Ini soal perbedaan memaknai satu objek
yang persis sama. Keduanya datang dari objek studi yang sama, yakni petani era praindustrial di Vietnam dan Birma di awal
abad ke 20. Objeknya adalah petani kecil. Yang satu pakai antropologi, yang
satu pakai politik ekonomi.
Perdebatan Samuel Popkin dan James Scott tentang Petani di Asia Tenggara sudah
banyak dibicarakan orang. Popkin dengan bukunya The Rational Peasant mengambil kasus
kehidupan petani di Vietnam, sedangkan James Scott dalam bukunya The Moral Economy of The Peasant, banyak membicarakan kasus di Birma.
Popkin
disebut orang sebagai anti tesis terhadap karya Scott yang mengambil
pendekatan ekonomi moral untuk memahami persoalan-persoalan para petani. Scott
menyatakan bahwa petani menganut gaya hidup gotong royong, tolong menolong dan
melihat persoalan sebagai persoalan yang kolektif. Sikap ini disebabkan karena
struktur kehidupan petani yang terjepit, dan harus menyelamatkan diri. Selain
itu, para petani juga menganut asas pemerataan, dengan pengertian membagikan
secara sama rata apa yang terdapat di desa, karena mereka percaya pada hak
moral para petani untuk dapat hidup secara cukup. Karena itu dikenallah sistem bagi
hasil. Ada mekanisme “selamatan” yang dilakukan oleh para petani kaya untuk
membagi rezeki dengan komunitas desa. Intensifikasi pertanian dan
komersialisasi hasil-hasil agraria dianggap sebagai ancaman oleh para petani
yang nyaman dengan kondisinya.
Namun Popkin berpendapat bahwa
Scott terlalu meromantisir aspek kehidupan gotong royong dan hubungan antara
patron-klien. Ia menunjukkan adanya free-riders di desa yaitu
orang-orang yang tidak mau bekerja namun tetap ingin menikmati hasil-hasil
kerja kolektif itu. Menurut Popkin, ada keengganan pemilik tanah untuk membiarkan petani menjual
hasilnya sendiri ke pasar. Mereka takut petani akan menguasai pasar, sehingga
hilanglah ketergantungan petani padanya. Lebih jauh, Popkin menyatakan bahwa petani
adalah orang-orang yang rasional. Mereka pun ingin menjadi kaya, seandainya mereka memiliki
akses yang lebih leluasa terhadap pasar. Karena itu, komersialisasi pertanian
akan memperbaiki harkat hidup orang banyak.
Rasionalitas petani menurut Scott adalah moral ekonomi petani
yang hidup di garis batas subsistensi, yaitu dengan norma mendahulukan selamat
dan enggan mengambil resiko. Bagi Scott hal ini merupakan perilaku yang
rasional. Namun Popkin melihat bahwa fenomena tersebut jangan
diartikan sempit. Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak saja, sehingga
mereka akan lebih memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Popkin yakin, pada
hakekatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan
tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron hilang.
Perbedaan
pandangan James C. Scott dengan Samuel Popkin tentang rasional petani
Moral
ekonomi petani
|
Rasionalitas
petani
|
James C. Scott
dalam buku “The Moral Economy of The Peasant: Rebellion
and Subsistence in Southeast Asia (1976); “In Weapons of the Weak: Everyday
Forms of Peasant Resistance (1985); dan Domination
and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1990).
|
Samuel Popkin dalam buku “The
Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam (1979).
|
Menggunakan pendekatan ekonomi moral
antropologis
|
Pendekatan ekonomi politik
|
Prinsip hidup petani adalah
mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko
|
Tidak demikian. Petani sesungguhnya
mau mengambil resiko, namun tidak diberi kesempatan
|
Penyebabnya karena petani lebih
merasa tenang demikian. Mereka enjoy.
|
Penyebabnya karena petani berada
dalam tekanan dan tidak diberi peluang. Mereka dipaksa
keadaan.
|
Menerapkan gaya hidup gotong royong, tolong
menolong, melihat persoalan sebagai
persoalan yang kolektif, menganut asas pemerataan, dan adalah hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup.
|
Petani ingin juga kaya secara
individual, namun petani kaya mengahalngi petani untuk masuk ke pasar.
|
Hubungan patron-klien bagus, untuk melindungi yang
lemah.
|
Hubungan patron-klien tidak bagus. Ini merupakan
suatu relasi eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga
kerja.
|
Intinya, Popkin mengkritik Scott dan
menyakini bahwa petani pada hakekatnya ingin meningkatkan ekonominya dan berani
mengambil resiko. Jika Scott menyebut petani dengan ekonomi moral, Popkin
mengungkapkan tentang rasional ekonomi petani. Petani adalah orang-orang
kreatif yang penuh perhitungan rasional. Petani ingin mendapatkan akses ke pasar. Mereka ingin kaya, dan
mampu menerapkan praktek untung rugi.
Hubungan patron-klien bagi Popkin adalah suatu relasi yang eksploitatif. Petani dihibur hanya dengan hal-hal kecil seperti mencari
butir-butir padi yang tersisa, agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja
permanen. Pada hakekatnya, Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip
moral melainkan prinsip rasional.
Sementara menurut Kurtz (2000), teori
“ekonomi moral” tidak berlaku dalam kasus modern atau dimana individualisasi
tinggi, adanya transisi ke kapitalisme, dan dimana struktur komunitas
masyarakat sudah lemah. Namun, teori “pilihan rasional” juga tak berlaku dalam
kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model
yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah “free- riders” tidak signifikan
mempengaruhi perilaku kolektif.
Di sisi lain, Hayami dan Kikuchi (1987)
menerima Scott maupun Popkin, namun menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat
petani pada dasarnya adalah saling tolong menolong pada kondisi aras
subsistens, tetapi petani juga menganut pemikiran ”rasional ala petani” (rational peasant). Pandangan ini senada
dengan Boeke (1974), bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat sosial
daripada ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani
sebagai limited needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap
merasa puas, tenteram, damai tanpa harus memaksakan keinginan lebih daripada
yang mereka miliki. Namun, karena banyak petani sesungguhnya terlibat dalam
ekonomi subsisten sekaligus dengan ekonomi kapitalis; maka mereka tentu
menetapkan prinsip rasional juga.
Perpaduan antara rasionalitas dan
independensi mampu menumbuhkan keberanian menghadapi resiko. Pada hakekatnya,
seluruh tindakan sosial petani selalu mengandung rasionalitas. Pointnya adalah,
rasionalitasnya itu seperti apa. Level independensi dan keberanian beresiko
menjadi faktor penting yang menentukan tipologi tindakan petani.
Dalam tulisan Martinussen (1997)
disebutkan bahwa kalangan ekonomi pembangunan dan peneliti Barat melihat petani
di negara ketiga sebagai irasional. Hal ini karena petani-petani tidak
mempertimbangkan dan mengeksploitasi semua kesempatan-kesempatan yang ada untuk
meningkatkan produksi dan pendapatannya. Petani subsisten disebut sebagai
irasional, karena hanya berproduksi untuk diri dan keluarganya saja. Schultz
menyebut ini dengan ”lazy producers”.
Namun kalangan lain tidak sependapat. Bagi mereka, perilaku petani tersebut
adalah rasional dalam konteks situasi mereka dan cara bagaimana ia
mempersepsikan apa pilihan yang tersedia baginya. Mereka yang membela ini
mengajukan fakta lain, bahwa petani melakukan itu karena posisinya sekaligus
sebagai produsen dan konsumen.
Bicara soal rasionalitas memang tidak
ada habisnya. Lalu, bagaimana kita di Indonesia memandang petani kita sendiri? Secara tersirat maupun tersurat, kita cenderung berpendapat:
Petani bodoh!
Kepala Badan
SDM suatu kementerian pernah mengatakan: “Ditambah lemahnya pola pemikiran petani
kecil sehingga sangat sulit untuk memperoleh perlindungan hukum. Karena itu, petani perlu diberikan pendamping teknis dari pemerintah guna memajukan pola pikir
petani yang rendah tadi”. Catat kata “....pola pikir petani yang rendah tadi”.
Lalu, bagaimana caranya? Dari menteri ke menteri caranya relatif ga berubah. Bantuan sarana, fasilitas, pupuk, benih, dan modal. Aneh memang.
*****
kirim ke padang berapa ongkirnya
BalasHapuskalau kirim ke jambi berapa ongkos kirim nya pak ?
BalasHapusBagus sekali. Tks
BalasHapussenang dan suka ulasannya. membantu saya memahami dan misahkan scoot dan popkins yang enyel2an itu. terimakasih banyak
BalasHapus