Jumat, 24 Oktober 2014

Membenahi Pedagang vs Membangun Los Pasar


Apa yang kita lakukan selama ini cenderung hanya membangun prasarana dan sarana perdagangan, bukan merubah atau memperbaiki perdagangan secara sosio kultural. Hanya membangun fisik, bukan social relation-nya.

Karena pedagang dipersepsikan buruk dan mesti disingkirkan, maka segala prasarana dibuat agar petani dapat menjual hasilnya langsung ke konsumen. Niatnya baik, yaitu agar  margin keuntungan dapat beralih ke petani seluruhnya. Karena itu diciptakan berbagai program, misalnya pengembangan terminal agribisnis, agropolitan, dan juga ”Pasar Petani”. Namun, sebagaimana kita juga sudah mahfum, keberhasilannya sangat-sangat rendah. Kenapa? Karena para perencana ini memaknai perdagangan bukan sebagai sebuah sistem sosial. Mereka ga perduli bahwa di dalam satu rantai tata niaga ada orang-orang atau  aktor-aktor yang adalah manusia. Mereka tidak pernah mau paham bahwa manusia adalah makhluk hidup dengan visi, tujuan hidup, kesenangan, kesusahan, tantangan hidup, tenggang rasa, empati, simpati, kehawatiran, serta berbagai aspek fikiran dan nafsu lain. Petani dan padagang adalah manusia.

Jadi, tata niaga hasil pertanian tidaklah semata soal harga, keuntungan, kerugian, margin,  dan elastisitas; namun bagaimana manusia-manusia di dalamnya (petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, broker, pemilik truk, penjaga lapak, tukang timbang, tukang kredit, dan kuli angkut) hidup, merasa enjoy dan mendapatkan penghidupan. Sistem perdagangan adalah sesuatu yang socially constructed.

Perbedaan pokok antara membangun prasarana untuk berdagang dengan membenahi pedagang

Membenahi prasarana perdagangan
Membenahi pedagang
Dasarnya adalah bahwa pedagang buruk, pedagang harus disingkirkan dari sistem tata niaga pertanian
Pedagang adalah pelaku yang integral sehari-hari, berperan nyata dalam menggerakkan agribisnis, meskipun perilaku perdagangannya kadang merugikan petani
Fokusnya fisik, dengan membangun los, kios, pasar.
Fokusnya pada diri orang, manusia. Salah satu bentuknya adalah pendekatan Farming Business School (FBS).
Yang dibutuhkan adalah ahli bangunan, tukang,  dan kontraktor untuk membangun pasar.
Yang dibutuhkan adalah pelaku pemberdayaan, ahli sosial, ekonomi, komunikasi, dan lain-lain.
Meyakini bahwa jika petani langsung berdagang, maka seluruh margin keuntungan beralih ke petani.
Pedagang adalah mitra petani. Ia mengambil margin besar karena resiko dagang yang tinggi, barang pertanian mudah rusak, dan lain-lain.
Petani harus berdagang langsung, berhadapan langsung dengan konsumen. Dijalankan ”pasar petani”
Pedagang tetap terlibat dalam perdagangan, namun dibantu sehingga biaya perdagangannya bisa rendah.
Bentuknya adalah membangun los, tempat berdagang, yaitu terminal agribisnis dan sub terminal agribisnis dilengkapi gudang, kantor, dan lain-lain.
Mereka membutuhkan kemudahan transportasi untuk menekan biaya pedagangan, hilangkan pungutan di jalan, beri bantuan modal, mudahkan pinjaman ke bank, bantuan manajemen pemasaran, dan bantuan hukum.
Mengorganisasikan petani menjadi pedagang, melalui KUD atau Gapoktan.
Memperkuat asosiasi pedagang, bantuan alat komunikasi, informasi, bantuan hukum, dan kredit khusus pedagang.
Sudah sering diprogramkan, namun gagal melulu.
Ini belum pernah dijalankan. Mungkin suatu saat baik juga dicoba.



Niat menjadikan petani sebagai pelaku perdagangan adalah ide yang mulia. Namun, saat petani berdagang ia harus mengadopsi ”sikap dan kultur pedagang” juga. Artinya, yang dibutuhkan adalah bagaimana relasi perdagangannya efisien dan berbiaya murah. Apa yang saya maksud dengan “membenahi pedagang” disini dapat berlaku untuk semua pedagang, termasuk petani yang berdagang. Bangunlah los, pasar, dan kios setelah aktor dan sistem perdagangannya siap. Dalam bahasa awam disebut “siapkan lah dulu kelembagaan pasarnya, baru bangun pasarnya”. 
*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar