapa zat gizi yang harus
diproduksi dari berbagai bahan pangan hampir tidak ada yang memperdulikan.
Padahal, apa yang ingin diperoleh dari sepotong daging adalah proteinnya,
lemaknya, dan lain-lain. Ini persoalan
“politik kata”, bahkan untuk daging pun target yang dibuat bukan untuk daging
secara umum namun harus “daging sapi”. Tentu pilihan pada “daging sapi” bukan
sekedar salah ketik. Banyak interest tersembunyi
bermain di belakangnya.
Gizi (nutrient) adalah ikatan kimia yang
diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi atau
tenaga,
menyokong pertumbuhan badan, memelihara dan mengganti jaringan tubuh, mengatur
metabolisme dan berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh, serta mengatur
proses-proses kehidupan. Zat gizi yang kita
kenal di antaranya ialah karbohidrat, protein, lemak, vitaimin dan
mineral. Zat gizi penghasil energi adalah karbohidrat,
sedangkan lemak
dan protein digunakan untuk pertumbuhan dan untuk
beraktivitas. Zat gizi pembangun sel adalah protein yang
sumbernya misalnya berasal dari pangan ikan, daging, dan telor. Protein sangat penting untuk perkembangan. Sedangkan
zat
gizi pengatur adalah vitamin
dan mineral yang berguna agar organ tubuh dapat berfungsi dengan
baik.
Karbohidrat
bisa kita peroleh dari berbagai bahan pangan di antaranya beras, jagung,
kentang, singkong,ubi, tepung terigu, sorgum dan talas. Sementara protein bisa dari hewani maupun nabati. Protein nabati bisa dari tempe, tahu, kacang
ijo, kacang kedelai, kacang merah, dan kacang
tanah; sedangkan protein
hewani ada pada telur, ikan, ayam, daging, hati, udang, lele,
teri, dan susu. Vitamin dan mineral bisa kita
peroleh dari sayur
dan buah, di antaranya adalah daun
singkong, daun kacang panjang, daun melinjo, daun pepaya, kangkung, bayam, sawi
hijau wortel, tomat, labu kuning, kacang
panjang, buncis, kecipir; serta buah pepaya, nanas, jambu air, mangga, nangka masak,
pisang, jeruk, jambu biji, rambutan, dan apel. Bahan makanan sumber
lemak adalah minyak
kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, kacang kedelai, jagung, juga mentega, margarin,
dan lemak hewan berupa lemak
daging dan ayam. Sumber lemak lain adalah kacang-kacangan, biji-bijian, daging
dan ayam, krim, susu, keju, dan kuning
telur.
Perbandingan kondisi dan
karatersitik strategi swasembada pangan dibandingkan dengan swasembada zat gizi
Swasembada
komoditas
|
Swasembada zat gizi
|
Adalah target
pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk dari produksi dari dalam negeri sendiri
untuk komoditas beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi.
|
Adalah target
pemenuhan kebutuhan konsumsi zat gizi penduduk dari produksi dari dalam
negeri sendiri untuk karbohidrat, protein, lemak, dan zat gizi lain; dari
apapun sumber nya asalkan halal dan layak diproduksi di dalam negeri.
|
Telah
ditargetkan berkali-kali meskipun belum juga tercapai, kecuali beras. Daging
sapi setidaknya telah ditargetkan 3 kali, yakni tahun 2005, 2010 dan 2014.
|
Belum pernah
ditargetkan, dan jarang dibicarakan. Hanya ahli gizi dan forum Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) yang mendiskusikannya.
|
Target yang dipasang berupa jumlah produksi nasional komoditas. Ada 5
komoditas yang ditargetkan swasembada di tahun 2014 yaitu beras,
jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
|
Sesuai dengan PP No 22/2009 dan
Permentan 43/2009, target skor PPH pada tahun
2014 adalah 93,3, lalu tahun 2015 naik menjadi 95, dan pada tahun 2020
diharapkan telah mencapai PPH 100.
|
Indikatornya
adalah total produksi dalam negeri dibandingkan dengan total kebutuhan
konsumsi nasional untuk komoditas bersangkutan. Jika tidak perlu impor
disebut sebagai swasembada.
|
Indikatornya
misalnya adalah Pola Pangan Harapan (PPH),
yakni berapa zat gizi yang dibutuhkan dan berapa harus diproduksi dan dari
komoditas pangan apa.
|
Basisnya adalah selera, yakni preferensi konsumsi untuk
satu jenis komoditas pangan tertentu. Sehingga, daging sapi dianggap
seolah-olah sebagai komoditas yang paling disukai.
|
Basisnya adalah berapa zat gizi yang dibutuhkan tubuh
per hari untuk hidup sehat dan produktif. Pemenuhannya bisa berasal dari
banyak sumber. Protein misalnya bisa dari ikan, lele, bebek, atau cukup
telur; tidak mesti dari daging sapi.
|
Program
yang dicanangkan adalah program swasembada daging sapi,
sedangkan sapinya bisa dari Autralia yang digemukkan sebentar lalu dipotong
jadi daging. Karena dagingnya dipotong di RPH sekitar Jakarta, maka dicatat
sebagai produksi Indonesia.
|
Yang ditargetkan adalah swasembada protein hewani, . Dengan
pendekatan ini, untuk
memenuhi kebutuhan protein, sapi
dapat diganti dengan komoditas lain yang banyak tersedia antara lain unggas
dan ikan.
|
Pencapaian
selama ini jauh dari target. Hanya beras yang telah swasembada selama ini,
meskipun tidak tiap tahun.
|
PPH Konsumsi nasional tahun
2012 adalah 75,4 dari yang ideal 100. Ini bukan karena ketersediaan
karbohidrat, protein dan lain-lain tidak cukup; namun lebih kepada selera dan
kekurangpahaman soal nilai gizi.
|
Masalah yang
dihadapi adalah produksi yang masih di bawah kebutuhan.
|
Masalahnya
berupa kurang konsumsi energi protein,
kekurangan vitamin A, defisiensi Fe, serta kurang zat gizi lainnya.
|
Penyebab tidak
tercapai swasembada adalah lahan yang tidak cukup, harga komoditas tidak
menarik sehingga petani tidak mau menanam, iklim tidak sesuai, dll.
|
Penyebabnya
adalah karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang perlunya gizi yang cukup
dan berimbang. Kita kebanyakan mengkonsumsi karbohidrat namun rendah protein.
|
Kultur yang
dilahirkan adalah makan ya harus nasi, lauk ya daging sapi, dan seterusnya.
|
Jika swasembada
zat gizi yang diangkat sedari dulu, maka kultur yang lahir adalah yang
penting karbohidrat cukup dan dapat berasal dari nasi, singkong rebus, ubi
jalar kukus, dll. Yang penting protein cukup baik, itu dari telur, daging,
dan ikan.
|
Demikian lah perbedaan dan implikasinya jika satu konsep kita pakai. Andai
kan swasembada zat gizi yang kita pilih, maka tidak terlalu sulit bicara
diversifikasi pangan. Namun, karena sehari-hari kita ngomong beras, beras, dan
beras; tentu saja alam bawah sadar kita sulit diajak bergaul dengan singkong, ubi
jalar, sorgum dan sagu. Kita terperangkap sendiri.
Kecukupan
gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi bagi orang sehat. Standar kecukupan gizi di Indonesia pada umumnya masih
menggunakan standar makro, yaitu kecukupan kalori (energi) dan kecukupan
protein, sedangkan standar kecukupan gizi secara mikro seperti kecukupan
vitamin dan mineral belum banyak diterapkan. Kecukupan energi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis,
kegiatan, dan lain-lain. Untuk kecukupan protein
dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status
fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi.
Angka
kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari
bervariasi, dan tergantung umur juga. Angka
Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah
taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah
dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat di suatu
negara. AKG berguna sebagai patokan dalam penilaian dan
perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. AKG
lalu dipilah menjadi angka kecukupan energi (AKE) dan angka kecukupan protein
(AKP), bahkan lalu berkembang untuk kecukupan lemak (AKL), kecukupan
karbohidrat (AKK) dan serat makanan (AKS).
AKG lalu
dikembangkan menjadi Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk tahun 2012 misalnya, skor PPH Indonesia baru mencapai 75,4. Sangat
kurang untuk umbi-umbian, dimana konsumsi harian rata-rata baru mencapai 33,1
gram/hari, padahal idealnya adalah 100 gram hari. Yang juga kurang untuk pangan
hewani, buah dan biji berminyak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah.
Yang berlebih hanya dua komponen yaitu padi-padian serta minyak dan lemak.
Konsumsi padi-padian 299,9 gram/hari, padahal idealnya cukup 275 gram/hari.
Produksi komoditas kita – terutama 5 komoditas utama
- masih lemah, dan hanya beras yang sudah swasembada. Namun, untuk produksi zat
gizi, sebenarnya kita sudah lama swasembada. Data neraca bahan makanan (NBM)
tahun 1999 misalnya menunjukkan bahwa ketersediaan pangan per kapita per hari
di Indonesia telah mencapai 3.194 kkal energi dan 83.35 gram protein (BPS,
1999). Angka ketersediaan pangan tersebut telah melebihi kebutuhan pangan yang
diperlukan. Tabel berikut memperlihatkan pencapaian tersebut.
Konsumsi dan
Ketersediaan energi dan protein di Indonesoa
tahun 2006-2012
Tahun
|
Energi (Kkal/kap/hari)
|
Protein (gram/kap/hari)
|
||
Konsumsi
|
Ketersediaan
|
Konsumsi
|
Ketersediaan
|
|
2006
|
1.927
|
3.166
|
53.66
|
76.49
|
2007
|
2.015
|
3.358
|
57.65
|
80.08
|
2008
|
2.038
|
3.453
|
57.43
|
84.08
|
2009
|
1.927
|
3.214
|
54.35
|
88.91
|
2010
|
1.926
|
3.754
|
55.05
|
93.40
|
2011
|
1.952
|
3.795
|
56.25
|
98.47
|
2012
|
1.853
|
4.475
|
53.14
|
93.56
|
Pertumbuhan
|
-0.72
|
6.3
|
-0.26
|
3.49
|
Sumber: Data Susenas (BPS).
Angka kecukupan gizi perkapita per hari untuk energi adalah 2.200 kalori
dan protein 57 gram, sedangkan menurut
WNPG tahun 2008 hanya 2.000 dan 52. Data di atas memperlihatkan bahwa
ketersediaan energi dan protein sejak tahun 2006 sampai 2012 selalu di atas
konsumsi, dan juga selalu di atas kebutuhan standar-ideal (*******)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar