Kita sangat jarang mempertentangkan
apakah kita harus memilih mengembangan industri peternakan atau mengembangkan
perikanan? Juga kita jarang bertanya, mengapa sampai sekarang kita tidak pernah
bisa swasembada sapi, tapi ikan kita dicuri orang tiap malam? Kita ga pernah
merasa telah bersalah telah salah memilih komoditas. Akar
kesalahan sesungguhnya ini terjadi dulu
di awal tahun 1970-an saat kita mulai merancang arah kita.
Penyebab teknisnya saat ini adalah kebetulan keduanya (ternak dan ikan) ini berada di departemen yang berbeda, sehingga
hampir-hampir tidak pernah duduk di satu meja. Kenapa kita tidak bertanya: dari
mana kita bisa memenuhi kebutuhan protein penduduk? Mengapa harus petenakan,
mengapa pula harus “daing sapi”? Protein bisa bersumber dari protein hewani, bisa protein nabati. Dari
kelompok hewan ada ayam kampung, puyuh, bebek, kerbau, kambing, domba, babi,
kuda, dan sapi; tapi jarang terfikir ada ikan. Ada ikan laut, ikan darat, ikan tambak air
payau, ikan karamba, lele, ikan nila,
mujair, dan lain-lain.
Ya, kekeliruan ini bisa ditelusuri semenjak
para bule ramai “membantu” kita. Sebagai anak manis kita pun oke-oke saja memilih pasokan protein masyarakat
akan kita penuhi dari peternakan, utamanya sapi dan ayam negeri. Ini mudah dipahami
jika pernah baca buku “Confessions of an Economic Hit Man” yang ditulis oleh John
Perkins (terbit tahun
2004).
Buku ini berisi pengakuan Perkins sebagai "perusak ekonomi" (economic
hitman). Tugasnya adalah meyakinkan
pemimpin politik dan finansial negara berkembang untuk setuju berutang besar.
Setelah tidak bisa membayar, negara tersebut dipaksa tunduk terhadap tekanan
politik mereka.
Ini tentu bukan barang baru. Semenjak tahun 1970-an para ahli telah
merumuskan Teori
Ketergantungan (Dependency Theory). Setiap negara yang menjadi pasien “pembangunan”, tidak
pernah benar-benar dibantu. Negara maju hanya memerangkap negara-negara
berkembang agar tetap tergantung kepada mereka. Menurut Dos Santos ada 3 bentuk
ketergantungan yaitu ketergantungan
kolonial, ketergantungan finansial-industrial, dan ketergantungan teknologis-tndustrial.
Kita telah diarahkan untuk menyingkirkan perikanan. Dulu, sangat sulit peneliti bisa sekolah perikanan ke luar negeri. Fakultas perikanan juga berkembang agak belakangan di tanah air.
Tidak banyak kampus yang bisa mengajarkan perikanan di luar negeri. Perikanan baru menjadi penting sebutlah setelah dibentuknya Departemen
Perikanan dan Kelautan (DKP) tahun 2000 sesuai Kepres No 165
Tahun 2000 era Presiden Gus Dur.
Buktinya adalah begitu
banyak fakultas peternakan dibangun pada era 1980-an, begitu mudah sekolah ke
luar negeri untuk menjadi ahli peternakan, dan balai-balai penelitian ternak
juga dibangun cepat. Lembaga Penelitian Peternakan
telah lama ada di Bogor. Awal didirikannya bernama Balai Penelitian Umum tahun
1950, lalu menjadi Balai Penyidikan Peternakan tahun 1952, Pusat Balai
Penyelidikan Peternakan tahun 1956,
Lembaga Penelitian Peternakan (1961), Lembaga Peternakan (1966), Lembaga
Penelitian Peternakan (1967), dan lalu Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi
dibentuk pada tahun 1981.
Pemikiran ini tidak lah terjadi
begitu saja, namun ada sutradara di belakangnya. Negara-negara maju dalam
kerangka politik developmentalis menginginkan demikian. Mereka tidak ingin negara
berkembang mandiri. Jika Indonesia menggantungkan pada perikanan, Indonesia
akan mandiri. Mereka ga happy!
Perbandingan jika kita
mengembangan peternakan atau perikanan
Peternakan
|
Perikanan
|
Komoditas utama
adalah ruminansia besar (sapi), ruminansia kecil (kambing dan domba), unggas
(ayam broiler), dan telur.
|
Perikanan
tangkap di laut dan budidaya (kolam, tambak, dan karamba)
|
Ketergantungan kepada luar tinggi, dan
terbukti sampai sekarang kita belum mandiri.
|
Ketegrantungan
pada impor rendah, bahkan tidak ada. Jika ini yang dipilih, kita sudah mandiri dengan sumber
protein hewani sejak dulu.
|
Komponen impor
berupa bibit ternak, pakan, dan obat-obatan,
daging sapi, dan sapi hidup.
|
Impor untuk
kapal, mesin, jaring, dan dan alat perlengkapannya.
|
Pelaku yang
potensial adalah perusahaan-perusahaan besar pemegang hak parent stock ayam, importir besar, industri
pakan, dan konco-konconya
|
Usaha kecil milik rakyat, yaitu nelayan, tukang keramba, petani ikan, dan
lain-lain. Masyarakat mampu membuat sendiri kapal
payang, purse seine, pancing, dan jaring.
|
Bukti kekeliruan
ini dapat kita saksikan saat ini. Kita tetap saja tidak bisa swasembada daging.
Kita masih bergantung pada impor, yakni impor daging
dan sapi hidup. Juga impor bibit ayam,
impor pakan, dan impor obat-obatan. Sebaliknya, ikan-ikan kita diekploitasi di
bawah potensinya, dan bahkan dicuri oleh nelayan asing.
Target swasembada daging sapi telah mundur berkali-kali. Pernah
ditetapkan Tahun 2010, lalu tahun 2012, lalu
mundur lagi ke 2014. Untuk peternakan
ini, kita sering menipu masyarakat dengan membelokkan istilah. Kita gunakan
“swasembada daging”, sehingga bisa mengimpor sapi hidup dari Australia.
Dagingnya memang diproduksi disini tapi sapi nya jelas bukan sapi sini.
Bibit, obat dan pakan ternak kita masih impor. Tahun 2013,
meskipun disebutkan bahwa kebutuhan daging ayam dan telur di tanah air sudah swasembada, tetapi kebutuhan bibit unggas,
obat hewan serta pakan ternaknya sebagian
besar masih diimpor. Informasi dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas
Indonesia, impor grand parent stock (GPS) atau ayam bibit
pada Januari-November 2011 mencapai 434.000 ekor. Sudah 60 tahun, industri pembibitan di tanah air belum juga berkembang. Kebutuhan bibit ayam 31 juta ekor per
pekan atau sekitar 1,6 miliar ekor setahun (tahun 2013). Industri pembibitan ayam ras masih terbatas. Hanya ada 11
perusahaan grand parent stock dan 34
perusahaan yang bergerak dibidang parent
stock. Semua perusahaan ini masih mengusahakan sumber induk dari impor. Ayam
induk impor itu nantinya menghasilkan telur yang harus ditetaskan menjadi anak
ayam. Penetasan DOC memerlukan alat yang masih diimpor dari AS, Eropa, dan
China.
Ketergantungan impor bibit grant parent stock (GPS) masih 100
persen. Untuk pakan, impor jagung pada tahun 2012 misalnya sebesar 1,9 juta ton, dari kebutuhan sebanyak 9,9 juta ton. Pakan ternak ini
digunakan untuk pakan ayam pembibitan (45%), pakan ayam petelur (44%), dan
pakan ayam broiler (9%). Untuk impor sapi, fee
impornya sangat menarik dan telah menjadi bancakan pejabat dan broker partai
politik. Untuk
pakan ternak, tahun 2011
konsumsi pakan ternak nasional 10,3 juta ton, yang komponennya
adalah jagung sebesar 5,3 juta ton, bungkil kedelai 1,85 juta ton, dedak 1,5
juta ton, pollard 1,03 juta ton, tepung ikan 515 ribu ton. Kebutuhan
jagung masih mengandalkan impor. Mengapa impor? Karena suplai impor datang dari
traders yang nota bene adalah
jaringan perusahan peternakan itu sendiri.
Sebaliknya untuk perikanan, selama ini pencurian ikan oleh nelayan-nelayan Thailand sangat sering terjadi juga nelayan Filipina,
Malaysia, Vietnam, Kamboja, Taiwan, dan juga China. Sepanjang 2007-2012, kapal
pengawas KKP telah menangkap 1.029 kapal pencuri ikan. Menurut Organisasi
Pangan dan Pertanian (FAO), pada 2008 lalu pencurian ikan telah merugikan
Indonesia Rp 30 triliun per tahun. Jumlah ini sangat cukup untuk membeli daging
sapi Autralia yang bikin ribut tersebut.
Hasil produksi perikanan Indonesia saat
ini baru menempati urutan keempat di dunia dengan 9,5 juta ton per tahun,
terdiri dari 5,5 juta ton hasil perikanan tangkap dan 4 juta ton produk budidaya perikanan.
Potensi lestari perikanan laut Indonesia sekitar 6,5 juta ton/tahun, artinya
baru dimanfaatkan sebesar 77 persen. Untuk budidaya laut, nelayan Indonesia baru menggunakan 10
persen dari potensi yang ada. Dalam buku
Kementan (2013) disebutkan bahwa potensi untuk usaha budidaya perikanan di
Indonesia sekitar 15,59 juta hektar yang terdiri dari budidaya air tawar seluas
2,23 juta hektar, payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar.
Dari seluruh potensi tersebut tingkat pemanfaatannya baru sekitar 10 persen
untuk budidaya air tawar, 40 persen budidaya air payau, dan yang paling parah
pada budidaya air laut yang baru 0,01 persen.
Sudahlah kondisinya demikian, kebijakan pemerintah sering pula
tidak berpihak. Dalam tulisan “Eksploitasi Ikan Dinilai Dilegalkan” (Kompas, 20 Februari
2013.), Kementerian
Kelautan dan Perikanan memberikan keistimewaan bagi kapal pukat cincin berbobot
mati 1.000 gros ton (GT) untuk menangkap ikan di perairan lebih dari 100 mil,
melakukan alih muatan ikan di tengah laut, dan mengangkutnya ke luar negeri. Sebaliknya,
seluruh kapal ikan berbobot di bawah 1.000 GT diwajibkan untuk mendaratkan ikan
di pelabuhan Indonesia. Masalahnya, Indonesia selama ini belum pernah memiliki kapal penangkap
ikan berbobot lebih dari 1.000 GT. Sebanyak 96 persen dari 350.000 unit kapal
tangkap ikan saat ini berbobot mati di bawah 30 GT. Maka, kebijakan pemerintah mendatangkan
kapal-kapal pukat cincin di atas 1.000 GT akan melemahkan daya saing nelayan
Tanah Air. Perlakuan khusus bagi kapal di atas 1.000 GT untuk mengambil ikan
dan mendaratkan ke luar negeri telah membuka pintu bagi pencurian ikan di laut
Indonesia.
Ketentuan ini tertuang dalam Permen Kelautan dan Perikanan No 30 Tahun 2012 tentang Usaha
Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Artinya,
kapal-kapal besar ini punya keistimewaan beroperasi
tunggal di area lebih
dari 100 mil, melakukan alih muatan ikan di tengah laut untuk diangkut
langsung ke luar negeri. Jika kapal besar itu adalah milik
investor asing, maka tamatlah kita.
******