Secara
umum, “bagi hasil” adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam
bahasa Belanda disebut deelbouw,
merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia (Scheltema, 1985).
Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana
pembagian hasil terhadap dua unsur
produksi (modal dan kerja) dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari
hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura.
Bagi
hasil dahulu membagi hasil kotor (deelbouw).
Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih
adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa
tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan hasil
bersih (deelwinning), resiko penyakap
menjadi lebih besar, khususnya dalam asumsi input produksi yang dibeli bernilai
nol atau sangat rendah. Namun ketika sarana produksi menjadi cukup penting,
ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana produksi yang ditanggung
bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap seluruhnya.
Untuk bagi hasil pada usaha pertanian padi sawah, umumnya
pembagian dilakukan terhadap hasil kotor, meskipun spirit landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih. Ini lebih
adil. Jika hasil panen anjlok, maka kedua belah pihak masih tetap sama-sama
memperoleh bagian meskipun kecil. Namun jika pembagian dari hasil bersih,
penyakap memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka bisa bisa
saja itu sudah habis untuk membayar sarana produksi, sehingga penggarap tidak
memperoleh apapun.
Selain bagi hasil, juga ada apa yang disebut ”bagi
usaha”. Pada usahatani padi di Jawa misalnya dikenal sistem ”ceblokan” atau “kedokan”, yaitu
upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara natura saat panen dengan
nisbah tertentu yang disebut bawon. Disini berlangsung penyakapan secara
berganda, karena si penyakap kadang-kadang menyakapkan lagi pekerjaan-pekerjaan
tertentu kepada orang lain. Ini bisa dimaknai sebagai sisa gejala involusi
pertanian dulu, atau bisa juga sebagai bentuk baru involusi pertanian.
Khusus untuk pekerjaan memanen, adakalanya petani yang
memperoleh hak bawon membaginya lagi
dengan si pemanen yang disebut penderep. Artinya, pada satu petak sawah
telah terjadi tiga tingkat penyakapan yang menerapkan bagi hasil dan bagi usaha
yang melibatkan empat pihak sekaligus. Keempat pihak tersebut adalah pemilik
sawah, penyakap, petani yang melakukan kedokan,
dan penderep. Tampak bahwa konsep
bagi hasil telah dikembangkan sedemikian kompleksnya, yang mungkin belum
terpikirkan dalam produk-produk bank syariah. Kerjasama tak lagi hanya antar
pihak yang bermodal dengan yang tidak, tapi juga antara mereka yang sama-sama
hanya mengandalkan tenaga. Ini hanya bisa terjadi bila mengaplikasikan prinsip
bagi hasil yang perolehan tiap pihak lebih mudah menghitungnya. Keterbatasan lahan, terutama di Jawa,
telah menimbulkan berbagai bentuk relasi kerja dan kuasa
antara pemilik tanah dengan pekerja yang kaya dan variatif.
Perbandingan
karakter perjanjian kerja ceblokan
dan bagi hasil
Ceblokan
|
Bagi hasil
|
Pemberian
hak panen kepada orang yang telah melakukan kerja pada sebidang tanah,
biasanya berupa pekerjaan tanam
dan menyiang tanpa mendapat bayaran dari pemilik. Ada yang menyebut dengan
“kedokan”.
|
Kerjasama pengelolaan usahatani
antara pemilik yang menyediakan lahan dengan penggarap (penyakap) yang
menyediakan sarana produksi dan tenaga kerja.
|
Hanya ditemukan pada usaha padi
sawah. Satu ha di sawah kadang dibagi untuk 3 sampai 10 penceblok. Biasanya penceblok terdiri dari keluarga (suami
isteri)
|
Berlaku untuk banyak komoditas, bahkan bisa juga pada
usaha peternakan
|
Petani penceblok
hanya menyediakan tenaga kerja
|
Petani penyakap menyediakan tenaga
kerja, sarana produksi dan pengolahan tanah, tergantung perjanjian dengan
pemilik sawah.
|
Upahnya
adalah berupa natura dari panen, disebut bawon.
Biasanya sepertujuh bagian dari panen, atau seperenam bagian, tergantung wilayah.
|
Pendapatan penggarap (penyakap) berasal dari bagian dari
panen yang diperoleh dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkannya sendiri.
|
Pendorongnya
adalah kelebihan tenaga kerja dan terbatasnya lahan garapan, dan banyak petani yang mau
bekerja tanpa upah tunai langsung. Penyebab langsungnya adalah mendapatkan
upah panen (bawon) yang biasanya
lebih besar dibandingkan dengan upah dari pekerjaan lain.
|
Pendorongnya adalah terbatasnya
lahan garapan, atau ada petani yang tidak ekonomis jika menggarap langsung
sendiri, misalnya karena luas
penguasaan yang terlalu sempit.
|
Hanya
ditemukan di Jawa, dan hanya pada usahatani padi sawah.
|
Ditemukan di hampir semua daerah di Indonesia, untuk
pertanian pangan dan juga peternakan.
|
Untuk aktivitas panen dibedakan
antara “sistem ceblokan” dengan “sistem keroyokan”. Pemanenan
dengan sistem ceblokan adalah
pemanenan padi yang dilakukan oleh tenaga pemanen dalam jumlah terbatas yang
sebelumnya mereka ikut merawat tanaman padi termasuk menyiangi atau ikut
menanam padi tanpa mendapat bayaran dari pemilik sawah. Tenaga pemanen (penderep) di luar penceblok tidak
dibolehkan ikut memanen padi pada sawah tersebut. Secara teknis, panen dengan ceblokan
lebih baik, karena tidak berebutan dan buru-buru dalam pekerjaannya. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar