Menurut
orang-orang WTO, WTO sering disalahpahami. Mereka merangkumnya dalam artikel
“10 Common Misunderstandings About The WTO” (www.wto.org).
Pemaparan berikut semata-mata memang sisi pandang orang-orangnya WTO tersebut,
sehingga mungkin terkesan sangat-sangat membela WTO.
Entah benar entah tidak.
Mitos dan fakta tentang WTO
Mitos (M) dan Fakta (F)
|
(1). M: WTO
mengendalikan kebijakan negara anggota.
|
F: WTO tidak mendikte kebijakan
negara-negara anggota. Malah sebaliknya, karena WTO adalah sebuah a
member-driven organization. Aturan dalam WTO lahir dari negosiasi di
antara anggota, dan selalu bisa direvisi lagi, dan tiap keputusan diambil
secara konsensus antar anggota. Keputusan yang diambil bersifat negotiated, accountable and democratic. WTO hanya mengintervensi jika ada perselisihan
yang lalu diselesaikan oleh the Dispute
Settlement Body yang anggotanya juga semua negara. Faktanya: “it’s the governments who dictate to the
WTO”.
|
(2). M: WTO bermakna
sebagai perdagangan bebas
secara mutlak.
|
F: Tidak demikian. Soal apakah negara-negara dapat menawar negara
lain, sangat bergantung kepada apa yang diperdebatkan. Memang satu prinsip
dalam sistem WTO adalah menekan hambatan perdagangan antar negara. Negara
harus memperoleh keuntungan dari kondisi ini. Seberapa rendah hambatannya
terserah negara bersangkutan asal yang lain bisa terima. One country’s commitments become another country’s rights, and vice
versa. WTO semata-mata menyediakan forum untuk bernegosiasi, namun sejauh
apa liberalnya silahkan disepakati. Kira-kira demikian menurut orang WTO.
Intinya, WTO ingin menghasilkan kondisi perdagangan yang nondiskriminasi, stable, predictable and transparant.
|
(3). M: Semangat
komersial (commercial interest) telah mengalahkan
prioritas pembangunan.
|
F: WTO tidak hanya memperhatikan
commercial interests, dan juga tidak
mengalahkan prioritas pembangunan. WTO sangat memperhatikan pembangunan, karena “Sustainable development is a
principal objective”. Perdagangan bebas adalah cara yang paling efektif mencapai pertumbuhan
ekonomi dan mendukung pembangunan. Dan, “commerce
and development are good for each other”. Bahkan, apakah sebuah negara telah dirugikan menjadi topik bahasan di
forum WTO. Negara berkembang diberi waktu yang cukup untuk menentukan sendiri
kapan mau menerapkan WTO agreements.
Subsidi pun masih memungkinkan.
|
(4). M: Semangat
komersial juga mengalahkan prioritas lingkungan.
|
F:
Tidak benar. WTO sangat peduli lingkungan. Dalam
bagian pembukaan The Marrakesh Agreement Establishing WTO terbaca tentang pemanfaatan optimal sumberdaya,
pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan lingkungan. Ini dikuatkan lagi
dalam aturan WTO, misalnya dalam Article 20 dari the General
Agreement on Tariffs and Trade. Subsidi pun boleh dilakukan jika untuk perlindungan
lingkungan. Dan, WTO pun menerapkan prinsip-prinsip lingkungan dalam hal product standards, food safety,
intellectual property protection, dan lain-lain. Bahkan negara anggota
diminta untuk adil. Jangan keras sama
orang tapi lunak ke diri sendiri. Produk orang diketatkan, namun produk sendiri longgar dalam syarat lingkungannya. Dan ingat: selama ini belum ada konflik
antara WTO’s agreements dengan the international environmental agreements.
|
(5). M: Semangat
komersial juga mengalahkan prioritas kesehatan dan keamanan
|
F:
Salah. WTO tidak pernah memaksa pemerintah tentang ini. Soal keamanan (safety) sangat diperhatikan di WTO.
Pada klausul GATT Art. 20, secara khusus mengingatkan pemerintah untuk
memperhatikan perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Bahkan sudah
disusun pedoman jika saja ada perbedaan standar dalam perdagangan antar
negara anggota berkenaan dengan aspek kesehatan ini, dimana bukti dan standar
ilmiah menjadi basisnya. Berbagai perjanjian internasional diacu oleh WTO, misalnya
Codex Alimentarius yang ada di
bawah FAO dan WHO. Negara anggota bebas untuk menyusun sendiri standar
kemananan dan kesehatannya dengan prinsip not
arbitrary dan not discriminate
|
(6). M: WTO
menghancurkan lapangan pekerjaan, dan kemiskinan pun makin buruk.
|
F: WTO tidak menghilangkan kesempatan kerja, juga tidak memperlebar
gap antara yang kaya dan yang miskin.
Ini memang ga mudah menjelaskannya. Sebenarnya perdagangan
dapat menciptakan pekerjaan baru dan menekan kemiskinan. Memproteksi negara
dari perdagangan belum tentu juga berdampak baik. Hubungan antara perdagangan
dan kesempatan kerja memang kompleks. Dengan pembatasan perdagangan yang rendah,
produsen dan pekerjanya menghadapi tantangan baru. Pekerja ekspor sering
mendapat gaji yang besar. Kuncinya adalah bagaimana satu negara pandai-pandai
membuat kebijakannya sendiri yang efektif, sehingga bisa mengoptimalkan
manfaat dari peluang perdagangan. Apa yang disebut dengan “liberalisasi” di
WTO bukan sesuatu yang sudah jadi dan tak bisa diganggu gugat lagi. “…..liberalization
under the WTO is the result of negotiations”. Riset Bank Dunia
membuktikan: “….has shown that trade
liberalization since World War II has contributed to lifting billions of
people out of poverty”. Dan, adalah fitnah jika mengatakan: “…that liberalization has increased inequality”.
|
(7). M: Negara kecil tak berdaya
di WTO
|
F: Negara kecil tidaklah tak
berdaya di WTO. Justeru, “Small
countries would be weaker without the WTO”. WTO akan meningkatkan daya
tawar negara kecil. Negara-negara berkembang terbukti sangat aktif dalam
negosisasi dan menyampaikan berbagai proposal dan berperan penting dalam
pertemuan Doha Qatar tahun 2001. Pada putaran Uruguay (1986–1994), negara
berkembang berhasil memaksa negara maju untuk merubah kesepakatan tentang
komoditas tekstil dan pertanian. Kedua komoditas ini penting bagi negara
berkembang. Dengan mantap, WTO berujar: “Without
the WTO, these smaller countries would have been powerless to act against
their more powerful trading partners”. Indonesia yang sering dibilang
hanya jadi korban, pernah menang saat rokok kretek ditolak masuk Amerika.
|
(8). M: WTO adalah alat lobi
yang sangat powerful
|
F: WTO bukanlah alat untuk para
pelobby. Pemerintah satu negara justeru bisa mengandalkan WTO untuk melawan
loby-loby perusahaan transnasional
misalnya. Banyak yang keliru tentang sifat keanggotaan WTO. Intinya, WTO
adalah organization of governments, bukan
organisasinya para private sector,
NGO, atau kelompok pelobi lain. Jika pun mereka terlibat, hanya sebatas
event-event khusus misalnya seminar dan simposium.
|
(9) M: Negara lemah dipaksa ikut WTO
|
F: Negara lemah tetap memiliki
pilihan, mereka ga dipaksa masuk
WTO. Tetap lebih untung masuk WTO, karena prinsip kerja WTO yang non-diskriminasi dan
transparan. Posisi negara lemah di WTO bisa lebih terlindungi dibandingkan
bila hanya mengandalkan kerjasama bilateral. Daya tawar negara kecil bisa
lebih kuat karena bisa bergabung dengan negara-negara lain yang senasib.
|
(10). M: WTO tidak demokratis
|
F: Itu
fitnah. WTO demokratis. Tiap
keputusan di WTO diperoleh melalui konsensus, bukan dengan pendekatan mayoritas. Keputusan baru diambil saat semua negara anggota
setuju, yang lalu diratifikasi di parlemen.
Memang tidak semua negara sama kekuatannya. Namun, dengan prinsip konsensus,
maka tiap negara memiliki kesempatan dan pilihan.
|
Ya,
demikianlah penjelasan resminya pihak WTO. Namun, meski memang semua aturan
nya disusun seolah-olah netral, namun secara sosiologis pun kita
tahu
bahwa kuat dan lemah sebuah negara tidaklah sungguh-sungguh
sesuatu yang netral. Negara lemah
tidak pernah sejajar dengan negara yang kuat. Apalagi perdagangan bukanlah
sesuatu yang steril dari urusan lain. Sebuah negara yang militernya bergantung
kepada bantuan satu negara misalnya,
sangat tahu diri bagaimana dan sejauh apa yang ia bisa peroleh dalam tawar menawar
perdagangan. Saling kait mengkait.
Mungkin
banyak pengkritik yang memang salah
alamat. Bahwa misalnya banyak pengusaha pertanian merusak lingkungan, itu lebih
karena praktek si pengusaha itu sendiri. WTO hanya mengatur perdagangannya,
tidak seluruh praktek pertanian diawasinya.
Neoliberal
dicurigai di belakang semua ini. Ia ada di berbagai organisasi dunia dan
berbagai “kesepakatan kerjasama” ekonomi dunia. Kelahiran WTO
dicurigai mempunyai latar belakang dominasi
Amerika. WTO diawali sejak tahun 1948 dengan pendirian GATT dengan tujuan
menjadi salah satu badan khusus PBB yakni International Trade
Organization (ITO) dan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). Dalam WTO dibahas
proposal untuk Agreement On Agriculture (AoA), TRIPs, akses
pasar non-pertanian (NAMA) dan GATS. Dalam pertemuan KTM IX WTO dibahas
tiga agenda utama yang disebut sebagai Paket Bali (Bali Packages),
yakni Least Development Countries (LDCs) Packages, Trade
Facilitation dan pertanian, yang berada di meja Putaran Doha WTO.
Alasan lain adalah bahwa sejak WTO berdiri dan beroperasi krisis global tetap berlangsung. Entah berhubungan langsung atau tidak, akses
pangan masih sulit, harga pangan tidak stabil, ketergantungan impor negara
miskin naik, dan land grabbing meluas. Bank Dunia pernah membuat
simulasi keuntungan dari “kemungkinan” kesepakatan Putaran Doha.
Hasilnya, keuntungan global yang diproyeksikan untuk tahun 2015 adalah US$ 96
milyar dengan US$ 16 milyar akan didapat oleh negara berkembang. Kerugian total
tarif bagi negara-negara berkembang misalnya dalam negosiasi NAMA bisa hingga US$
63 miliar atau hampir empat kali lipat keuntungan diproyeksikan. Setengah dari
semua manfaat ke negara-negara berkembang akan mengalir hanya pada delapan
negara (Argentina, Brasil, Cina, India, Meksiko, Thailand, Turki, dan
Vietnam). Timur Tengah dan Afrika akan menjadi pecundang terbesar dari
kesepakatan ini, termasuk Indonesia.
Ya, memang tidak bisa semua
produk dan jasa jadi barang dagangan. Itulah kenapa banyak yang pesimis dengan
Putaran Doha yang tidak akan
memecahkan masalah pertanian, pedesaan dan kelaparan dunia. Karena inilah lalu
timbul konsep “Kedaulatan Pangan”.
Dalam banyak hal, ini melawan konsep “ketahanan pangan” yang diusung di WTO. *********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar