Selasa, 17 Juni 2014

Kata Pengantar dari PENULIS


Dunia pedesaan dan pertanian dipenuhi berbagai konsep, teori, pendekatan, dan juga metode-metode riset. Antar mereka saling bersaing, tumbuh, adu kekuatan. Ada yang lalu tumbuh berkembang terus dipakai lama oleh para ahli, namun ada juga yang ditinggalkan, diganti atau dibuang. Sebagian tumbuh dan berkembang, namun sebagian surut dan dikalahkan, dan akhirnya mati.

 

Secara sederhana, “konsep” adalah sebutan untuk objek yang bisa diamati dalam arti visual maupun bukan. Tidak hanya di dunia ilmiah, sesungguhnya semua bidang menggunakannya. Kita bicara sehari-hari di rumah, di warung, dan dijalan; hampir selalu pakai konsep.  Sementara, teori adalah pernyataan yang menghubungkan dua konsep atau lebih.

 

Satu konsep dan teori kadang dilahirkan begitu saja dulu. Akibatnya saat ini, kalangan pengguna menjadi bingung, tidak dapat membedakan mana yang lebih tepat untuknya. Karena itu lalu disusun lah konsep baru, atau konsep yang lama diberi makna baru. Konsep “ketahanan pangan” misalnya terus berubah-ubah bunyinya sejak tahun 1975 sampai sekarang.

 

Pedesaan dan pertanian tidak berdiri sendiri. Ilmu di bidang ini terkait dengan ilmu-ilmu dasar lain, misalnya ilmu ekonomi dan sosial. Ketika konsep-konsep ilmu sosial digunakan dalam ranah pembangunan pertanian, sementara di kalangan ilmuwan sosial sendiri masih diliputi kekaburan, tumpang tindih dan adanya inkosistensi konsep; maka penerapan teorinya otomatis juga akan kacau. Cukup banyak elemen ilmu sosial yang digunakan dalam pembangunan pertanian, tidak hanya konsep, namun juga teori dan bahkan metode. Beberapa metode pemberdayaan diturunkan dari metode dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.

 

Menciptakan sebuah istilah merupakan capaian kerja ilmiah yang penting, sangat bergengsi. Istilah yang baru menandakan bahwa ia telah berhasil menemukan sesuatu yang baru. Namun, dalam beberapa kejadian, istilah yang baru tersebut tidak sungguh-sungguh suatu hal yang berbeda. Kadang perbedaannya sedikit saja. Kadang-kadang istilah baru dibuat sekedar “penanda” eksistensi si ilmuwan atau sekelompok ahli saja, sebutlah sekedar “kegenitan ilmiah” saja.

 

Terlalu banyak istilah mengakibatkan semakin rumitnya para pembelajar untuk memahaminya. Fenomena ini merupakan hal yang jamak pada ilmu-ilmu sosial. Istilah yang baru dapat berupa menggantikan istilah lama, mengokupasinya, melengkapinya, atau hanya sekedar melabeli karena label yang lama sebenarnya keliru. Bisa pula terjadi, seorang pencipta asli digantikan labelnya oleh ahli setelahnya, meskipun isinya tidak berubah. Sehingga tidak aneh pula, satu objek yang sama diberi label yang berbeda-beda.

 

Dalam buku ini saya sengaja memperbandingkan antar objek, sebagai cara saya menjelaskan kepada pembaca. Ini adalah gaya penjelasan baru, dimana matrik-matrik yang saya susun menjadi alat penjelas utama. Mungkin sebagian pembaca akan agak kesulitan memahaminya. Namun saya sengaja memilih cara ini karena dengan cara begini akan memudahkan pembaca mengikuti perbedaan dan persamaan dua  atau lebih objek yang dibahas.

 

Namun, perlu diingat bahwa tidak selalu komparasi ini betul-betul berlawanan keduanya. Adakalanya yang satu adalah bagian dari yang kedua, bisa pula yang satu melengkapi yang satunya. Bukan pula pembaca harus memilih salah satu sebagai yang lebih benar. Dikotomi ini betul-betul untuk menjelaskan saja. Namun pada banyak hal dikotomi tersebut memang benar-benar eksis adanya. Mereka memang sungguh-sungguh bertentangan.

 

Dikotomi atau konsep baru timbul karena banyak alasan, yaitu: pertama, Berbeda dasar berfikir atau paradigma sejak awal. Mereka berbeda karena berasal dari paham yang berbeda, atau memiliki tujuan yang berbeda.

 

Kedua, Berbeda paradigma, namun sebagai respon atau kritik dari pemikiran sebelumnya yang telah berkembang. Pola seperti ini banyak terjadi. Para pengkritik ini kadang terjebak kepada sikap yang kurang adil, dengan terlalu menganggap lebih baik pendapatnya sendiri, dan merendahkan atau mengkerdilkan pandangan orang-orang sebelumnya. Mereka merevisi pandangan sebelumnya namun kurang objektif.

 

Ketiga, Melengkapi pemikiran sebelumnya yang mungkin masih terbatas. Namun pemikiran yang lebih lengkap ini dilabeli nama baru. Ini dapat pula dengan menambahkan dimensi-dimensi baru, misalnya memasukkan pertimbangan lingkungan alam dan lain-lain.

 

Keempat, Meluaskan pemikiran sebelumnya, yang menurutnya terlalu sempit, sudah tidak sesuai dengan kondisi terakhir. Atau sebaliknya, Kelima, yaitu menyempitkan atau memacah-mecah istilah yang lama, dimana sebelumnya mungkin hanya melihat pada permukaannya. Saat digali lebih dalam terbukti ada fenomena-fenomena baru yang sebutan lama tidak melihatnya, sehingga tidak memberinya nama tersendiri.

 

Keenam, Memang berbeda, misalnya pada tool analysis, dimana alat yang lama hanya dapat digunakan pada kondisi tertentu. Untuk melihat fenomena yang sudah berbeda, maka alat yang lama sudah tidak memadai. Terakhir, Ketujuh, Karena diterapkan pada kondisi yang berbeda.

 

Mengapa saya memilih cara mengkomparasi seperti ini? Saya yakin ini metode belajar yang lebih mudah, lebih berkesan, dan lebih efektif karena lebih lekat di ingatan. Membedakan merupakan tahap lanjut dari kerja berfikir. Secara umum, langkah pertama proses berfikir manusia adalah mengenali, lalu mengelompokkan, membedakan, mencari hubungan dan terakhir mensintesanya. Membedakan membantu kita berfikir, kita sedang ada di pihak mana sehingga akan mengeefktifkan perdebatan.

 

Pembedaan di buku ini dilakukan secara diametral atau terpolar. Tidak selalu untuk memihak salah satu kubu, karena bisa saja keduanya dikombinasikan. Namun, positioning tersebut harus jelas, anda berada dimana. Yang berabe adalah bila yang satu bilang kiri yang satunya mengira di kanan. Yang pertama ga tahu ia di kiri atau di kanan, dan lawan bicaranya juga ga tahu apa beda kiri dan kanan. Keduanya ga sadar bahwa ada kiri ada kanan.

 

Dengan bisa membedakan, lalu dianalisis dan disintesis, maka bisa lahir bentuk yang ketiga. Bahkan tidak hanya menghasilkan satu bentuk baru, bisa 2, 3, 5 bahkan 10 lebih bentuk baru. Caranya adalah dengan mengkombinasikan elemen-elemen di dalamnya. Jika masing-masing konsep ada 5 elemen, artinya ada 5 pasang elemen, maka kombinasinya bisa menjadi belasan dan puluhan.

 

Dalam deskripsi yang saya susun, Saya tidak selalu berpihak ke sisi kiri atau ke sisi kanan. Namun, Pembaca bisa saja mendapat kesan Saya berada di pihak yang mana. Memang agak sulit untuk melepas godaan memasukkan “warna” kita sendiri ketika menulis. Secara jujur saya akui di Pengantar ini bahwa Saya begitu menghargai petani, yakni mereka yang bekerja dari matahari baru muncul sampai lelah di sore hari. Mereka mencangkul, membalik tanah, menanam dan menugal, menyiang rumput, dan berkotor-kotor main lumpur. Mereka yang kukunya hitam kotor kemasukan tanah, tangannya kasar, buku-buku jarinya bengkak. Mereka lah energi utama kehidupan di bumi ini. Mereka mengolah tanah, air, benih dan sinar matahari menjadi daun, bunga, dan buah-buahan. Mereka ada di pangkal sistem kehidupan ini. Mereka disimbolkan sebagai Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang tangan kotornya dicium Rasulullah Muhammad Salallahu Alaihi Wassallam  sembari Rasul berujar: “Ini lah tangan yang tidak akan disentuh oleh api neraka, pula tangan yang dicintai Allah SWT karena tangan itu digunakan untuk bekerja keras menghidupi keluarganya”.

 

Secara khusus Saya berterima kasih kepada jaringan internet yang begitu memudahkan mencari referensi. Ada dua website yang paling banyak saya kutip yaitu www.wikipedia.org dan www.differencebetween.com. Sesungguhnya telah cukup lama pula saya membangun satu blog dengan materi yang mirip-mirip isi buku ini yang saya beri judul Sama dan Beda, Mitos dan Fakta” (http://mitosfaktasyahyuti.blogspot.com/).  Sampai dengan April 2014 telah dikunjungi 12.175 kali. Ini adalah satu dari 25 lebih blog saya di internet.

 

Mudah-mudahan Pembaca suka dengan Buku ini dan pendekatan yang saya pakai. Semoga bermanfaat, dan menjadi amal shaleh bagi Saya dan Pembaca sekalian, ....... Aamiin.

 

 

Bogor, April 2014

 

 

(DR. Syahyuti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar