Minggu, 15 Januari 2017

Agribisnis vs Ketahanan Pangan



Kita paling mudah mengadopsi ide-ide yang sedang trendy. Departemen Pertanian menjadikan “agribisnis” dan sekaligus “ketahanan pangan” sebagai pendekatan. Namun, adakah yang bertanya, sesungguhnya bagaimana keduanya ini. Apakah sejalan, apakah berseberangan, saling meniadakan, ataukah bisa saling mendukung? Kita mencatut begitu saja padahal keduanya lahir dari kondisi, tujuan, dan strategi yang berbeda.

Makna secara harfiah “agribisnis” adalah ketika bertani sudah dipandang sebagai sebuah kegiatan bisnis, tidak lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Lawannya adalah bertani sebagai subsisten. Dalam filosofi agribisnis, usaha pertanian perlu dijalankan sebagai mana layaknya sebuah aktifitas bisnis. Dua kata kuncinya adalah: untung dan efisien.

“Agribusiness  dikenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada 1957 oleh J.H Davis dan R. Goldberg. Agribisnis didefinisikan sebagai keseluruhan rantai proses pertanian, mulai dari input pertanian sampai ke tingkat eceran. Adalah tidak tidak efisien apabila petani memproduksi sendiri benih, pupuk, ataupun mesin pertanian. Akan lebih mudah apabila dibeli dari pihak yang spesialis memproduksi barang-barang tersebut.

Pengertian yang paling ringkas tentang  “agribisnis” adalah “agriculture regarded as a bussiness”. Menurut Davis dan Goldberg (1957), agribisnis adalah rangkaian semua kegiatan mulai dari pabrik dan distribusi alat-alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produski pertanian, pengolahan, penyimpanan, serta distribusi komoditas pertanian dan barang-barang yang dihasilkannya. Paradigma agribisnis berdiri di atas lima premis dasar, yaitu bahwa usaha pertanian haruslah profit oriented; pertanian hanyalah satu komponen rantai dalam sistem komoditi sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan; pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif; sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang (Mubyarto dan Santosa, 2003).

Di Departemen Pertanian, agribisnis diyakini dapat menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Karena agribisnis memiliki kemampuan untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional, mempromosikan kesejahteraan, pertumbuhan yang berkelanjutan, dan keseimbangan di antara pelaku maupun wilayah. Agribisnis dan pengembangan sistem agribisnis diyakini sebagai pendekatan yang paling tepat untuk pembangunan ekonomi di Indonesia (Saragih, 2005). Arah Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis di Departemen Pertanian menuju empat tujuan yaitu membangun sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis.

Agribisnis, baik konsep maupun implementasinya, cukup banyak dikritik. Konsep "business" dan "corporation" nya dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang khas dari cara berpikir kapitalisme dan korporatisme. Agribisnis juga dikritik karena dirasa tidak sesuai dengan petani di Indonesia, dimana bertani bagi sebagian besar petani di Indonesia selain untuk memperoleh pendapatan, adalah juga sebuah cara hidup (way of life atau livehood) (Mubyarto dan Santosa, 2003). Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan luas tanah sangat kecil, petani gurem, penyakap, dan buruh tani. Mungkin agribisnis oke untuk usaha-usaha pertanian yang berskala besar, misalnya perkebunan swasta; namun tidak  untuk semua petani.

Perbandingan karakteristik antara agribisnis dengan ketahanan pangan

Agribisnis
Ketahanan pangan

Bertani sebagai kegiatan bisnis dengan prinsip efisien dan keuntungan

Tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi.
Agribisnis timbul dari kesadaran perlunya pendekatan khusus untuk pembangunan pertanian yang berbeda dengan pendekatan untuk sektor ekonomi lain. Namun, kalangan yang kontra mengatakan ini siasatnya negara maju untuk menguasai sumber daya pertanian di negara berkembang, karena kolonisasi sudah ga mungkin.
Alasannya adalah memperbaiki bentuk-bentuk program bantuan pangan (food aid) sebelumnya. Dipandang perlu ada mekanisme didalam kebijakan pembangunan untuk memerangi kelaparan dan kekurangan gizi (malnutrition). Ketahanan pangan harus inherent dalam kebijakan pembangunan nasional, bukan program-program yang reaktif atau program “pemadam kebakaran”.
Komponennya adalah perihal produksi,  penyimpanan (storage), distribusi, dan processing. Juga suplai input dan penyediaan pelayanan penyuluhan, penelitian, dan kebijakan lain.
Komponennya adalah yaitu ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Ada yang menyebut ada 3 dimensi, yaitu ketersediaan (availability), akses (access), dan pemanfaatan (utilization).
Muncul tahun 1945 dari Amerika Serikat, namun secara resmi dirumuskan Davis dan Goldberg tahun 1957.
Bermula pada dekade 1960-an dan 1970-an, saat dunia dihadapkan kepada kelaparan dan krisis pangan. Secara resmi dirumuskan pada World Food Summit tahun 1974.
Latar belakangnya adalah upaya merumuskan pendekatan pembangunan pertanian di dunia ketiga yang dirasa lebih sesuai untuk negara berkembang setelah PD II.
Kelaparan yang melanda dunia tahun 1960-an dan 1970-an, dimana ternyata program bantuan pangan tidak menyelesaikan masalah.
Fokus kepada keuntungan, efisiensi usaha, jaringan pemasaran, penguasaan pasar, dll.
Fokus: harus ada mekanisme didalam kebijakan pembangunan untuk memerangi kelaparan dan kekurangan gizi (malnutrition)
Yang berkepentingan adalah investor dan korporasi multinasional
Yang terus menerus perduli adalah FAO dan badan-badan dunia lain, bukan perusahaan swasta.

Ketahanan pangan merupakan satu contoh konsep yang berkembang dari sederhana, luas, dan kualitatif menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif. Tidak kurang sekitar 200 definisi telah dihasilkan dalam publikasi-publikasi ilmiah (Maxwell and Smith, 1992). Pada dasarnya, ketahanan pangan (food security) adalah tersedianya pangan dalam jum lah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi. 
Ketahanan pangan adalah sesuatu yang multikonsep, serta didefinisikan dan diinterpretasi secara bervariasi. Namun, hasil akhir yang ingin dicapai cenderung lebih disepakati, yaitu “.... the availability of adequate supplies at a global and national level; at the other end, the concern is with adequate nutrition and well-being” (FAO, 2003). Jadi, yang ingin dituju adalah tersedianya pangan, tercukupinya kebutuhan gizi, serta tentu saja kesejahteraan. Gagasan ketahanan pangan awal lahir saat pertemuan World Food Summit tahun 1974, lalu diperbaiki pada tahun 1975, saat PBB mendirikan komite Ketahanan Pangan Dunia (The Committee on World Food Security).  Pada periode 1990-an, ketahanan pangan telah menjadi perhatian yang penting, dengan perhatian mulai dari level individual sampai level dunia.  
Di tingkat aplikasi, sebutlah di level rumah tangga, akan terjadi perbenturan yang diametral jika menerapkan pendekatan agribisnis atau ketahanan pangan. Memilih agribisnis (menanam tanaman untuk pasar) dengan memilih ketahanan pangan (menanam pangan yang dikonsumsi sendiri) bisa mencelakakan bagi rumah tangga petani yang berlahan sempit dan segitu-gitunya.

Perbedaan jika menerapkan strategi agribisnis dan ketahanan di level rumah tangga

Pendekatan berbasis agribisnis
Pendekatan berbasis ketahanan pangan

Menanam ditanam untuk dijual

Menanam untuk dikonsumsi sendiri, tidak untuk dijual
Tujuannya untuk memperoleh tambahan pendapatan bagi petani dan keluarganya
Tujuannya untuk menekan pengeluaran, dan menyediakan pangan yang cukup untuk dapur sendiri
Usahatani dilakukan dengan mengkalkulasi keuntungan
Tidak berbasiskan kalkulasi yang ketat, karena hanya diusahakan dalam skala kecil
Dilakukan dalam skala besar agar tercapai skala ekonomi yang menguntungkan, jika tidak maka tidak akan bersaing dengan tanaman lain.
Dalam skala secukupnya, tidak harus besar, sesuai lahan yang tersedia pada setiap rumah tangga.
Hanya beberapa petani yang akan menanam tanaman tersebut, namun spesialis. Petani yang menanam tanaman ini tidak menanam tanaman lain.
Semua petani di satu wilayah menanam berbagai tanaman terutama tanaman pangan, tidak spesialis.
Akan ada kawasan khusus atau sentral pengembangan tanaman komoditas tertentu, misalnya klaster.
Tidak ada kawasan khusus, semua lahan pekarangan menanam tanaman yang relati sama.
Tergantung kepada gejolak pasar. Petani bisa terpukul jika harga tanaman tersebut jatuh.
Tidak tergantung kepada pasar sama sekali. Mereka lebih tahan ekonominya, dan urusan dapur lebih terjamin.
Produksi yang diahsilkan menjadi komoditas yang masuk dan tunduk kepada kondisi pasar.
Hasil produksi tidak menjadi komoditas pasar.

Bagaimana relasi antara keduanya? Salah satu ide yang berkembang adalah menjadikan agribisnis sebagai alat untuk mencapai ketahanan pangan. Agribisnis adalah strategi untuk mencapai ketahanan pangan.  Di Deptan, ketahanan pangan dapat dicapai melalui agribisnis. “Komponen dari sistem ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, distribusi, dan konsumsi; tidak lain adalah kegiatan usaha berbasis agribisnis. Berdasarkan hal tersebut, maka peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan pendekatan sistem agribisnis, yang merupakan rangkaian yang terintegrasi antara subsistem hulu, usahatani, hilir, dan subsistem jasa” (Deptan, 2002; 67).
 
Ketahanan pangan dapat menjadi semacam kesadaran, sehingga agribisnis tidak menjadi liar. Namun demikian, agribisnis dan ketahanan pangan memiliki tujuan mulia yang sama, yaitu majunya pertanian, peningkatan kesejahtaraan petani, dan pengurangan kemiskinan. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar