Jumat, 24 Oktober 2014

Rasionalitas Petani: Scott vs Popkin


Ini soal perbedaan memaknai satu objek yang persis sama. Keduanya datang dari objek studi yang sama, yakni petani era praindustrial di Vietnam dan Birma di awal abad ke 20. Objeknya adalah petani kecil. Yang satu pakai antropologi, yang satu pakai politik ekonomi.

Perdebatan Samuel Popkin dan James Scott tentang Petani di Asia Tenggara sudah banyak dibicarakan orang. Popkin dengan bukunya The Rational Peasant mengambil kasus kehidupan petani di Vietnam, sedangkan James Scott dalam bukunya The Moral Economy of The Peasant, banyak membicarakan kasus di Birma.

Popkin disebut orang sebagai anti tesis terhadap karya Scott yang mengambil pendekatan ekonomi moral untuk memahami persoalan-persoalan para petani. Scott menyatakan bahwa petani menganut gaya hidup gotong royong, tolong menolong dan melihat persoalan sebagai persoalan yang kolektif. Sikap ini disebabkan karena struktur kehidupan petani yang terjepit, dan harus menyelamatkan diri. Selain itu, para petani juga menganut asas pemerataan, dengan pengertian membagikan secara sama rata apa yang terdapat di desa, karena mereka percaya pada hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup. Karena itu dikenallah sistem bagi hasil. Ada mekanisme “selamatan” yang dilakukan oleh para petani kaya untuk membagi rezeki dengan komunitas desa. Intensifikasi pertanian dan komersialisasi hasil-hasil agraria dianggap sebagai ancaman oleh para petani yang nyaman dengan kondisinya.

Namun Popkin berpendapat bahwa Scott terlalu meromantisir aspek kehidupan gotong royong dan hubungan antara patron-klien. Ia menunjukkan adanya free-riders di desa yaitu orang-orang yang tidak mau bekerja namun tetap ingin menikmati hasil-hasil kerja kolektif itu. Menurut Popkin, ada keengganan pemilik tanah untuk membiarkan petani menjual hasilnya sendiri ke pasar. Mereka takut petani akan menguasai pasar, sehingga hilanglah ketergantungan petani padanya.  Lebih jauh, Popkin menyatakan bahwa petani adalah orang-orang yang rasional. Mereka pun ingin menjadi kaya, seandainya mereka memiliki akses yang lebih leluasa terhadap pasar. Karena itu, komersialisasi pertanian akan memperbaiki harkat hidup orang banyak.

Rasionalitas petani menurut Scott adalah moral ekonomi petani yang hidup di garis batas subsistensi, yaitu dengan norma mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Bagi Scott hal ini merupakan perilaku yang rasional. Namun Popkin melihat bahwa fenomena tersebut jangan diartikan sempit. Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak saja, sehingga mereka akan lebih memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Popkin yakin, pada hakekatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron hilang.

Perbedaan pandangan James C. Scott dengan Samuel Popkin tentang rasional petani
Moral ekonomi petani
Rasionalitas petani

James C. Scott dalam buku The Moral Economy of The Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia (1976); In Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (1985); dan Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1990).

Samuel Popkin dalam buku The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam  (1979).
Menggunakan pendekatan ekonomi moral antropologis
Pendekatan ekonomi politik
Prinsip hidup petani adalah mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko
Tidak demikian. Petani sesungguhnya mau mengambil resiko, namun tidak diberi kesempatan
Penyebabnya karena petani lebih merasa tenang demikian. Mereka enjoy.
Penyebabnya karena petani berada dalam tekanan dan tidak diberi peluang. Mereka dipaksa keadaan.
Menerapkan gaya hidup gotong royong, tolong menolong, melihat persoalan sebagai persoalan yang kolektif, menganut asas pemerataan, dan adalah hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup.
Petani ingin juga kaya secara individual, namun petani kaya mengahalngi petani untuk masuk ke pasar.
Hubungan patron-klien bagus, untuk melindungi yang lemah.
Hubungan patron-klien tidak bagus. Ini merupakan suatu relasi eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga kerja.


Intinya, Popkin mengkritik Scott dan menyakini bahwa petani pada hakekatnya ingin meningkatkan ekonominya dan berani mengambil resiko. Jika Scott menyebut petani dengan ekonomi moral, Popkin mengungkapkan tentang rasional ekonomi petani. Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional. Petani ingin mendapatkan akses ke pasar. Mereka ingin kaya, dan mampu menerapkan praktek untung rugi.

Hubungan patron-klien bagi Popkin adalah suatu relasi yang eksploitatif. Petani dihibur hanya dengan hal-hal kecil seperti mencari butir-butir padi yang tersisa, agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Pada hakekatnya, Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional.

Sementara menurut Kurtz (2000), teori “ekonomi moral” tidak berlaku dalam kasus modern atau dimana individualisasi tinggi, adanya transisi ke kapitalisme, dan dimana struktur komunitas masyarakat sudah lemah. Namun, teori “pilihan rasional” juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah “free- riders” tidak signifikan mempengaruhi perilaku kolektif.

Di sisi lain, Hayami dan Kikuchi (1987) menerima Scott maupun Popkin, namun menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat petani pada dasarnya adalah saling tolong menolong pada kondisi aras subsistens, tetapi petani juga menganut pemikiran ”rasional ala petani” (rational peasant). Pandangan ini senada dengan Boeke (1974), bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat sosial daripada ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani sebagai limited needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap merasa puas, tenteram, damai tanpa harus memaksakan keinginan lebih daripada yang mereka miliki. Namun, karena banyak petani sesungguhnya terlibat dalam ekonomi subsisten sekaligus dengan ekonomi kapitalis; maka mereka tentu menetapkan prinsip rasional juga.

Perpaduan antara rasionalitas dan independensi mampu menumbuhkan keberanian menghadapi resiko. Pada hakekatnya, seluruh tindakan sosial petani selalu mengandung rasionalitas. Pointnya adalah, rasionalitasnya itu seperti apa. Level independensi dan keberanian beresiko menjadi faktor penting yang menentukan tipologi tindakan petani.

Dalam tulisan Martinussen (1997) disebutkan bahwa kalangan ekonomi pembangunan dan peneliti Barat melihat petani di negara ketiga sebagai irasional. Hal ini karena petani-petani tidak mempertimbangkan dan mengeksploitasi semua kesempatan-kesempatan yang ada untuk meningkatkan produksi dan pendapatannya. Petani subsisten disebut sebagai irasional, karena hanya berproduksi untuk diri dan keluarganya saja. Schultz menyebut ini dengan ”lazy producers”. Namun kalangan lain tidak sependapat. Bagi mereka, perilaku petani tersebut adalah rasional dalam konteks situasi mereka dan cara bagaimana ia mempersepsikan apa pilihan yang tersedia baginya. Mereka yang membela ini mengajukan fakta lain, bahwa petani melakukan itu karena posisinya sekaligus sebagai produsen dan konsumen.


Bicara soal rasionalitas memang tidak ada habisnya. Lalu, bagaimana kita di Indonesia memandang petani kita sendiri? Secara tersirat maupun tersurat, kita cenderung berpendapat: Petani bodoh!  Kepala Badan SDM suatu kementerian pernah mengatakan: “Ditambah lemahnya pola pemikiran petani kecil sehingga sangat sulit untuk memperoleh perlindungan hukum. Karena itu, petani perlu diberikan pendamping teknis dari pemerintah guna memajukan pola pikir petani yang rendah tadi. Catat kata “....pola pikir petani yang rendah tadi”. Lalu, bagaimana caranya? Dari menteri ke menteri caranya relatif ga berubah. Bantuan sarana,  fasilitas, pupuk, benih, dan modal. Aneh memang.

*****

4 komentar:

  1. kirim ke padang berapa ongkirnya

    BalasHapus
  2. kalau kirim ke jambi berapa ongkos kirim nya pak ?



















    BalasHapus
  3. senang dan suka ulasannya. membantu saya memahami dan misahkan scoot dan popkins yang enyel2an itu. terimakasih banyak

    BalasHapus