Senin, 05 Januari 2015

Mitos vs Fakta tentang WTO


Menurut orang-orang WTO, WTO sering disalahpahami. Mereka merangkumnya dalam artikel  “10 Common Misunderstandings About The WTO” (www.wto.org). Pemaparan berikut semata-mata memang sisi pandang orang-orangnya WTO tersebut, sehingga mungkin terkesan sangat-sangat membela WTO. Entah benar entah tidak.

Mitos dan fakta tentang WTO

Mitos (M) dan Fakta (F)

(1). M: WTO mengendalikan kebijakan negara anggota.
F: WTO tidak mendikte kebijakan negara-negara anggota. Malah sebaliknya, karena WTO adalah sebuah a member-driven organization. Aturan dalam WTO lahir dari negosiasi di antara anggota, dan selalu bisa direvisi lagi, dan tiap keputusan diambil secara konsensus antar anggota. Keputusan yang diambil bersifat negotiated, accountable and democratic. WTO hanya mengintervensi jika ada perselisihan yang lalu diselesaikan oleh the Dispute Settlement Body yang anggotanya juga semua negara. Faktanya: “it’s the governments who dictate to the WTO”.

(2). M: WTO bermakna sebagai perdagangan bebas secara mutlak.
F: Tidak demikian. Soal apakah negara-negara dapat menawar negara lain, sangat bergantung kepada apa yang diperdebatkan. Memang satu prinsip dalam sistem WTO adalah menekan hambatan perdagangan antar negara. Negara harus memperoleh keuntungan dari kondisi ini. Seberapa rendah hambatannya terserah negara bersangkutan asal yang lain bisa terima. One country’s commitments become another country’s rights, and vice versa. WTO semata-mata menyediakan forum untuk bernegosiasi, namun sejauh apa liberalnya silahkan disepakati. Kira-kira demikian menurut orang WTO. Intinya, WTO ingin menghasilkan kondisi perdagangan yang nondiskriminasi, stable, predictable and transparant.

(3). M: Semangat komersial (commercial interest) telah mengalahkan prioritas pembangunan.
F: WTO tidak hanya memperhatikan commercial interests, dan juga tidak mengalahkan prioritas pembangunan. WTO sangat memperhatikan pembangunan, karenaSustainable development is a principal objective”. Perdagangan bebas adalah cara yang paling efektif mencapai pertumbuhan ekonomi dan mendukung pembangunan. Dan, “commerce and development are good for each other”. Bahkan, apakah sebuah negara telah dirugikan menjadi topik bahasan di forum WTO. Negara berkembang diberi waktu yang cukup untuk menentukan sendiri kapan mau menerapkan WTO agreements. Subsidi pun masih memungkinkan.

(4). M: Semangat komersial juga mengalahkan prioritas lingkungan.
F: Tidak benar. WTO sangat peduli lingkungan. Dalam bagian pembukaan The Marrakesh Agreement Establishing WTO terbaca tentang pemanfaatan optimal sumberdaya, pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan lingkungan. Ini dikuatkan lagi dalam aturan WTO, misalnya dalam Article 20 dari the General Agreement on Tariffs and Trade. Subsidi pun boleh dilakukan jika untuk perlindungan lingkungan. Dan, WTO pun menerapkan prinsip-prinsip lingkungan dalam hal product standards, food safety, intellectual property protection, dan lain-lain. Bahkan negara anggota diminta untuk adil. Jangan keras sama orang tapi lunak ke diri sendiri. Produk orang diketatkan, namun produk sendiri longgar dalam syarat lingkungannya. Dan ingat: selama ini belum ada konflik antara WTO’s agreements dengan the international environmental agreements.

(5). M: Semangat komersial juga mengalahkan prioritas kesehatan dan keamanan
F: Salah. WTO tidak pernah memaksa pemerintah tentang ini. Soal keamanan (safety) sangat diperhatikan di WTO. Pada klausul GATT Art. 20, secara khusus mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Bahkan sudah disusun pedoman jika saja ada perbedaan standar dalam perdagangan antar negara anggota berkenaan dengan aspek kesehatan ini, dimana bukti dan standar ilmiah menjadi basisnya. Berbagai perjanjian internasional diacu oleh WTO, misalnya Codex Alimentarius yang ada di bawah FAO dan WHO. Negara anggota bebas untuk menyusun sendiri standar kemananan dan kesehatannya dengan prinsip not arbitrary dan not discriminate

(6). M: WTO menghancurkan lapangan pekerjaan, dan kemiskinan pun makin buruk.
F: WTO tidak menghilangkan kesempatan kerja, juga tidak memperlebar gap antara yang kaya dan yang miskin.
Ini memang ga mudah menjelaskannya. Sebenarnya perdagangan dapat menciptakan pekerjaan baru dan menekan kemiskinan. Memproteksi negara dari perdagangan belum tentu juga berdampak baik. Hubungan antara perdagangan dan kesempatan kerja memang kompleks. Dengan pembatasan perdagangan yang rendah, produsen dan pekerjanya menghadapi tantangan baru. Pekerja ekspor sering mendapat gaji yang besar. Kuncinya adalah bagaimana satu negara pandai-pandai membuat kebijakannya sendiri yang efektif, sehingga bisa mengoptimalkan manfaat dari peluang perdagangan. Apa yang disebut dengan “liberalisasi” di WTO bukan sesuatu yang sudah jadi dan tak bisa diganggu gugat lagi.  “…..liberalization under the WTO is the result of negotiations”. Riset Bank Dunia membuktikan: “….has shown that trade liberalization since World War II has contributed to lifting billions of people out of poverty”. Dan, adalah fitnah jika mengatakan: “…that liberalization has increased inequality”.

(7). M: Negara kecil tak berdaya di WTO
F: Negara kecil tidaklah tak berdaya di WTO. Justeru, “Small countries would be weaker without the WTO”. WTO akan meningkatkan daya tawar negara kecil. Negara-negara berkembang terbukti sangat aktif dalam negosisasi dan menyampaikan berbagai proposal dan berperan penting dalam pertemuan Doha Qatar tahun 2001. Pada putaran Uruguay (1986–1994), negara berkembang berhasil memaksa negara maju untuk merubah kesepakatan tentang komoditas tekstil dan pertanian. Kedua komoditas ini penting bagi negara berkembang. Dengan mantap, WTO berujar: “Without the WTO, these smaller countries would have been powerless to act against their more powerful trading partners”. Indonesia yang sering dibilang hanya jadi korban, pernah menang saat rokok kretek ditolak masuk Amerika.

(8). M: WTO adalah alat lobi yang sangat powerful
F: WTO bukanlah alat untuk para pelobby. Pemerintah satu negara justeru bisa mengandalkan WTO untuk melawan loby-loby perusahaan transnasional misalnya. Banyak yang keliru tentang sifat keanggotaan WTO. Intinya, WTO adalah organization of governments, bukan organisasinya para private sector, NGO, atau kelompok pelobi lain. Jika pun mereka terlibat, hanya sebatas event-event khusus misalnya seminar dan simposium.

(9) M: Negara lemah dipaksa ikut WTO
F: Negara lemah tetap memiliki pilihan, mereka ga dipaksa masuk WTO. Tetap lebih untung masuk WTO, karena prinsip kerja WTO yang non-diskriminasi dan transparan. Posisi negara lemah di WTO bisa lebih terlindungi dibandingkan bila hanya mengandalkan kerjasama bilateral. Daya tawar negara kecil bisa lebih kuat karena bisa bergabung dengan negara-negara lain yang senasib.

(10). M: WTO tidak demokratis
F: Itu fitnah. WTO demokratis. Tiap keputusan di WTO diperoleh melalui konsensus, bukan dengan pendekatan mayoritas. Keputusan baru diambil saat semua negara anggota setuju, yang lalu diratifikasi di parlemen. Memang tidak semua negara sama kekuatannya. Namun, dengan prinsip konsensus, maka tiap negara memiliki kesempatan dan pilihan.
Sumber: www.wto.org

Ya, demikianlah penjelasan resminya pihak WTO. Namun, meski memang semua aturan nya disusun seolah-olah netral, namun secara sosiologis pun kita tahu bahwa kuat dan lemah sebuah negara tidaklah sungguh-sungguh sesuatu yang netral. Negara lemah tidak pernah sejajar dengan negara yang kuat. Apalagi perdagangan bukanlah sesuatu yang steril dari urusan lain. Sebuah negara yang militernya bergantung kepada bantuan satu negara misalnya, sangat tahu diri bagaimana dan sejauh apa yang ia bisa peroleh dalam tawar menawar perdagangan. Saling kait mengkait.

Mungkin banyak pengkritik yang memang salah alamat. Bahwa misalnya banyak pengusaha pertanian merusak lingkungan, itu lebih karena praktek si pengusaha itu sendiri. WTO hanya mengatur perdagangannya, tidak seluruh praktek pertanian diawasinya.

Neoliberal dicurigai di belakang semua ini. Ia ada di berbagai organisasi dunia dan berbagai “kesepakatan kerjasama” ekonomi dunia. Kelahiran WTO dicurigai mempunyai latar belakang dominasi Amerika. WTO diawali sejak tahun 1948 dengan pendirian GATT dengan tujuan menjadi salah satu badan khusus PBB yakni  International Trade Organization (ITO) dan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). Dalam WTO dibahas proposal untuk Agreement On Agriculture (AoA), TRIPs,  akses pasar non-pertanian (NAMA) dan GATS. Dalam pertemuan KTM IX WTO  dibahas tiga agenda utama yang disebut sebagai Paket Bali (Bali Packages), yakni  Least Development Countries (LDCs) Packages, Trade Facilitation dan pertanian, yang berada di meja Putaran Doha WTO.

Alasan lain adalah bahwa sejak WTO berdiri dan beroperasi krisis global tetap berlangsung. Entah berhubungan langsung atau tidak, akses pangan masih sulit, harga pangan tidak stabil, ketergantungan impor negara miskin naik, dan land grabbing meluas. Bank Dunia pernah membuat simulasi  keuntungan dari “kemungkinan” kesepakatan Putaran Doha. Hasilnya, keuntungan global yang diproyeksikan untuk tahun 2015 adalah US$ 96 milyar dengan US$ 16 milyar akan didapat oleh negara berkembang. Kerugian total tarif bagi negara-negara berkembang misalnya dalam negosiasi NAMA bisa hingga US$ 63 miliar atau hampir empat kali lipat keuntungan diproyeksikan. Setengah dari semua manfaat ke negara-negara berkembang akan mengalir hanya pada delapan negara (Argentina, Brasil, Cina, India, Meksiko, Thailand, Turki, dan Vietnam).  Timur Tengah dan Afrika akan menjadi pecundang terbesar dari kesepakatan ini, termasuk Indonesia.

Ya, memang tidak bisa semua produk dan jasa jadi barang dagangan. Itulah kenapa banyak yang pesimis dengan

Putaran Doha yang tidak akan memecahkan masalah pertanian, pedesaan dan kelaparan dunia. Karena inilah lalu timbul konsep “Kedaulatan Pangan”. Dalam banyak hal, ini melawan konsep “ketahanan pangan” yang diusung di WTO. *********