Apa yang kita lakukan selama ini cenderung hanya membangun prasarana dan sarana
perdagangan, bukan merubah atau memperbaiki perdagangan secara sosio kultural. Hanya
membangun fisik, bukan social relation-nya.
Karena pedagang dipersepsikan buruk dan mesti disingkirkan, maka segala prasarana dibuat agar petani dapat menjual hasilnya langsung ke
konsumen.
Niatnya baik, yaitu agar margin keuntungan dapat beralih ke petani
seluruhnya.
Karena itu diciptakan berbagai program, misalnya
pengembangan terminal agribisnis, agropolitan, dan juga ”Pasar Petani”. Namun,
sebagaimana kita juga sudah mahfum, keberhasilannya sangat-sangat rendah.
Kenapa? Karena para perencana ini memaknai perdagangan bukan sebagai sebuah sistem sosial. Mereka ga perduli bahwa di dalam satu rantai
tata niaga ada orang-orang atau
aktor-aktor yang adalah manusia. Mereka tidak pernah mau paham bahwa
manusia adalah makhluk hidup dengan visi, tujuan hidup, kesenangan, kesusahan,
tantangan hidup, tenggang rasa, empati, simpati, kehawatiran, serta berbagai
aspek fikiran dan nafsu lain. Petani dan padagang adalah manusia.
Jadi, tata niaga hasil pertanian tidaklah semata soal
harga, keuntungan, kerugian, margin, dan
elastisitas; namun bagaimana manusia-manusia di dalamnya (petani, pedagang
pengumpul, pedagang besar, broker, pemilik truk, penjaga lapak, tukang timbang,
tukang kredit, dan kuli angkut) hidup, merasa enjoy dan mendapatkan penghidupan. Sistem perdagangan adalah
sesuatu yang socially constructed.
Perbedaan
pokok antara membangun prasarana untuk berdagang dengan membenahi pedagang
Membenahi prasarana perdagangan
|
Membenahi pedagang
|
Dasarnya adalah bahwa pedagang buruk, pedagang harus
disingkirkan dari sistem tata niaga pertanian
|
Pedagang adalah pelaku yang integral sehari-hari,
berperan nyata dalam menggerakkan agribisnis, meskipun perilaku
perdagangannya kadang merugikan petani
|
Fokusnya
fisik, dengan membangun los, kios, pasar.
|
Fokusnya
pada diri orang, manusia. Salah satu bentuknya adalah pendekatan Farming Business School (FBS).
|
Yang
dibutuhkan adalah ahli bangunan, tukang,
dan kontraktor untuk membangun pasar.
|
Yang
dibutuhkan adalah pelaku pemberdayaan, ahli sosial, ekonomi, komunikasi, dan lain-lain.
|
Meyakini bahwa jika petani langsung berdagang, maka
seluruh margin keuntungan beralih ke petani.
|
Pedagang adalah mitra petani. Ia mengambil margin besar
karena resiko dagang yang tinggi, barang pertanian mudah rusak, dan
lain-lain.
|
Petani harus berdagang langsung, berhadapan langsung
dengan konsumen. Dijalankan ”pasar petani”
|
Pedagang tetap terlibat dalam perdagangan, namun
dibantu sehingga biaya perdagangannya bisa rendah.
|
Bentuknya adalah membangun los, tempat berdagang, yaitu
terminal agribisnis dan sub terminal agribisnis dilengkapi gudang, kantor, dan
lain-lain.
|
Mereka membutuhkan kemudahan transportasi untuk menekan
biaya pedagangan, hilangkan pungutan di jalan, beri bantuan modal, mudahkan
pinjaman ke bank, bantuan manajemen pemasaran, dan bantuan hukum.
|
Mengorganisasikan petani menjadi pedagang, melalui KUD
atau Gapoktan.
|
Memperkuat asosiasi pedagang, bantuan alat komunikasi, informasi, bantuan hukum, dan kredit khusus pedagang.
|
Sudah sering diprogramkan, namun gagal melulu.
|
Ini belum pernah dijalankan. Mungkin suatu saat baik
juga dicoba.
|
Niat menjadikan
petani sebagai pelaku perdagangan adalah ide yang
mulia. Namun, saat petani berdagang ia harus mengadopsi ”sikap dan kultur pedagang” juga. Artinya, yang
dibutuhkan adalah bagaimana relasi
perdagangannya efisien dan berbiaya murah. Apa yang saya maksud dengan
“membenahi pedagang” disini dapat berlaku untuk semua pedagang, termasuk petani
yang berdagang. Bangunlah los, pasar, dan kios setelah aktor dan sistem
perdagangannya siap. Dalam bahasa awam disebut “siapkan lah dulu kelembagaan pasarnya, baru bangun pasarnya”.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar