Kamis, 26 Januari 2017

Ceblokan vs Bagi Hasil

Secara umum, “bagi hasil” adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam bahasa Belanda disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia (Scheltema, 1985). Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua  unsur produksi (modal dan kerja) dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura.

Bagi hasil dahulu membagi hasil kotor (deelbouw). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap menjadi lebih besar, khususnya dalam asumsi input produksi yang dibeli bernilai nol atau sangat rendah. Namun ketika sarana produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana produksi yang ditanggung bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap seluruhnya.

Untuk bagi hasil pada usaha pertanian padi sawah, umumnya pembagian dilakukan terhadap hasil kotor, meskipun spirit landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih. Ini lebih adil. Jika hasil panen anjlok, maka kedua belah pihak masih tetap sama-sama memperoleh bagian meskipun kecil. Namun jika pembagian dari hasil bersih, penyakap memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka bisa bisa saja itu sudah habis untuk membayar sarana produksi, sehingga penggarap tidak memperoleh apapun.

Selain bagi hasil, juga ada apa yang disebut ”bagi usaha”. Pada usahatani padi di Jawa misalnya dikenal sistem ”ceblokan” atau “kedokan”, yaitu upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon. Disini berlangsung penyakapan secara berganda, karena si penyakap kadang-kadang menyakapkan lagi pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada orang lain. Ini bisa dimaknai sebagai sisa gejala involusi pertanian dulu, atau bisa juga sebagai bentuk baru involusi pertanian.

Khusus untuk pekerjaan memanen, adakalanya petani yang memperoleh hak bawon membaginya lagi dengan si pemanen yang disebut penderep. Artinya, pada satu petak sawah telah terjadi tiga tingkat penyakapan yang menerapkan bagi hasil dan bagi usaha yang melibatkan empat pihak sekaligus. Keempat pihak tersebut adalah pemilik sawah, penyakap, petani yang melakukan kedokan, dan penderep. Tampak bahwa konsep bagi hasil telah dikembangkan sedemikian kompleksnya, yang mungkin belum terpikirkan dalam produk-produk bank syariah. Kerjasama tak lagi hanya antar pihak yang bermodal dengan yang tidak, tapi juga antara mereka yang sama-sama hanya mengandalkan tenaga. Ini hanya bisa terjadi bila mengaplikasikan prinsip bagi hasil yang perolehan tiap pihak lebih mudah menghitungnya. Keterbatasan lahan, terutama di Jawa, telah menimbulkan berbagai bentuk relasi kerja dan kuasa antara pemilik tanah dengan pekerja yang kaya dan variatif.

Perbandingan karakter perjanjian kerja ceblokan dan bagi hasil
Ceblokan
Bagi hasil
Pemberian hak panen kepada orang yang telah melakukan kerja pada sebidang tanah, biasanya berupa pekerjaan tanam dan menyiang tanpa mendapat bayaran dari pemilik. Ada yang menyebut dengan “kedokan”.
Kerjasama pengelolaan usahatani antara pemilik yang menyediakan lahan dengan penggarap (penyakap) yang menyediakan sarana produksi dan tenaga kerja.
Hanya ditemukan pada usaha padi sawah. Satu ha di sawah kadang dibagi untuk 3 sampai 10 penceblok. Biasanya penceblok terdiri dari keluarga (suami isteri)
Berlaku untuk banyak komoditas, bahkan bisa juga pada usaha peternakan
Petani penceblok hanya menyediakan tenaga kerja
Petani penyakap menyediakan tenaga kerja, sarana produksi dan pengolahan tanah, tergantung perjanjian dengan pemilik sawah.
Upahnya adalah berupa natura dari panen, disebut bawon. Biasanya sepertujuh bagian dari panen, atau seperenam bagian, tergantung wilayah.
Pendapatan penggarap (penyakap) berasal dari bagian dari panen yang diperoleh dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkannya sendiri.
Pendorongnya adalah kelebihan tenaga kerja dan terbatasnya lahan garapan, dan banyak petani yang mau bekerja tanpa upah tunai langsung. Penyebab langsungnya adalah mendapatkan upah panen (bawon) yang biasanya lebih besar dibandingkan dengan upah dari pekerjaan lain.
Pendorongnya adalah terbatasnya lahan garapan, atau ada petani yang tidak ekonomis jika menggarap langsung sendiri, misalnya karena luas penguasaan yang terlalu sempit.
Hanya ditemukan di Jawa, dan hanya pada usahatani padi sawah.
Ditemukan di hampir semua daerah di Indonesia, untuk pertanian pangan dan juga peternakan.


Untuk aktivitas panen dibedakan antara sistem ceblokan dengan sistem keroyokan. Pemanenan dengan sistem ceblokan adalah pemanenan padi yang dilakukan oleh tenaga pemanen dalam jumlah terbatas yang sebelumnya mereka ikut merawat tanaman padi termasuk menyiangi atau ikut menanam padi tanpa mendapat bayaran dari pemilik sawah. Tenaga pemanen (penderep) di luar penceblok tidak dibolehkan ikut memanen padi pada sawah tersebut. Secara teknis, panen dengan ceblokan lebih baik, karena tidak berebutan dan buru-buru dalam pekerjaannya. ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar