Dunia
pedesaan dan pertanian dipenuhi berbagai konsep, teori, pendekatan, dan juga
metode-metode riset. Antar mereka saling bersaing, tumbuh, adu kekuatan. Ada yang
lalu tumbuh berkembang terus dipakai lama oleh para ahli, namun ada juga yang
ditinggalkan, diganti atau dibuang. Sebagian tumbuh dan berkembang, namun sebagian
surut dan dikalahkan, dan akhirnya mati.
Secara
sederhana, “konsep” adalah sebutan untuk objek yang bisa diamati dalam arti
visual maupun bukan. Tidak hanya di dunia ilmiah, sesungguhnya semua bidang
menggunakannya. Kita bicara sehari-hari di rumah, di warung, dan dijalan;
hampir selalu pakai konsep. Sementara, teori
adalah pernyataan yang menghubungkan dua konsep atau lebih.
Satu
konsep dan teori kadang dilahirkan begitu saja dulu. Akibatnya saat ini,
kalangan pengguna menjadi bingung, tidak dapat membedakan mana yang lebih tepat
untuknya. Karena itu lalu disusun lah konsep baru, atau konsep
yang lama diberi makna baru. Konsep “ketahanan pangan” misalnya terus
berubah-ubah bunyinya sejak tahun 1975 sampai sekarang.
Pedesaan
dan pertanian tidak berdiri sendiri. Ilmu di bidang ini terkait dengan ilmu-ilmu dasar lain, misalnya ilmu
ekonomi dan sosial.
Ketika konsep-konsep ilmu
sosial digunakan dalam ranah pembangunan
pertanian, sementara di kalangan ilmuwan sosial sendiri masih
diliputi kekaburan,
tumpang tindih dan adanya inkosistensi konsep; maka penerapan teorinya otomatis juga akan kacau. Cukup banyak elemen
ilmu sosial yang digunakan dalam pembangunan pertanian, tidak hanya konsep,
namun juga teori dan bahkan metode. Beberapa metode pemberdayaan diturunkan
dari metode dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.
Menciptakan
sebuah istilah merupakan capaian kerja ilmiah yang penting,
sangat bergengsi.
Istilah yang baru menandakan bahwa ia telah berhasil menemukan sesuatu yang
baru. Namun, dalam beberapa kejadian, istilah yang baru tersebut tidak
sungguh-sungguh suatu hal yang berbeda. Kadang perbedaannya sedikit saja. Kadang-kadang
istilah baru dibuat sekedar “penanda” eksistensi si ilmuwan atau sekelompok
ahli saja, sebutlah sekedar “kegenitan ilmiah” saja.
Terlalu
banyak istilah mengakibatkan semakin rumitnya para pembelajar
untuk
memahaminya. Fenomena ini merupakan hal yang jamak pada ilmu-ilmu sosial. Istilah
yang baru dapat berupa menggantikan istilah lama, mengokupasinya,
melengkapinya, atau hanya sekedar melabeli karena label yang lama sebenarnya
keliru. Bisa pula terjadi, seorang pencipta asli digantikan labelnya oleh ahli
setelahnya, meskipun isinya tidak berubah. Sehingga tidak aneh pula, satu objek
yang sama diberi label yang berbeda-beda.
Dalam buku ini saya sengaja memperbandingkan antar objek,
sebagai cara saya menjelaskan kepada pembaca. Ini adalah gaya penjelasan baru,
dimana matrik-matrik yang saya susun menjadi alat penjelas utama. Mungkin
sebagian pembaca akan agak kesulitan memahaminya. Namun saya sengaja memilih
cara ini karena dengan cara begini akan memudahkan pembaca mengikuti perbedaan
dan persamaan dua atau lebih objek yang
dibahas.
Namun, perlu diingat bahwa tidak selalu komparasi ini
betul-betul berlawanan keduanya. Adakalanya yang satu adalah bagian dari yang kedua,
bisa pula yang satu melengkapi yang satunya. Bukan pula pembaca harus memilih
salah satu sebagai yang lebih benar. Dikotomi ini betul-betul untuk menjelaskan
saja. Namun pada banyak hal dikotomi tersebut memang benar-benar eksis adanya.
Mereka memang sungguh-sungguh bertentangan.
Dikotomi
atau konsep baru timbul karena banyak alasan, yaitu: pertama, Berbeda
dasar berfikir atau paradigma sejak awal. Mereka berbeda karena berasal dari
paham yang berbeda, atau memiliki tujuan yang berbeda.
Kedua, Berbeda paradigma,
namun sebagai respon atau kritik dari pemikiran sebelumnya yang telah
berkembang. Pola seperti ini banyak terjadi. Para pengkritik ini kadang
terjebak kepada sikap yang kurang adil, dengan terlalu menganggap lebih baik
pendapatnya sendiri, dan merendahkan atau mengkerdilkan pandangan orang-orang
sebelumnya. Mereka merevisi pandangan sebelumnya namun kurang objektif.
Ketiga, Melengkapi pemikiran
sebelumnya yang mungkin masih terbatas. Namun pemikiran yang lebih lengkap ini
dilabeli
nama baru. Ini dapat pula dengan menambahkan dimensi-dimensi baru, misalnya
memasukkan pertimbangan lingkungan alam dan lain-lain.
Keempat, Meluaskan pemikiran
sebelumnya, yang menurutnya terlalu sempit, sudah tidak sesuai dengan kondisi
terakhir. Atau sebaliknya, Kelima, yaitu menyempitkan
atau memacah-mecah istilah yang lama, dimana sebelumnya mungkin hanya melihat
pada permukaannya. Saat digali lebih dalam
terbukti ada fenomena-fenomena baru yang sebutan lama tidak melihatnya,
sehingga tidak memberinya nama tersendiri.
Keenam, Memang berbeda,
misalnya pada tool analysis, dimana
alat yang lama hanya dapat digunakan pada kondisi tertentu. Untuk melihat
fenomena yang sudah berbeda, maka alat yang lama sudah tidak memadai. Terakhir,
Ketujuh, Karena
diterapkan pada kondisi yang berbeda.
Mengapa saya memilih cara mengkomparasi seperti ini? Saya yakin ini metode
belajar yang lebih mudah, lebih berkesan, dan lebih efektif karena lebih lekat
di ingatan. Membedakan merupakan tahap lanjut dari kerja berfikir. Secara umum,
langkah pertama proses berfikir
manusia adalah mengenali, lalu mengelompokkan, membedakan, mencari hubungan dan
terakhir mensintesanya. Membedakan membantu kita berfikir, kita
sedang ada di pihak mana
sehingga akan mengeefktifkan perdebatan.
Pembedaan di buku ini dilakukan secara diametral atau terpolar. Tidak selalu
untuk memihak salah satu kubu, karena bisa saja keduanya dikombinasikan. Namun,
positioning tersebut harus jelas,
anda berada dimana. Yang berabe adalah bila yang satu bilang kiri yang satunya
mengira di kanan. Yang pertama ga tahu ia di kiri atau di kanan, dan lawan
bicaranya juga ga tahu apa beda kiri dan kanan. Keduanya ga sadar bahwa ada
kiri ada kanan.
Dengan bisa membedakan, lalu dianalisis dan disintesis,
maka bisa lahir bentuk yang ketiga. Bahkan tidak hanya menghasilkan satu bentuk
baru, bisa 2, 3, 5 bahkan 10 lebih bentuk baru. Caranya adalah dengan
mengkombinasikan elemen-elemen di dalamnya. Jika masing-masing konsep ada 5
elemen, artinya ada 5 pasang elemen, maka kombinasinya bisa menjadi belasan dan
puluhan.
Dalam
deskripsi yang saya susun, Saya tidak selalu berpihak ke sisi kiri atau ke sisi kanan. Namun,
Pembaca bisa saja mendapat kesan Saya berada di pihak yang mana. Memang agak sulit
untuk melepas godaan memasukkan “warna” kita sendiri ketika menulis. Secara
jujur saya akui di Pengantar ini bahwa Saya begitu menghargai petani, yakni
mereka yang bekerja dari matahari baru muncul sampai lelah di sore hari. Mereka mencangkul, membalik
tanah, menanam dan menugal, menyiang rumput, dan berkotor-kotor main lumpur.
Mereka yang kukunya hitam kotor kemasukan tanah, tangannya kasar, buku-buku
jarinya bengkak. Mereka lah energi utama kehidupan di bumi ini. Mereka mengolah
tanah, air, benih dan sinar matahari menjadi daun, bunga, dan buah-buahan.
Mereka ada di pangkal sistem kehidupan ini. Mereka disimbolkan sebagai Sa’ad
bin Mu’adz Al-Anshari yang tangan kotornya dicium Rasulullah Muhammad Salallahu
Alaihi Wassallam sembari Rasul berujar:
“Ini lah tangan yang tidak akan disentuh
oleh api neraka, pula tangan yang dicintai Allah SWT karena tangan itu
digunakan untuk bekerja keras menghidupi keluarganya”.
Secara
khusus Saya berterima kasih kepada jaringan internet yang begitu memudahkan mencari
referensi. Ada dua website
yang paling banyak saya kutip yaitu
www.wikipedia.org dan www.differencebetween.com. Sesungguhnya telah cukup lama pula saya membangun satu blog dengan
materi yang mirip-mirip isi buku ini yang saya beri judul “Sama dan
Beda, Mitos
dan Fakta” (http://mitosfaktasyahyuti.blogspot.com/). Sampai dengan April 2014 telah
dikunjungi 12.175 kali.
Ini adalah satu dari 25 lebih blog saya di internet.
Mudah-mudahan Pembaca suka dengan Buku ini dan pendekatan
yang saya pakai. Semoga bermanfaat, dan menjadi amal shaleh bagi Saya dan
Pembaca sekalian, ....... Aamiin.
Bogor, April
2014
(DR. Syahyuti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar