Kita paling mudah mengadopsi ide-ide yang sedang trendy. Departemen
Pertanian menjadikan “agribisnis” dan sekaligus “ketahanan pangan” sebagai
pendekatan. Namun, adakah yang bertanya, sesungguhnya bagaimana keduanya ini.
Apakah sejalan, apakah berseberangan, saling meniadakan, ataukah bisa saling
mendukung? Kita mencatut begitu saja padahal keduanya lahir dari kondisi, tujuan,
dan strategi yang berbeda.
Makna secara
harfiah “agribisnis” adalah ketika bertani sudah dipandang sebagai sebuah
kegiatan bisnis, tidak lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
hidup sendiri. Lawannya adalah bertani sebagai subsisten. Dalam filosofi
agribisnis, usaha pertanian perlu dijalankan sebagai mana layaknya sebuah
aktifitas bisnis. Dua kata kuncinya adalah: untung dan efisien.
“Agribusiness” dikenalkan
pertama kali di Amerika Serikat pada 1957 oleh J.H Davis dan R. Goldberg. Agribisnis
didefinisikan sebagai keseluruhan rantai
proses pertanian, mulai dari input pertanian sampai ke tingkat eceran.
Adalah tidak tidak efisien apabila petani
memproduksi sendiri benih, pupuk, ataupun mesin pertanian. Akan
lebih mudah apabila dibeli dari pihak yang
spesialis memproduksi barang-barang tersebut.
Pengertian
yang paling ringkas tentang “agribisnis”
adalah “agriculture regarded as a
bussiness”. Menurut Davis dan Goldberg (1957),
agribisnis adalah rangkaian semua kegiatan mulai dari pabrik dan distribusi
alat-alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produski pertanian,
pengolahan, penyimpanan, serta distribusi komoditas pertanian dan barang-barang
yang dihasilkannya. Paradigma agribisnis berdiri di atas lima premis dasar,
yaitu bahwa usaha pertanian haruslah profit oriented; pertanian hanyalah
satu komponen rantai dalam sistem komoditi sehingga kinerjanya ditentukan oleh
kinerja sistem komoditi secara keseluruhan; pendekatan sistem agribisnis adalah
formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai
alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif; sistem agribisnis
secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan pendekatan sistem
agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang (Mubyarto dan
Santosa, 2003).
Di
Departemen Pertanian, agribisnis diyakini dapat menjadi tulang punggung ekonomi
nasional. Karena agribisnis memiliki kemampuan untuk menjamin keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi nasional, mempromosikan kesejahteraan, pertumbuhan yang
berkelanjutan, dan keseimbangan di antara pelaku maupun wilayah. Agribisnis dan
pengembangan sistem agribisnis diyakini sebagai pendekatan yang paling tepat
untuk pembangunan ekonomi di Indonesia (Saragih, 2005). Arah Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis di
Departemen Pertanian menuju empat tujuan yaitu membangun sistem dan usaha
agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan
desentralistis.
Agribisnis,
baik konsep maupun implementasinya, cukup banyak dikritik. Konsep
"business" dan "corporation" nya dikhawatirkan
akan menimbulkan dampak yang khas dari cara berpikir kapitalisme dan
korporatisme. Agribisnis juga dikritik karena dirasa tidak sesuai dengan petani di Indonesia, dimana bertani bagi
sebagian besar petani di Indonesia selain untuk memperoleh pendapatan, adalah
juga sebuah cara hidup (way of life atau livehood) (Mubyarto dan
Santosa, 2003). Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara
subsisten, dengan luas tanah sangat kecil, petani gurem, penyakap, dan buruh
tani. Mungkin agribisnis oke untuk usaha-usaha pertanian yang
berskala besar, misalnya perkebunan swasta; namun tidak untuk semua petani.
Perbandingan karakteristik antara agribisnis dengan
ketahanan pangan
Agribisnis
|
Ketahanan pangan
|
Bertani sebagai kegiatan
bisnis dengan prinsip efisien dan keuntungan
|
Tersedianya pangan dalam jumlah dan
kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman
dikonsumsi.
|
Agribisnis timbul dari
kesadaran perlunya pendekatan khusus untuk pembangunan pertanian yang berbeda
dengan pendekatan untuk sektor ekonomi lain. Namun, kalangan yang kontra
mengatakan ini siasatnya negara maju untuk menguasai sumber daya pertanian di
negara berkembang, karena kolonisasi sudah ga mungkin.
|
Alasannya adalah
memperbaiki bentuk-bentuk program bantuan pangan (food aid)
sebelumnya. Dipandang perlu ada mekanisme didalam kebijakan pembangunan untuk
memerangi kelaparan dan kekurangan gizi (malnutrition).
Ketahanan
pangan harus inherent dalam
kebijakan pembangunan nasional, bukan program-program yang reaktif atau
program “pemadam kebakaran”.
|
Komponennya adalah perihal produksi, penyimpanan (storage), distribusi, dan processing. Juga suplai input dan penyediaan pelayanan penyuluhan,
penelitian, dan kebijakan lain.
|
Komponennya adalah yaitu
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Ada yang
menyebut ada 3 dimensi, yaitu ketersediaan (availability), akses (access), dan pemanfaatan (utilization).
|
Muncul tahun 1945 dari
Amerika Serikat, namun secara resmi dirumuskan Davis
dan Goldberg tahun 1957.
|
Bermula pada dekade 1960-an dan 1970-an, saat dunia dihadapkan kepada kelaparan dan krisis pangan. Secara resmi dirumuskan
pada World
Food Summit tahun 1974.
|
Latar belakangnya adalah upaya
merumuskan pendekatan pembangunan pertanian di dunia ketiga yang dirasa lebih
sesuai untuk negara berkembang setelah PD II.
|
Kelaparan yang melanda dunia tahun 1960-an dan 1970-an,
dimana ternyata program bantuan pangan tidak menyelesaikan masalah.
|
Fokus kepada keuntungan,
efisiensi usaha, jaringan pemasaran, penguasaan pasar, dll.
|
Fokus: harus ada mekanisme didalam kebijakan pembangunan untuk
memerangi kelaparan dan kekurangan gizi (malnutrition)
|
Yang berkepentingan adalah
investor dan korporasi multinasional
|
Yang terus menerus perduli adalah FAO dan badan-badan
dunia lain, bukan perusahaan swasta.
|
Ketahanan
pangan merupakan satu contoh konsep yang berkembang dari sederhana, luas, dan
kualitatif menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif. Tidak kurang
sekitar 200 definisi telah dihasilkan dalam publikasi-publikasi ilmiah (Maxwell and Smith, 1992).
Pada dasarnya, ketahanan pangan (food
security) adalah tersedianya pangan dalam jum lah dan kualitas yang cukup,
terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya
adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan
berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek
akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek
distribusi.
Ketahanan
pangan adalah sesuatu yang multikonsep, serta didefinisikan dan diinterpretasi
secara bervariasi. Namun, hasil akhir yang ingin dicapai cenderung lebih disepakati, yaitu “.... the availability of adequate supplies
at a global and national level; at the other end, the concern is with adequate
nutrition and well-being” (FAO, 2003). Jadi,
yang ingin dituju adalah tersedianya pangan, tercukupinya kebutuhan gizi, serta
tentu saja kesejahteraan. Gagasan ketahanan
pangan awal lahir saat pertemuan World Food Summit tahun 1974, lalu diperbaiki
pada tahun 1975, saat PBB mendirikan komite Ketahanan Pangan
Dunia (The Committee on World Food
Security). Pada periode 1990-an, ketahanan pangan telah menjadi perhatian yang
penting, dengan perhatian mulai dari level individual sampai level dunia.
Di tingkat
aplikasi, sebutlah di level rumah tangga, akan terjadi perbenturan yang
diametral jika menerapkan pendekatan agribisnis atau ketahanan pangan. Memilih
agribisnis (menanam tanaman untuk pasar) dengan memilih ketahanan pangan
(menanam pangan yang dikonsumsi sendiri) bisa mencelakakan bagi rumah tangga
petani yang berlahan sempit dan segitu-gitunya.
Perbedaan jika menerapkan strategi agribisnis dan ketahanan
di level rumah tangga
Pendekatan
berbasis agribisnis
|
Pendekatan
berbasis ketahanan pangan
|
Menanam
ditanam untuk dijual
|
Menanam
untuk dikonsumsi sendiri, tidak untuk dijual
|
Tujuannya
untuk memperoleh tambahan pendapatan bagi petani dan keluarganya
|
Tujuannya
untuk menekan pengeluaran, dan menyediakan pangan yang
cukup untuk dapur sendiri
|
Usahatani
dilakukan dengan mengkalkulasi keuntungan
|
Tidak
berbasiskan kalkulasi yang ketat, karena hanya diusahakan dalam skala kecil
|
Dilakukan dalam skala besar agar tercapai skala ekonomi
yang menguntungkan, jika tidak maka tidak akan bersaing dengan tanaman lain.
|
Dalam
skala secukupnya, tidak harus besar, sesuai lahan yang tersedia pada setiap
rumah tangga.
|
Hanya
beberapa petani yang akan menanam tanaman tersebut, namun spesialis. Petani
yang menanam tanaman ini tidak menanam tanaman lain.
|
Semua
petani di satu wilayah menanam berbagai tanaman terutama tanaman pangan, tidak spesialis.
|
Akan
ada kawasan khusus atau sentral pengembangan tanaman komoditas tertentu, misalnya
klaster.
|
Tidak
ada kawasan khusus, semua lahan pekarangan menanam tanaman yang relati sama.
|
Tergantung
kepada gejolak pasar. Petani bisa terpukul jika harga tanaman tersebut jatuh.
|
Tidak
tergantung kepada pasar sama sekali. Mereka lebih tahan ekonominya, dan
urusan dapur lebih terjamin.
|
Produksi yang diahsilkan
menjadi komoditas yang masuk dan tunduk kepada kondisi pasar.
|
Hasil produksi tidak menjadi
komoditas pasar.
|
Bagaimana relasi
antara keduanya? Salah satu ide
yang berkembang adalah menjadikan agribisnis sebagai alat untuk mencapai ketahanan
pangan. Agribisnis adalah strategi untuk mencapai ketahanan pangan. Di Deptan,
ketahanan pangan dapat dicapai melalui agribisnis. “Komponen dari sistem ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, distribusi,
dan konsumsi; tidak lain adalah kegiatan usaha berbasis agribisnis. Berdasarkan
hal tersebut, maka peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan
dengan pendekatan sistem agribisnis, yang merupakan rangkaian yang terintegrasi
antara subsistem hulu, usahatani, hilir, dan subsistem jasa” (Deptan, 2002;
67).
Ketahanan pangan dapat menjadi semacam kesadaran, sehingga agribisnis tidak menjadi liar. Namun demikian, agribisnis dan ketahanan pangan memiliki tujuan mulia yang sama, yaitu majunya pertanian, peningkatan kesejahtaraan petani, dan pengurangan kemiskinan. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar